Sebuah ironi membingungkan sedang dipertontonkan di panggung republik ini. Di saat Presiden Prabowo Subianto menggemakan visi penguatan literasi, demokrasi, dan hak asasi manusia, aparat di Jawa Timur justru sibuk menjadi kurator perpustakaan dengan cara paling absurd: menyita buku. Tindakan ini bukan sekadar kesalahan prosedur, melainkan sebuah pertunjukan nalar sesat yang berbahaya.
Bayangkan seorang pustakawan yang bertugas merawat pengetahuan, namun ia justru membakar buku karena takut pada kata-kata di dalamnya. Begitulah analogi paling pas untuk menggambarkan penyitaan 11 buku, termasuk karya-karya pemikir besar seperti Franz Magnis-Suseno dan Emma Goldman, dari tangan seorang tersangka kerusuhan. Ini adalah sebuah kekeliruan kategori (category error) yang fatal, di mana aparat gagal membedakan antara gagasan dengan tindakan kriminal.
Logika yang Terbakar
Alasan penyitaan, untuk menyelidiki pengaruh narasi buku terhadap tindakan tersangka, adalah sebuah simplifikasi yang menakutkan dan menunjukkan logical fallacy jenis post hoc ergo propter hoc (setelah ini, maka karena ini). Aparat seolah menyimpulkan bahwa karena tersangka membaca buku "kiri" lalu melakukan anarki, maka buku itulah penyebab tunggalnya. Pola pikir ini sama sesatnya dengan menyalahkan sendok untuk obesitas atau menyalahkan pena untuk berita bohong.
Ini adalah bentuk infantilisme negara yang menganggap warganya begitu rapuh sehingga sebuah gagasan dalam buku bisa serta-merta mengubah mereka menjadi perusuh. Perspektif psikologi sosial kritis melihat ini sebagai mekanisme kontrol. Dengan melabeli buku-buku tertentu sebagai "berbahaya," negara secara tidak langsung sedang membangun sebuah hegemoni tentang pemikiran mana yang "aman" dan mana yang "terlarang," sebuah proyek pengendalian pikiran yang terselubung.
Tindakan ini menjadi semakin absurd jika kita sandingkan dengan data. Menurut laporan Perpustakaan Nasional RI dalam kajian "Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat" (2024), Indonesia masih berjuang keras meningkatkan budaya bacanya. Di tengah perjuangan itu, aparat negara justru hadir dengan gunting sensor, membatasi akses pada kekayaan intelektual yang seharusnya mencerahkan.
Secara global, tindakan ini mengirimkan sinyal mundur. Lembaga seperti Reporters Without Borders dalam "World Press Freedom Index" (2025) secara konsisten menghubungkan kesehatan demokrasi dengan kebebasan arus informasi dan gagasan. Penyitaan buku, sekecil apapun skalanya, adalah goresan luka pada kanvas demokrasi kita yang rapuh, membuatnya tampak kusam di mata dunia.
Memelihara Api, Bukan Abu
Sejarah telah berulang kali memberi kita pelajaran yang sama, seperti yang pernah diperingatkan oleh penyair Jerman, Heinrich Heine, pada tahun 1821, "Di mana mereka membakar buku, pada akhirnya mereka juga akan membakar manusia." Penyitaan mungkin tidak sama dengan pembakaran fisik, tetapi esensinya serupa: memadamkan percikan pemikiran kritis. Ini adalah tindakan yang lahir dari ketakutan, bukan kekuatan.
Visi besar Presiden Prabowo tentang penguatan ideologi, demokrasi, dan HAM---seperti termaktub dalam Asta Cita I---membutuhkan warga yang berani berpikir, bukan warga yang ditakut-takuti. Demokrasi yang sehat tidak dibangun di atas rak-rak buku yang disensor, melainkan di dalam ruang-ruang diskusi yang riuh oleh perdebatan gagasan, bahkan yang dianggap paling radikal sekalipun. Polisi seharusnya memburu pelaku kriminal, bukan memburu isi kepala mereka.