Dulu, kripto hidup dalam bayangan kebebasan total. Ia lahir dari keresahan terhadap sistem keuangan konvensional yang dianggap terlalu dikendalikan negara dan bank sentral. Di mata para penggemarnya, kripto adalah simbol perlawanan: mata uang yang tak bisa disensor, tak bisa dibatasi, dan tak bisa dipajaki.Â
Dunia digital seperti menemukan utopia kecilnya sendiri---sebuah ruang di mana nilai dan kepercayaan ditentukan oleh algoritma, bukan otoritas.
Namun, seperti banyak hal lain di dunia nyata, kebebasan itu ternyata tak berlangsung lama. Seiring popularitasnya meningkat, kripto tidak lagi bisa diabaikan oleh negara.Â
Pemerintah Indonesia, lewat Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak, mulai menapaki ruang digital itu dengan langkah hati-hati tapi pasti.
Sejak diberlakukannya aturan perpajakan aset kripto pada Mei 2022, negara telah mengantongi penerimaan pajak sebesar Rp 1,61 triliun hingga Agustus 2025, sebagaimana dilaporkan Kompas Money (4 Oktober 2025). Angka itu mungkin kecil dibanding total pendapatan negara, tapi besar dalam maknanya.Â
Untuk pertama kalinya, dunia yang dulu disebut "tak tersentuh negara" kini ikut menyumbang bagi kas nasional.
Paradoksnya menarik. Sebuah ekosistem yang diciptakan untuk menghindari kendali negara kini menjadi salah satu sumber pendapatan negara.Â
Pertanyaan pun muncul: apakah ini tanda bahwa negara mulai menaklukkan dunia kripto, atau justru teknologi yang membuat negara berubah cara berkuasanya?
Dari Desentralisasi ke Regulasi
Untuk memahami perubahan ini, kita perlu kembali ke akar gagasan blockchain. Teknologi ini dibangun atas prinsip desentralisasi---tidak ada otoritas tunggal yang mengatur, semua peserta jaringan memiliki salinan data yang sama, dan kepercayaan lahir dari transparansi, bukan dari otoritas.
Konsep ini lahir dari kekecewaan terhadap sistem keuangan global yang terlalu bergantung pada lembaga besar dan intervensi pemerintah. Di situlah Bitcoin, pelopor kripto, memulai revolusinya pada tahun 2009.