Lihat ke Halaman Asli

Prosa Reflektif | Mencari Keutuhan Diri di Antara Pertimbangan Parsial dan Janji Maaf

Diperbarui: 5 Oktober 2025   16:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Wanderer's Quest Travel from Kashmir

Setiap fajar (sunrise) adalah janji yang ditawarkan langit, sebuah reset button kosmik yang kita sambut dengan optimisme yang sarat ego. Dalam kancah kehidupan modern yang terdigitalisasi, fajar diterjemahkan menjadi self-optimization: jadwal yang kaku, goals kuantitatif yang bombastis, dan hasrat tak terpuaskan untuk mengendalikan setiap variabel. Kita sibuk menyusun to-do list yang epik, memasang mindset "siap tempur," dan memproduksi narasi keberhasilan di media sosial. Ini adalah momen saat kita paling percaya diri bahwa pertimbangan-pertimbangan parsial kita, rencana yang hanya menghitung potensi gain dan keuntungan sudah cukup untuk menaklukkan realitas. Kita merangkul fajar karena ia mewakili peluang yang belum ternodai oleh kegagalan, menegaskan ilusi kita atas free will yang absolut.

Filosofi hidup kita hari ini didominasi oleh upaya penciptaan keseimbangan yang artifisial. Kita mencoba menempatkan diri sebagai gatekeeper tunggal atas nasib, hanya mengizinkan data-data yang menyenangkan (confirmation bias) untuk masuk ke dalam pertimbangan. Sikap ini yang secara psikologis berakar pada egoisme mendorong kita untuk membangun menara gading di mana setiap keputusan dipandang sebagai langkah cerdas menuju nirwana pribadi. Kita menghabiskan energi untuk menyortir setiap input, dari informasi terkini hingga saran profesional, hanya untuk menggunakannya sebagai bahan bakar bagi narasi proyeksi diri (self-projection) yang sempurna. Parahnya, proses ini secara otomatis mengabaikan faktor chaos dan randomness yang hakiki dalam kehidupan, seolah-olah algoritma kehidupan tunduk pada kehendak kita.

Lalu, tibalah senja (sunset) , momen ketika kekhawatiran itu perlahan merayap naik. Senja bukan lagi hanya pemandangan indah; ia adalah cermin psikologis yang tak terhindarkan. Kita mulai mengkhawatirkan matahari tenggelam karena ia menandakan hitungan mundur menuju evaluasi. Kecemasan kolektif (collectiveanxiety) muncul dari kesadaran bahwa waktu yang terlewat tidak bisa di-rewind, dan bahwa effort yang dipuji di pagi hari ternyata tidak sebanding dengan hasilnya. Senja mengungkap kelemahan dari pertimbangan parsial, menyingkap celah-celah rencana yang terlalu mengandalkan optimisme dan kurang mengandalkan realitas. Ini adalah twilight zone antara harapan yang mati dan kegelapan yang menjanjikan, memaksa kita menghadapi bayangan-bayangan kegagalan yang kita buang jauh-jauh saat fajar.

Inilah kontradiksi epik manusia modern: kita begitu gigih merancang begitu keras membuat pertimbangan parsial yang melelahkan tetapi begitu ringkih menghadapi hasil yang tidak sesuai narasi. Kita menciptakan hustleculture yang memuja kerja keras, seolah effort adalah garansi sukses. Namun, saat "sial" itu tiba, saat project gagal, saat janji tak tertunaikan, atau saat kita menyakiti orang lain, narasi itu runtuh. Mekanisme pertahanan (defensemechanism) segera diaktifkan, dan kita memilih untuk lepas tangan dari meminta maaf. Tindakan self-accuntability menjadi musuh terbesar, karena mengakui kesalahan berarti merobek kain tebal personal-branding yang sudah susah payah ditenun sejak fajar.

Biaya mental dari keengganan meminta maaf jauh lebih mahal daripada pengakuan kesalahan itu sendiri. Maaf (apology) adalah mata uang pertanggungjawaban yang langka. Ketika kita menghindarinya, kita tidak hanya melukai pihak lain, tetapi kita juga membusukkan integritas diri. Kita terjebak dalam disonansi kognitif yaitu perbedaan antara apa yang kita yakini tentang diri kita (seorang perencana ulung) dan apa yang diungkapkan oleh hasil (seorang yang gagal). Untuk menjaga ego, kita terpaksa menyalahkan faktor eksternal: keadaan, nasib, atau orang lain. Ini adalah narcissistic-wound kolektif dimana ketakutan untuk dilihat tidak sempurna, yang berujung pada pengabaian etika dasar perbaikan.

Pertimbangan parsial sejatinya adalah strategi hidup yang fragmen. Kita mempertimbangkan karir tanpa mempertimbangkan kesehatan, mengejar uang tanpa memperhitungkan relasi yang terkorban, atau membangun citra tanpa mendalami nilai otentik. Integritas holistik (holisticintegrity), sebaliknya, menuntut kita untuk melihat setiap keputusan sebagai bagian dari sistem yang lebih besar, di mana kerugian di satu area pasti akan mengikis keuntungan di area lain. Fajar modern kita begitu dipenuhi hacks dan shortcuts, berusaha memintas kompleksitas realitas. Lepas tangan dari maaf adalah konsekuensi logis dari mentalitas shortcut ini: jika ada jalan pintas menuju sukses, mengapa harus melalui jalan panjang yang berliku, yang disebut vulnerability?

Masyarakat kuno menghormati senja sebagai waktu refleksi dan rekonsiliasi, waktu untuk menutup siklus dengan damai. Ritual senja modern kita, sayangnya, dipenuhi doomscrolling atau kerja lembur yang kompulsif, upaya untuk menunda pertemuan dengan diri sendiri. Kita menenggelamkan diri dalam notifikasi dan feed media sosial, berharap kebisingan digital itu cukup keras untuk membungkam suara kecil yang menuntut self-assessment jujur. Senja yang seharusnya menjadi pelabuhan akuntabilitas, berubah menjadi arena pelarian dan penangguhan hukuman, di mana janji akan perbaikan diri didorong ke hari esok, kembali menjadi ilusi fajar yang baru.  

Ironisnya, di era CancelCulture di mana kesalahan sekecil apa pun bisa menjadi viral dan berujung pada penghukuman sosial, permintaan maaf yang tulus justru menjadi semakin esensial dan semakin sulit. Takut akan pembalasan (retaliation) digital membuat orang semakin enggan mengakui kelemahan, memilih untuk membela diri atau menghilang. Padahal, maaf yang paripurna adalah yang menunjukkan radikal kerentanan (radicalvulnerability), sebuah pengakuan bahwa "aku salah, dan aku bertanggung jawab atas akibatnya." Ini adalah praktik emotionalintelligence tertinggi, satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa pertimbangan kita di fajar masih berlandaskan kemanusiaan, bukan sekadar ambisi yang dingin.

Hidup yang paripurna (complete/whole) bukanlah yang bebas dari kegagalan ("sial"), melainkan yang mampu mengintegrasikan setiap kegagalan sebagai feedbackloop yang berharga. Refleksi sejati dimulai ketika kita berhenti memandang kegagalan sebagai akhir dari cerita, melainkan sebagai data yang harus diolah. Fajar akan selalu terbit, tetapi makna hari itu akan berubah jika kita mampu membawa kerendahan hati dari senja sebelumnya. Itu berarti kita harus belajar mengkhawatirkan matahari tenggelam bukan karena takut gagal, melainkan karena takut kehilangan kesempatan untuk memperbaiki diri, untuk belajar. Inilah esensi dari akuntabilitas: membiarkan 'sial' mendidik, dan membiarkan 'maaf' membebaskan.

Pada akhirnya, tantangan terbesar manusia modern adalah membangun jembatan yang kokoh antara fajar yang penuh pertimbangan parsial dan senja yang menuntut pertanggungjawaban total. Kita diundang untuk berhenti menjadikan matahari terbit sebagai pembenaran atas ego kita, dan matahari tenggelam sebagai hukuman yang harus dihindari. Ritme kosmik ini mengajarkan siklus yang tak terhindarkan: optimisme (fajar) harus diimbangi dengan akuntabilitas (senja). Kesediaan untuk berkata "Saya minta maaf" pada saat-saat paling sial, adalah satu-satunya tindakan leadership diri yang paling murni dan paling progresif yang bisa kita lakukan. Marilah kita menyambut fajar dengan rencana, tetapi menanti senja dengan kesiapan untuk memanggul konsekuensi, termasuk beratnya sebuah kata Maaf.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline