Lihat ke Halaman Asli

Adinda Alya Septianty

Mahasiswi Program Studi Sosiologi FIS UNJ

Citayam Fashion Week: Representasi Budaya Pinggiran di Ruang Urban

Diperbarui: 27 Juni 2025   23:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Budaya seringkali dipahami sebagai sesuatu yang lahir dari tempat resmi seperti galeri seni, teater, atau lembaga sastra yang identik dengan kalangan elite. Dalam studi sosiologi kebudayaan, Raymond Williams memberikan pandangan lain yang menolak pandangan elitis bahwa budaya hanya milik kalangan atas. Baginya, budaya adalah "keseluruhan cara hidup" (a whole way of life), yang dibentuk oleh makna dan nilai yang secara aktif diciptakan oleh orang-orang biasa dalam konteks sosial mereka. Dalam hal ini, ekspresi budaya yang muncul dari masyarakat pinggiran sangat penting untuk dilihat. Budaya tidak harus selalu berasal dari tempat mewah atau lembaga resmi. Sebaliknya, budaya bisa tumbuh dari kehidupan sehari-hari masyarakat biasa. Ini membuktikan bahwa budaya bukan milik elite saja, tetapi juga bisa lahir dari kreativitas remaja atau warga biasa.

Contoh nyatanya adalah fenomena Citayam Fashion Week (CFW) yang viral pada tahun 2022. Fenomena ini mulai ramai sekitar bulan Juni dan Juli, kawasan Dukuh Atas yang biasanya menjadi tempat para pekerja kantoran beraktivitas tiba-tiba dipadati oleh banyak remaja dari daerah seperti Citayam, Bojong Gede, dan Depok. Pada mulanya aktivitas mereka hanya sebatas nongkrong, duduk di trotoar, dan berfoto bersama teman-teman. Tetapi, perubahan pesat terjadi ketika sejumlah video berisi wawancara dengan remaja seperti Bonge, Jeje, dan Kurma beredar luas di media sosial seperti TikTok dan Instagram. Gaya berbicara mereka yang khas dan cara berpakaian yang percaya diri dengan busana unik berhasil menarik perhatian masyarakat. Sejak saat itu, aktivitas yang awalnya bersifat kasual berubah menjadi aksi yang lebih ekspresif. Zebra cross di depan Stasiun BNI City pun diubah menjadi "catwalk" dadakan tempat mereka memamerkan gaya berpakaiannya. Dari fenomena itulah istilah Citayam Fashion Week mulai dikenal luas.

Tren ini dengan cepat menyebar dan menghadirkan istilah baru, yakni ABG 'SCBD', yang merupakan singkatan dari Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok. Popularitas mereka tidak hanya berkembang di media sosial, tetapi juga diliput oleh berbagai media nasional. Remaja-remaja seperti Bonge, Jeje "Slebew", Roy, dan Kurma pun semakin dikenal luas. Viralnya mereka semakin menguatkan identitas ini dan menarik banyak remaja. Bahkan, artis dan pejabat seperti Paula Verhoeven, Baim Wong, Ridwan Kamil, dan Anies Baswedan ikut turun ke zebra cross

Fenomena ini mirip dengan Harajuku Street di Jepang, di mana anak-anak muda menunjukkan jati diri lewat gaya berpakaian unik. Seperti dijelaskan oleh Malcolm Barnard (1995) dalam Fashion as Communication, fashion adalah cara seseorang menunjukkan identitasnya, CFW dan Harajuku sama-sama menunjukkan bahwa fashion bukan soal merek mahal, tapi ekspresi diri dengan apa yang dimiliki. Mereka memberi ruang simbolik bagi remaja untuk tampil beda dan bebas tanpa harus selalu mengikuti tren massal. Para remaja ini bukan artis atau model profesional, tapi berhasil menjadikan ruang kota sebagai tempat mengekspresikan diri. Ini menunjukkan bahwa budaya bisa lahir dari bawah, bukan selalu datang dari atas.

Fenomena Citayam Fashion Week (CFW) dalam teori Raymond Williams dapat dipahami melalui tiga lapisan yaitu budaya yang dijalani (lived culture), budaya yang terekam (recorded culture), dan tradisi yang selektif (selective tradition). Budaya yang dijalani adalah budaya yang hanya benar-benar dipahami oleh mereka yang mengalaminya langsung pada waktu dan tempat tertentu. Dalam konteks Citayam Fashion Week (CFW), ini tercermin dari pengalaman remaja-remaja Citayam, Bojong Gede, dan Depok yang datang ke Dukuh Atas. Mereka bukan sekadar penonton, tapi pelaku budaya. Bagi mereka, zebra cross bukan sekadar tempat berjalan, tapi simbol eksistensi yang menunjukkan bahwa "kami ada dan ingin terlihat."

Apa yang terjadi di Citayam Fashion Week (CFW) tidak hanya dirasakan oleh mereka yang datang langsung, tapi juga terekam dalam video TikTok, postingan Instagram, dan berita di media. Inilah yang disebut Raymond Williams sebagai budaya yang terekam, jejak budaya yang bisa dilihat banyak orang bahkan setelah peristiwanya lewat. Remaja seperti Bonge, Jeje "Slebew", dan Kurma ikut dikenal karena gaya mereka yang direkam dan dibagikan dengan media sosial sebagai alat CFW untuk menyebar luas.

Namun, tidak semua aspek dari CFW akan bertahan atau diingat. Williams menyebut adanya proses seleksi budaya, yakni upaya untuk mewariskan sebagian kecil dari budaya yang terekam, sementara aspek lainnya dilupakan atau diabaikan. Dalam kasus CFW, yang akhirnya dikenang adalah figur populer seperti Bonge dan istilah "slebew" itu sendiri. Sementara klaim ruang publik oleh masyarakat pinggiran, atau resistensi terhadap dominasi simbolik kota tidak banyak dibicarakan. Bahkan saat terdapat upaya komersialisasi dilakukan, seperti pendaftaran HAKI atas nama "Citayam Fashion Week" oleh perusahaan milik artis ternama, hal ini menunjukkan bagaimana proses seleksi dikendalikan oleh kekuatan eksternal yang lebih dominan secara ekonomi dan simbolik.

Untuk memahami dinamika seleksi ini secara lebih mendalam, kita perlu melihat bagaimana budaya tidak berdiri sendiri, melainkan terkait erat dengan struktur sosial dan kondisi material yang melingkupinya. Williams juga menekankan pentingnya melihat budaya dalam hubungannya dengan kondisi nyata kehidupan manusia, seperti pekerjaan, ekonomi, dan teknologi. Ia menyebut pendekatan ini sebagai materialisme kultural. Budaya tidak berdiri sendiri, tetapi dibentuk oleh kondisi nyata tempat ia diproduksi dan dijalani. Untuk menganalisis budaya, kita perlu memperhatikan institusi, formasi, sarana produksi, identifikasi, bentuk budaya, reproduksi, dan juga organisasi tradisi selektif.

Institusi dalam konteks ini yaitu wadah atau tempat fenomena itu terjadi, panggung utama CFW bukanlah institusi budaya formal seperti galeri atau gedung pertunjukan, melainkan ruang publik jalanan Sudirman, terutama zebra cross di depan Stasiun BNI City yang diubah menjadi catwalk dadakan. Media sosial seperti TikTok dan Instagram pun berperan sebagai "stasiun penyiaran" baru, tempat budaya ini disebarkan secara luas. Di sinilah praktik budaya populer berlangsung di luar institusi resmi, menunjukkan bahwa produksi budaya bisa muncul secara organik dari ruang-ruang nonformal. Kelompok gerakannya atau formasi gerakan CFW tidak diorganisasi oleh lembaga atau panitia resmi, melainkan tumbuh dari pertemanan remaja-remaja pinggiran kota seperti Citayam, Bojong Gede, dan Depok. Munculnya figur-figur seperti Bonge dan Jeje "Slebew" sebagai simbol gaya dan sikap menunjukkan adanya formasi budaya, yakni kelompok-kelompok informal yang membentuk dan memengaruhi arah pergerakan ini, meski tanpa struktur organisasi formal. 

Alat untuk berkarya atau sarana produksinya, dalam memproduksi budaya mereka, para remaja ini memanfaatkan sarana-sarana material yang terjangkau yaitu handphone untuk merekam, mengedit, dan mengunggah konten. Pakaian yang ditampilkan banyak berasal dari hasil thrifting atau merek lokal yang terjangkau, mencerminkan kreativitas dalam kondisi ekonomi terbatas. KRL Commuter Line juga berperan besar sebagai alat mobilitas yang menghubungkan daerah pinggiran ke pusat kota. Bahkan, PT KAI Commuter mencatat kenaikan jumlah penumpang hingga 8 persen di Stasiun Sudirman pada akhir Juli 2022, sebagian besar berasal dari daerah-daerah Citayam, Bojong Gede, dan Depok yang menunjukkan peran penting transportasi publik dalam memungkinkan produksi budaya ini terjadi.

Identifikasinya yaitu untuk menunjukkan siapa diri mereka. Mereka menciptakan identitas tandingan, yaitu "anak SCBD" (Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok), sebagai bentuk kebanggaan menjadi anak pinggiran yang mampu menaklukkan pusat kota dengan gaya mereka sendiri. Wujud karyanya atau bentuk budaya yang dihasilkan adalah gaya busana yang khas yaitu layering atau tumpuk-menumpuk pakaian, celana lebar, jaket kulit, dan warna rambut yang mencolok. Selain itu, ada juga bentuk perilaku seperti cara berjalan yang dramatis di zebra cross dan populernya jargon seperti "slebew".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline