Lihat ke Halaman Asli

adha dzikri zakaria

saya seorang mahasiswa unnes

Pelemahan Rupiah: Dampak bagi Masyarakat, Dunia Usaha, dan Kebijakan

Diperbarui: 17 Mei 2025   01:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Nama: Adha Dzikri Zakaria

Universitas Negeri Semarang, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Program Studi Akuntansi, 2307020063

Pelemahan Rupiah: Dampak bagi Masyarakat, Dunia Usaha, dan Kebijakan 

Sepanjang awal 2025 rupiah tercatat melemah signifikan terhadap dolar AS. Pada 27 Maret 2025 BI mencatat kurs Rp16.560 per USD, namun sepekan kemudian sempat menyentuh level terendah baru di kisaran Rp17.261 per USD. Pelemahan ini dipicu oleh tekanan eksternal (suku bunga tinggi AS, kebijakan tarif timbal balik, dan ketidakpastian global) serta pelebaran defisit transaksi berjalan Indonesia (2024 defisit US$8,85 miliar atau 0,6% PDB). Kondisi ini memengaruhi berbagai lapisan ekonomi. 

Dampak bagi masyarakat. Rupiah yang melemah membuat harga barang impor melonjak. Produk-produk pokok seperti bahan pangan, obat-obatan, atau barang elektronik yang bahan bakunya banyak diimpor dalam USD menjadi lebih mahal, sehingga daya beli masyarakat menurun. Menurut Apindo Jawa Tengah, sekitar 70% bahan baku industri masih impor dolar AS, sehingga pelemahan rupiah mendorong membengkaknya biaya produksi dan harga jual barang di pasar domestik. Akibatnya, konsumen merasakan inflasi impor yang lebih tinggi. Meskipun inflasi Indonesia masih relatif rendah (inflasi tahunan April 2025 tercatat 1,95%), tekanan biaya hidup perlu diwaspadai agar tidak menimbulkan lonjakan harga kebutuhan pokok berikutnya.

Dampak bagi dunia usaha. Pelemahan rupiah memengaruhi struktur biaya perusahaan. Industri yang banyak bergantung pada bahan baku impor harus mengeluarkan biaya lebih besar, sehingga margin keuntungan tertekan. Banyak pengusaha menunda ekspansi dan menahan pembelian bahan baku karena ketidakpastian nilai tukar. Sekali pun produk ekspor menjadi lebih kompetitif (penjualan dalam rupiah meningkat), tantangan global seperti permintaan menurun dan tarif perdagangan tinggi membatasi keuntungan tersebut. Dalam jangka pendek, dunia usaha menjadi lebih hati-hati: produksi bisa dipangkas, waktu kerja dikurangi, bahkan ada potensi PHK jika pelemahan berlanjut. Kondisi ini memperlambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Sektor perbankan juga perlu waspada, karena kenaikan BI Rate untuk menstabilkan rupiah dapat membuat kredit mahal.

Respons kebijakan pemerintah. Bank Indonesia (BI) dan pemerintah telah mengambil langkah stabilisasi. BI secara aktif mengintervensi pasar valuta asing, baik di pasar spot maupun NDF (offshore) secara berkesinambungan. Upaya ini terbukti berhasil: rupiah yang sempat menembus Rp17.300 (NDF) di pasar Hong Kong pada 7 April 2025 dapat ditarik kembali di bawah Rp17.000 menjadi sekitar Rp16.855 per USD pada 22 April 2025. Selain itu, BI mempertahankan suku bunga acuan pada 5,75% untuk menjaga iklim investasi tanpa mendorong inflasi tajam. Pemerintah juga memperkuat kebijakan makroekonomi: Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan fundamental ekonomi Indonesia masih kuat (ekspor meningkat, cadangan devisa besar, dan surplus neraca perdagangan) sehingga fluktuasi kurs saat ini tidak melampaui kemampuan tanggung jawab kebijakan. 

Beberapa kebijakan konkret yang dilakukan antara lain: 

  • Intervensi pasar valas secara agresif di lintas zona waktu (Asia, Eropa, AS) untuk meredam gejolak kurs.
  • Memperluas kerja sama mata uang dengan negara mitra: misalnya, BI memperpanjang perjanjian swap rupiah-yuan hingga 400 miliar yuan (Rp891 triliun, setara US$55 miliar) untuk mendorong perdagangan dan investasi dalam mata uang lokal
  • Pemeliharaan suku bunga BI di tingkat yang mendukung stabilitas nilai tukar dan menahan laju inflasi.
  • Mendorong ekspor dan memperlancar impor bahan baku lewat deregulasi dan kemudahan perizinan, agar devisa hasil ekspor terjaga dan neraca perdagangan tetap surplus.

Dengan fundamental ekonomi yang relatif kuat (cadangan devisa mencapai sekitar US$152--154 miliar per April 2025) dan langkah kebijakan di atas, pemerintah optimis ketahanan eksternal tetap terjaga. Cadangan devisa sekitar US$152,5 miliar pada akhir April 2025 setara pembiayaan 6,4 bulan impor, jauh di atas standar aman 3 bulan. Artinya, Indonesia masih memiliki bantalan cukup untuk menghadapi guncangan rupiah. 

Secara keseluruhan, pelemahan rupiah memang menambah beban ekonomi (terutama bagi konsumen dan importir), namun juga memacu sektor ekspor dan mendorong pemerintah menjaga disiplin fiskal dan moneter. Kuncinya adalah sinergi kebijakan: menjaga inflasi terkendali, memperluas basis ekspor, serta terus memantau pasar global. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan rupiah dapat kembali ke kisaran fundamentalnya tanpa menimbulkan krisis baru bagi masyarakat, dunia usaha, maupun keuangan negara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline