Bab 11: Pelarian dari Gua Langit
Sebelum lanjut, baca Prolog, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, dan Bab 10.
Jika suka dengan cerita ini, jangan sungkan like dan comment, akan sangat berarti bagi tim penulis.
Fajar baru saja menyingsingkan benang-benang cahaya pertamanya di celah timur Gua Langit ketika Angin, dengan mata sembap dan wajah pucat pasi, membangunkan Tanah, Api, dan Tirta. Suaranya bergetar hebat saat ia menceritakan apa yang disaksikannya semalam: ritual ngaos yang dilakukan Pangeran Wirasakti, pemanggilan arwah Ratu Sekar dan putranya, dan yang paling mengerikan, rencana sang Pangeran untuk mengorbankan mereka demi membangkitkan keluarganya yang telah tiada.
Reaksi pertama adalah ketidakpercayaan. Tanah termangu, mencoba mencerna kata-kata Angin yang terdengar seperti mimpi buruk. Tirta, yang sudah menyimpan kecurigaan pada Wirasakti, mendengarkan dengan rahang mengeras, kemarahan dingin terpancar dari matanya. Api, seperti biasa, adalah yang pertama meledak.
"Kurang ajar!" geramnya, tinjunya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. "Jadi selama ini kita hanya dijadikan tumbal? Setelah semua omong kosongnya tentang Catur Darma dan perjuangan suci?" Matanya menyala-nyala, bukan hanya karena amarah, tapi juga karena merasa dikhianati begitu dalam.
"Aku melihatnya sendiri, Api," isak Angin. "Ayahku... dia akan membunuh kita semua." Kenyataan bahwa pria yang baru ia ketahui sebagai ayahnya tega merencanakan hal sekeji itu adalah luka yang paling menyakitkan.
Tak ada waktu untuk berdebat panjang atau meratapi nasib. Mereka tahu, jika Wirasakti menyadari bahwa rencananya telah terbongkar, ia tak akan ragu untuk bertindak cepat. Gua Langit yang tadinya terasa sebagai tempat perlindungan, kini telah berubah menjadi sangkar maut. Mereka harus segera pergi.
Rencana pelarian disusun dengan tergesa-gesa, diwarnai kepanikan namun juga tekad yang bulat. Mereka akan keluar melalui jalur belakang gua, sebuah lorong sempit yang jarang digunakan dan bermuara di hutan lebat di lereng gunung -- jalur yang sama yang mungkin pernah digunakan Wirasakti untuk menyelinap melakukan ritualnya. Mereka akan bergerak saat matahari sedikit lebih tinggi, ketika sebagian besar penghuni gua (jika ada selain mereka dan Wirasakti) mungkin sedang beraktivitas lain.
Namun, seolah takdir senang mempermainkan mereka, saat mereka baru saja hendak mencapai mulut lorong pelarian, langkah mereka terhenti. Pangeran Wirasakti berdiri di sana, wajahnya tak bisa dibaca. Apakah ia tahu?
"Mau ke mana kalian pagi-pagi begini?" tanya Wirasakti, suaranya tenang, namun ada nada mengancam di baliknya.