Korupsi di Indonesia seolah tidak pernah benar-benar padam. Setiap tahun, selalu ada kasus baru yang mencuri perhatian publik, hanya saja bentuk dan modusnya terus berubah mengikuti zaman. Jika dulu praktik suap dan gratifikasi menjadi wajah paling dominan, kini korupsi banyak bersembunyi di balik kebijakan pengadaan barang dan jasa, teknologi, hingga sektor energi.
Salah satu tren yang menonjol belakangan ini adalah korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 mencatat lebih dari 80 persen pemerintah provinsi dan 67 persen pemerintah kabupaten/kota masih rentan terhadap praktik curang dalam proses pengadaan. Situasi ini diperburuk dengan hadirnya Perpres PBJ 2025 yang dinilai memberi ruang diskresi lebih luas bagi pejabat, sehingga rawan disalahgunakan. Tidak mengherankan jika pengadaan publik masih menjadi “lahan basah” bagi para pelaku korupsi.
Selain itu, korupsi di BUMN kembali menjadi sorotan melalui skandal PertaminaGate. Kasus ini memperlihatkan bagaimana pencampuran bahan bakar subsidi dan non-subsidi bisa merugikan negara dalam jumlah fantastis. Korupsi jenis ini tidak hanya menyedot anggaran negara, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi strategis milik negara.
Di sektor pendidikan, masyarakat masih hangat membicarakan skandal Chromebook. Proyek pengadaan laptop senilai hampir Rp10 triliun yang semula dimaksudkan untuk mendukung pembelajaran digital justru berubah menjadi ajang bancakan. Kompleksitas teknis pengadaan teknologi sering membuat publik sulit memahami detail kasus, sehingga celah pengawasan pun terbuka lebar.
Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah penurunan penindakan kasus korupsi. Data menunjukkan, sepanjang 2024 hanya ada 364 kasus yang disidik—angka terendah dalam lima tahun terakhir. Ironisnya, kerugian negara justru melonjak hingga Rp279 triliun, terutama karena satu kasus besar. Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah kapasitas aparat penegak hukum melemah, ataukah ada hambatan struktural yang membatasi ruang pemberantasan korupsi?
Masalah lain adalah minimnya pemulihan aset. Dari ratusan kasus tipikor, hanya sebagian kecil yang melibatkan pengembalian aset negara. Padahal, tanpa pemulihan yang efektif, korupsi akan terus menguras keuangan negara tanpa ada jaminan kerugian bisa ditutup kembali.
Jika ditelusuri lebih jauh, ada beberapa faktor yang menghambat pemberantasan korupsi. Pertama, kebijakan yang membuka ruang diskresi, seperti dalam pengadaan publik. Kedua, kapasitas dan independensi aparat penegak hukum yang dipertanyakan. Ketiga, rendahnya transparansi data kasus, sehingga publik sulit melakukan kontrol. Keempat, lemahnya pengawasan terhadap kolusi antara pejabat publik dan pihak swasta.
Meski demikian, Indonesia sebenarnya mencatat sedikit perbaikan dalam Indeks Persepsi Korupsi dengan skor 37 poin di 2024. Akan tetapi, perbaikan ini terasa rapuh jika dibandingkan dengan kenyataan di lapangan: kasus besar terus bermunculan, dan penindakan cenderung menurun.
Lantas apa yang bisa dilakukan? Beberapa langkah penting yang kerap digaungkan adalah reformasi regulasi pengadaan publik agar lebih transparan, memperkuat sistem pemulihan aset, serta membuka akses data perkara korupsi untuk masyarakat. Tidak kalah penting adalah memastikan aparat penegak hukum benar-benar bersih, independen, dan memiliki kapasitas untuk menangani kasus yang kompleks. Partisipasi publik melalui mekanisme pengawasan sosial juga harus diperkuat, agar kontrol tidak hanya bergantung pada lembaga negara.
Pada akhirnya, korupsi di Indonesia bukan sekadar soal hukum, tetapi juga soal budaya politik dan keberanian moral. Kasus Chromebook dan Pertamina hanya dua contoh dari wajah baru korupsi yang menunjukkan betapa besar tantangan di depan mata. Jika pemerintah dan masyarakat tidak bersinergi, maka korupsi akan tetap menjadi tren tahunan yang tak pernah usang.