Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Besarnya Biaya Politik dan Korupsi

17 Oktober 2017   07:39 Diperbarui: 17 Oktober 2017   08:11 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam percakapan dengan seorang teman di WathsApp, saya mengatakan menjadi anggota dewan itu enak. Gaji cukup besar. Sebagai wakil rakyat, mereka dihormati. Kerja hanya rapat, menggali aspirasi kemudian menyampaikannya kepada pemerintah. Dengan enteng, teman saya yang anggota DPRD sebuah kabupaten di Jawa Tengah tersebut  menjawab, iyalah bung. Khan harga kursinya juga tidak  murah. Sangat Mahal. Tentu enak. Setiap sesuatu (di dunia) itu bergantung pada uang. Harga mahal,  fasilitas bagus. Dan sebaliknya.

Apa yang dikatakan teman saya ada benarnya. Di Indonesia biaya politik memang sangat mahal. Seorang yang ingin menjadi anggota dewan membutuhkan dana milyaran. Terlebih jika ingin jadi kepala daerah (Bupati, Gubernur). Jadi calon kepala desa saja sudah milyaran biayanya, apalagi di atasnya bisa jadi triliunan rupiah.

Di  kabupaten Indramayu misalnya,  beberapa bulan kedepan akan dilaksanakan Pemilihan Kepala Desa atau Pemilahan Kuwu (Pilwu). Untuk mengurangi biaya politik, pemerintah daerah menggratiskan biaya pendaftaran calon. Pertanyaannya, apa hal itu bisa mengurangi biaya politik secara signifikan? Dalam obrolan di warung kopi, seorang sahabat menegaskan bahwa itu tak berpengaruh apa-apa. Sebab di luar urusan pendaftaran, biaya yang akan dikeluarkan calon kuwu jauh lebih besar. Untuk logistik kampanye, membangun jaringan,  jamuan di rumah calon (dalam bahasa Dermayon biasa disebut medangan) juga untuk memenuhi permintaan rakyat seperti sumbangan pembangunan atau lainnya. Belum lagi jika digunakan untuk membeli suara. Bisa dihitung betapa besar dana yang kudu disiapkan.

Beberapa partai seperti Nasdem dan lainya mencoba mewacanakan dan menjual gagasan politik tanpa mahar. Walau nyatanya, hanya tuhan yang mengetahui. Sebab,  terbukti beberapa calon kepala daerah telah buka mulut. Mereka  mengeluh dengan besarnya pungutan yang diminta oleh partai. Dalam Pilkada Jawa Barat tahun 2018 misalnya, Dedi Mulyadi salah satu bakal calon mengaku dimintai uang 10 milyar sebagai syarat guna memperoleh tiket sebagai calon.

Andai benar politik tanpa mahar itu dijalankan, apa biaya politik akan mengecil? Saya tidak yakin. Sebab seperti halnya calon kuwu, calon kepala daerah tentu lebih besar lagi hitungannya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa apapun namanya yang terkait dengan pemilihan sangat membutuhkan modal besar. Pilpres, Pligub, Pilkada sampai Pilwu sama saja. Yang membedakan hanya jumlahnya mengikuti tingkatan dan gengsi jabatan tersebut. Dana politik salah satunya untuk membeli suara dari calon pemilih. Pertanyaannya kenapa rakyat menjual suaranya? Apa mereka tidak berpikir bahwa pelihan mereka   menentukan nasib, kemajuan, dan pembangunan daerahnya? Kenapa mereka menjual nasibnya selama lima tahun (satu periode) mendatang dengan sangat murah?

Menjawab pertanyaan diatas, menurut saya ada beberapa hal yang melatarbekangi. Pertama, budaya instan. Tak berpikir panjang. Uang di depan mata, tak perlu lagi berpikir jauh. Tak peduli terhadap kapasitas, integritas, dan kemampuan yang mereka pilih dalam memimpin. Bagi mereka yang penting sekarang mendapat uang, soal masa depan mereka tak mau tahu.

Kedua, hilangnya kepercayaan rakyat kepada pemimpinanya di masa lalu. Pemimpin hanya mengingat rakyat saat memilih. Setelah menjabat mereka mengabaikannya, melupakannya. Rakyat menjadi putus asa. Mereka bersedia menjual suaranya dengan sejumlah rupiah. Bagi mereka tak ada lagi idealisme. Seakan mereka frustasi. Berkali-kali memilih pemimpin, selalu dikecewakan. Bagi rakyat setiap pemimpin sama saja akan melupakan mereka setela menjabat. Mengutamakan kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok daripada rakyat dengan memperkaya diri.

Ketiga,lunturnya kepercayaan kepada politisi dan partai politik. Seringnya politisi dan partai tak  berpihak kepada rakyat membuat mereka sulit mempercayai. Bagi rakyat awam politik hanya menipu. Ketika tak ada kepercayaan pada partai maka demokrasi tak dapat dimaknai selain berebut kekuasaan. Keadaan seperti ini membuat rakyat tak peduli lagi dengan arti demokrasi.

Korupsi kepala daerah

Akhir-akhir ini banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Setidaknya selama 2017 sudah tujuh kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Diawali Sri Hartini,  Bupati Klaten Jawa Tengah di bulan Januari. Terlibat dalam jual beli jabatan senilai 2 milyar rupiah. Bupati Pemekasan Madura Achmad Syafii dalam kasus suap dana desa senila 250 juta. 

Siti Masitha Soeparno, wali kota Tegal tertangkap tangan dalam suapan dana kesehatan senilai 300 juta. OK Arya Zulkarnaen, Bupati Batu Bara Sumatra Utara dalam kasus suap dana infrastruktur senilai 346 juta. Eddy Rompuko, Walikota Malang terlibat suap dana penyedian mebeler senilai 200 juta. Tubagus Imam Aryadi, Walikota Cilegon yang terjebak dalam kasus suap perijinan mall senilai 1.15 milyar. Dan Rita Widyasari, Bupati Kutai Kartanegara dalam kasus gratifikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun