Dion tersenyum samar, duduk di kursi di hadapan Risa. "Aku sering ke sini. Tempat ini tenang. Aku suka aroma kopi dan suara hujan."
"Aku juga," Risa mengakui. "Tapi, kenapa? Setelah semua yang terjadi, kenapa kamu bersikap biasa saja?"
Dion menaruh cangkirnya. "Karena aku tahu aku menyakitimu. Tapi aku tidak bisa terus menghindarinya. Kita perlu bicara, setidaknya sekali, untuk menutup buku itu dengan benar."
"Menutup buku?" Risa tertawa sinis. "Kamu meninggalkanku tiga hari sebelum pernikahan kita, Dion. Tidak ada penutupan yang benar untuk itu."
Napas Dion tercekat. "Aku tahu, Risa. Dan aku minta maaf. Sungguh. Aku... aku takut. Aku merasa belum siap untuk seumur hidup. Bukan karena kamu, tapi karena diriku sendiri. Aku pengecut."
Risa menunduk, mengaduk kopinya tanpa tenaga. Air matanya terasa hangat di sudut mata. "Aku hancur, Dion. Aku kehilangan kepercayaan pada diriku sendiri setelah itu."
"Aku tahu. Dan aku tidak pernah memaafkan diriku sendiri. Selama ini aku hanya ingin kamu bahagia, Risa, meskipun itu berarti aku harus menjauh." Dion menatap lurus ke mata Risa, ketulusan terpancar jelas. "Aku datang ke sini bukan untuk kembali. Aku datang untuk memastikan kamu baik-baik saja dan membebaskanmu sepenuhnya."
Risa mengangkat kepala. Ia melihat penyesalan di mata Dion, bukan lagi bayangan pengkhianatan yang selama ini ia ingat. Mungkin sudah saatnya ia melepaskan kebencian itu.
"Aku... aku sudah baik-baik saja," Risa berbohong sedikit.
"Bagus," kata Dion, berdiri. "Jaga dirimu, Risa."
"Kamu juga, Dion," balas Risa.