Public speaking kini dianggap keterampilan wajib bagi pejabat, politisi, dan pemimpin publik. Mereka berlatih teknik suara, gesture tubuh, hingga cara menguasai panggung. Slide presentasi canggih, latar belakang layar LED, bahkan konsultan komunikasi ikut bekerja. Namun, semua itu terasa kering jika kata-kata yang keluar hanya untuk membela diri, bukan untuk melayani.
Ironisnya, di balik panggung politik dan gedung megah, ada seorang ustad kampung yang tanpa teori retorika mampu menenangkan hati orang banyak. Dengan sarung sederhana dan mikrofon seadanya, ia menunjukkan bahwa seni bicara sejati tidak diukur dari teori atau sertifikat, melainkan dari keikhlasan hati dan pelayanan pada umat.
Ustad Kampung Seni Bicara dari Hati
Ustad ini melayani semua orang tanpa memandang status. Orang alim atau awam, jamaah yang rajin ke masjid atau jarang hadir, semua diperlakukan sama. Baginya, setiap manusia berhak dihormati dan dihibur.
Dalam suasana duka, ia tidak menghakimi almarhum yang dikenal bermasalah, tapi menghibur keluarga dan mengajak semua untuk berdoa dengan tulus. Dalam acara bahagia, ia menambah rasa syukur dengan kata-kata sederhana namun penuh makna. Harmoni ustad dengan jamaahnya terasa begitu intens: jamaah menghormati karena keikhlasan, bukan karena pangkat.
Pejabat Bicara dengan Teori, Lupa Rasa
Bandingkan dengan sebagian pejabat publik: bicara di panggung besar, tapi kata-katanya sering memicu kemarahan. Kritik dijawab dengan sindiran, protes rakyat dibilang provokasi, bahkan ada anggota DPR yang dengan enteng menyebut rakyat "tolol".
Padahal, jabatan mereka lahir dari suara rakyat. Sumpah jabatan yang mereka ucapkan bukan formalitas, melainkan kontrak moral untuk melayani rakyat. Tapi gaya komunikasi pejabat hari ini terasa dingin: penuh teori, tapi miskin rasa.
Bicara Itu Ibadah, Bukan Sekadar Teknik
Public speaking bukan hanya teknik suara dan intonasi. Ia adalah ibadah sosial: seni menenangkan hati, memberi harapan, dan merangkul semua orang. Ustad kampung membuktikan bahwa kata sederhana yang lahir dari hati bisa lebih kuat daripada pidato panjang yang penuh data.
Kata yang tulus bisa mengubah hati, sedangkan kata yang arogan bisa menghapus kepercayaan. Ini pelajaran yang harusnya dimengerti para pejabat: bicara bukan hanya seni mempengaruhi orang, tapi seni menjaga amanah.