Mohon tunggu...
Rahmiana Rahman
Rahmiana Rahman Mohon Tunggu... Social Worker -

Happy Wife I Social Worker I Volunteer I Traveler I Book Reader I Currently Living in Aceh, sometimes in Makassar

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"1880 Mdpl", Sebuah Film Dokumenter Tentang Himpitan Ekonomi dan Pemenuhan Cinta

10 September 2018   17:44 Diperbarui: 10 September 2018   18:04 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Supandi dan Mursiti, dua tokoh utama film 1880 MDPL

Bagi saya, film dokumenter 1880 mdpl ini adalah kisah  Supandi dan Mursiti di tengah himpitan ekonomi yang terus berjuang memenuhi kebutuhan dengan keterpenuhan cinta, mendukung satu sama lain dengan sabar dan ikhlas.

 "Kira-kira dimana 1880 mdpl?" tanya saya pada suami yang dengan sabar mengantar ke Lapangan Blang Padang, mengikuti keinginan saya yang sedang hamil 6 bulan ini untuk melihat pemutaran film-film dokumenter yang diadakan oleh komunitas Aceh Documentary. Pemutaran film ini dikemas dalam tajuk Layar Tancap PKA-VII yang merupakan salah satu rangkaian kegiatan PKA-VII. PKA ini merupakan singkatan dari Pekan Kebudayaan Aceh yang dilaksanakan untuk ketujuh kalinya mulai tanggal 5 sampai 15 Agustus 2018.

"Mungkin di Aceh Tengah," jawab suami saya singkat. Kemudian, nampak suami melihat serius ke arah layar tancap saat tertulis judul film "1880 MDPL". Terlihat juga antusiasnya untuk menonton film dokumenter yang diputar pada tanggal 9 Agustus 2018 itu.

Setelah melihat keseriusannya menonton, saya pun mengedarkan pandangan sejenak ke bagian belakang. Tak banyak yang datang dan duduk melihat pemutaran film. Padahal, banyak film menarik karya sineas-sineas berbakat di Aceh. Termasuk 1880 MDPL ini, satu dari dua film dokumenter keren yang suami dan saya tonton malam itu.

* * *

Cerita pembukaan lahan untuk dijadikan daerah transmigrasi saat orang-orang Jawa mulai datang di tahun 1997 menjadi bagian pembukaan film 1880 MDPL ini. Film yang mengambil  settingan tempat di Desa Merah Jernang, Kecamatan Alu Lintang, Kabupaten Aceh Tengah dengan ketinggian 1880 meter diatas permukaan laut (mdpl) bergulir dengan rapi. Hutan dibabat untuk membuka lahan tempat tinggal untuk para transmigran.

Selain lahan tempat tinggal, mereka juga diberikan lahan tanam oleh pemerintah. Ini tentu sebagai modal awal untuk menanam dan berharap hasil tanaman bisa memenuhi kebutuhan mereka.

Para transmigran sudah mencoba semaksimal mungkin tapi hasilnya tak pernah memuaskan. Lahan yang diberikan itu adalah lahan yang tak subur.

Tak heran jika pada akhirnya, keluarga para transmigran yang menjadikan lahan pemberian sebagai lahan tanam kopi mencari alternatif kehidupan untuk menambah penghasilan dan mencukupi kebutuhan mereka.

Salah satu transmigran itu adalah keluarga Supandi dimana terdapat Supandi sebagai Kepala keluarga, Mursiti sebagai istri serta seorang anak yang sedang menempuh pendidikan di sebuah universitas yang jauh dari kampungnya.

Sehingga di rumah sangat sederhana pembagian di Aceh Tengah itu, hanya tinggal Supandi dan Mursiti. Supandi digambarkan sebagai lelaki yang bertanggungjawab, kuat, sabar dan mau belajar menjadi lebih baik yang bisa dilihat saat scene istrinya mengajarinya mengaji meskipun diusianya yang tak muda lagi.

Mursiti pun digambarkan sebagai sosok perempuan kuat, tabah dan tahu cara membantu suaminya serta sabar menghadapi hidup yang acapkali tak mudah.

Dalam sebuah potongan cerita, ditampilkan Mursiti memperlihatkan tanah yang kurang vitamin sehingga untuk menanam kopi dibutuhkan pupuk yang banyak. Pupuk yang banyak tentu butuh uang yang banyak.

Disatu sisi, Supandi dan Mursiti adalah sepasang suami istri dihadapkan pada kondisi kekurangan ekonomi ditambah lagi ketika harus membayar biaya pendidikan anaknya. Pada akhirnya, suami istri ini sering utang pupuk untuk membayar biaya kuliah anak mereka.

Di film berdurasi sekitar 30 menit itu diperlihatkan Supandi dan Mursiti mendapatkan uang hasil penjualan kopi 18 kilogram seharga 135.000 rupiah dimana 35.000 rupiah dipakai untuk membayar utang mereka. 100 ribu rupiah mereka simpan.

Setelah dikurangi 35.000 rupiah itu, utang mereka yang tersisa adalah 2.850.000 rupiah. Itu belum utang di tempat pembelian pupuk sebesar 2.000.000. Sungguh jumlah yang tak sedikit untuk mereka. Meskipun, mereka telah berupaya membanting tulang menanam untuk menghasilkan pundi-pundi dari tanaman kopi.

Belum lagi, saya melihat kecenderungan harga kopi yang murah sementara biaya pendukung semisal pupuk untuk pertumbuhan kopi harus didapatkan dengan mahal. Ironi kehidupan transmigran.

Kesulitan ekonomi ini tetap terjadi meskipun keluarga Supandi, dalam hal ini Supandi harus menambah pekerjaan sampingan dengan berjualan bakso. Tapi, tetap saja utang mereka masih banyak. Keadaan finansial keluarga ini di tingkat rendah.

Selain sebagai petani kopi, Supandi harus bekerja sampingan sebagai penjual bakso keliling
Selain sebagai petani kopi, Supandi harus bekerja sampingan sebagai penjual bakso keliling
1880 mdpl memang adalah dataran rendah yang tidak memiliki tanah hitam yang subur. Jangan heran jika hasil pendapatan sebagai petani kopi pun tak jelas. Hasil tanaman petani kopi 1 tahun tak akan mencukupi kebutuhan 1 tahun. Desakan kebutuhan ini memunculkan ide membuka lahan baru di hutan.

"Jika dikatakan merambah hutan mau bagaimana lagi karena harus kita lakukan." Demikian salah satu potongan ujaran  seorang petani kopi lainnya, pemeran pendukung dalam film 1880 mdpl. Petani kopi di Aceh Tengah itu juga mengharapkan pemerintah bisa menstatuskan tanah transmigran karena mereka ternyata tinggal di hutan lindung.

Scene : petani kopi yang sedang saling berbicara 

Film dokumenter ini juga mencoba memperlihatkan opini dari pihak lain selain para petani kopi, yaitu pemerintah setempat. Pihak pemerintah setempat juga merasa serba salah karena mencari tanah di daerah yang rendah namun ternyata tidak bisa menguntungkan. Harapan pemerintah dalam film itu adalah perlu membuat himbauan menebang secukupnya, sehingga para transmigram mendapat lahan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga mereka, tapi bukan untuk dijual.

* * *

Para pembuat film dokumenter 1880 MDPL membuat film ini sepenuh hati. Saya mencoba mendeskripsikannya sebagai film "sederhana tapi kaya makna."  Tak heran jika kemudian pada akhirnya film yang disutradarai oleh Riyan Sigit W dan Miko Saleh berhasil masuk menjadi salah satu nominator kategori Dokumenter Pendek pada ajang tertinggi penghargaan bagi dunia perfilman Indonesia yaitu Festival Film Indonesia pada tahun 2016 serta menjadi pemenang pada Film Terbaik Denpasar Film Festival (DFF) 2017.

Meskipun fokus utamanya nampak pada kehidupan Supandi dan Mursiti, tokoh petani lain dan pemerintah setempat yang muncul sejenak dengan dialog yang minim menguatkan film ini.

Film ini juga memiliki penggambaran yang baik. Menampilkan detail dan menghadirkan bahasa gambar yang membuat penonton berpikir.

Film dokumenter ini memang terbilang singkat namun menarik di berbagai hal. Bukan saja karena mengangkat isu lingkungan dan ekonomi sebagai bagian penting dari pembangunan ekonomi berkelanjutan, tapi juga ada kisah cinta yang memahamkan penonton bahwa memaknai cinta itu hanya perlu cara-cara sederhana yang dikemas oleh kebersamaan menghadapi hidup. Lihatlah kehidupan penuh kebersamaan Supandi dan Mursiti, meski diusia yang tak muda lagi, mereka tetap saling mendukung dan bahagia. Mereka pun dengan tertatih mencari uang, untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang kuliah. Sebuah konsekuensi dari pemenuhan cinta yang tulus.

Buat penggemar drama roman picisan, film dokumenter ini bisa jadi tak menarik, tapi buat penggemar film yang ingin belajar kehidupan, lingkungan, ekonomi dan berbagai problematika sosial dari sebuah film, 1880 MDPL adalah salah satu pilihan tepat.

1880 MDPL, sebuah film dokumenter tentang kesulitan ekonomi dan pemenuhan cinta.

* * *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun