Meja Makan Dulu Tempat Ramai, Cerita Mengalir Deras
Dulu, meja makan kami tak pernah sunyi. Saat anak-anak masih kecil, waktu makan adalah waktu paling dinanti. Mereka datang dengan wajah lelah tapi ceria, membawa cerita dari sekolah, dari teman-teman, dari guru yang menyebalkan, hingga makanan kantin yang rasanya 'ajaib'. Saya dan istri hanya duduk mendengar, tertawa, kadang menimpali, kadang diam, tapi selalu merasa hangat.
Kami memang memilih jalan wiraswasta sejak usia pernikahan kami baru lima tahun. Bukan hanya demi fleksibilitas waktu, tapi karena kami ingin terlibat penuh dalam proses tumbuh kembang anak-anak. Kami bergantian antar jemput sekolah. Saya bisa ikut acara pentas seni, ikut rapat orang tua, bahkan ikut belanja keperluan PR. Dan yang tak kalah penting: makan bersama hampir setiap hari.
Meja makan itu bukan hanya tempat isi perut, tapi tempat berbagi perasaan, tempat merayakan keberhasilan, tempat menyelesaikan masalah dengan cara yang paling sederhana: duduk bersama dan makan bareng.
Saya Jadi Chef, Anak-anak Berkumpul, Istri Meracik
Ada satu momen favorit di rumah kami: saat istri saya pergi keluar rumah, entah rapat komunitas atau reuni sahabat, saya otomatis naik pangkat jadi chef. Tapi jangan bayangkan masakan yang rumit. Menu andalan saya hanya satu---tapi selalu berhasil memanggil anak-anak: gurame panggang bumbu racikan istri, dimasak di atas happy call titanium.
Istri tetap membantu: dia meracik bumbu dan memoleskan ke badan ikan. Saya hanya perlu memanggang dan menyesuaikan panas. Begitu aroma ikan gurih memenuhi rumah, anak-anak langsung muncul. Tak perlu dipanggil. Mereka datang sendiri.
Dan kami pun makan bersama. Tanpa gawai. Tanpa TV. Hanya kami, cerita hari ini, dan piring yang saling berpindah.
Kebiasaan itu berulang selama hampir 15 tahun. Hari-hari yang sederhana tapi berharga. Waktu yang terasa biasa tapi ternyata luar biasa.
Waktu Berjalan, Anak-anak Mulai Pergi
Namun seperti semua yang indah, masa itu pun berlalu.