Kamis, 05 Juni 2025 Penambangan nikel di Raja Ampat, khususnya oleh PT Gag Nikel di Pulau Gag, menimbulkan polemik antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Perusahaan ini mengklaim menerapkan praktik pertambangan berkelanjutan, termasuk reklamasi lahan seluas 131,42 hektare dan penanaman lebih dari 350.000 pohon hingga Desember 2024. Selain itu, PT Gag Nikel juga melaksanakan rehabilitasi daerah aliran sungai dan konservasi ekosistem pesisir seperti mangrove dan terumbu karang.
Namun, aktivitas penambangan ini memicu kekhawatiran terhadap dampak lingkungan, terutama sedimentasi yang mengancam terumbu karang dan ekosistem laut. Laporan dari Marine and Coastal Policy Research menyebutkan bahwa deforestasi akibat pembukaan lahan tambang menyebabkan sedimentasi tinggi yang menutupi terumbu karang, mengganggu fotosintesis alga, dan merusak habitat biota laut.
Masyarakat adat dan aktivis lingkungan juga menyuarakan penolakan terhadap ekspansi tambang nikel di wilayah ini. Mereka menilai bahwa aktivitas tambang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat lokal yang bergantung pada sektor perikanan dan pariwisata. Ketua Dewan Adat Papua Wilayah III Domberai, Ronald Kondjol, menegaskan bahwa deforestasi besar-besaran akibat aktivitas tambang telah merusak hutan adat di Pulau Gag.
Selain itu, masyarakat adat Pulau Kawe dan Gag menggelar aksi damai menuntut hak royalti mereka dari PT Gag Nikel. Mereka mengklaim belum menerima dana royalti yang dijanjikan sejak perusahaan beroperasi, yang nilainya diperkirakan antara Rp 550 miliar hingga Rp 700 miliar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI