Lihat ke Halaman Asli

Agung MSG

TERVERIFIKASI

Transformative Human Development Coach | Penulis 3 Buku

Mengapa Menulis Bisa Membuat Guru Lebih Bahagia

Diperbarui: 30 September 2025   09:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menulis bisa menjadi ruang jeda yang membuat guru tetap bahagia meski rutinitas mengajar penuh tantangan.|Foto: thetutorresource.com

"Ketika guru menuliskan pengalamannya, ia bukan hanya merawat jiwanya sendiri, tetapi juga menyalakan cahaya bagi banyak orang."

Ketika Lelah, Saya Menemukan Pulpen

Hari itu Jumat sore di Karawaci, sebuah pesan pendek dari guru matematika saya muncul di layar:

"Kalau besok luang, main ya ke sekolah. Kamu isi kelas Bapak. Topiknya bebas. Dari ceritamu nanti, Bapak ingin menulis. Hatur nuhun."

Pesan itu membuat saya tertegun. Saya memang bukan guru, hanya seorang karyawan yang dulu pernah belajar darinya. Tapi kali ini, beliau justru meminta saya mengisi kelasnya. Katanya, beliau ingin lebih banyak mendengar, belajar, dan menulis. 

Esoknya saya datang. Benar saja, kelas yang saya masuki bukan kelas kecil, melainkan gabungan dua kelas sekaligus. Suasana riuh, tawa bercampur sorak, membuat ruangan seperti sebuah panggung. Saya pun berbagi cerita sederhana, dan melihat wajah-wajah ceria anak-anak itu. Sungguh, momen itu membahagiakan yang hingga kini masih saya rasakan.

Namun, setelah tiga sesi berturut-turut, saya pulang dengan tubuh lelah luar biasa. Kepala terasa penuh, energi terkuras. Apalagi di rumah masih ada pekerjaan kantor yang sifatnya emergency. Malam itu saya benar-benar merasakan, meski hanya sehari, bagaimana beratnya menjadi guru.

Saya pun berempati. Jika saya saja sudah terasa lelah setelah sehari, bagaimana dengan mereka yang melakukannya setiap hari, sepanjang tahun?

Malam itu, saya coba menuliskan pengalaman ini di buku catatan kecil. Tak saya sangka, menulis membuat hati lebih tenang. Dari situ saya belajar: mungkin inilah yang bisa membantu para guru, bahwa menulis sebagai cara sederhana untuk merawat kebahagiaan. Ya, menulis adalah jeda yang menumbuhkan bahagia.

Menulis sebagai Katarsis Emosi

Sejauh yang saya tahu, mengajar bukanlah hanya soal menyampaikan pelajaran, tapi juga mengelola emosi. Saya baru sehari saja merasakannya: bagaimana menjaga kelas tetap fokus, bagaimana menahan sabar saat riuh tak terkendali.

Saya membayangkan, bagi guru, menulis bisa menjadi ruang aman untuk meluapkan semua rasa lelah itu. Alih-alih dipendam, keresahan bisa lebih nyaman dituangkan di atas kertas. Riset WHO (2022) pun membuktikan: menulis ekspresif seperti journaling mampu mengurangi stres dan menjaga kesehatan mental.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline