Sore itu, senja memerah, mewarnai langit dengan palet warna duka. Kenji, dengan gurat wajah lelah, memarkir mobilnya di depan sebuah rumah tua yang catnya sudah mengelupas. Rumah ini, warisan satu-satunya dari almarhum ayahnya, terasa asing dan mencekam. Atapnya melengkung, dan jendela-jendela kayu yang usang tampak seperti mata kosong yang menatapnya. Ia baru saja tiba untuk mengurus proses jual-beli rumah itu, sebuah tugas yang terasa berat, sebab rumah ini menyimpan terlalu banyak kenangan pahit.
Ia membuka pintu kayu yang berderit, disambut oleh aroma apak dan debu tebal. Di sudut ruang tamu, sebuah piano tua yang berdebu menyita perhatiannya. Ayahnya dulu seorang pianis andal, tetapi ia memilih jalan yang berliku, meninggalkan Kenji dan ibunya demi obsesi yang tak jelas. Kenji mengusap tuts-tutsnya, memicu melodi sumbang yang memecah kesunyian.
Malam menjelang, kegelapan merayap masuk ke dalam rumah. Kenji menyalakan lilin, menyingkirkan bayang-bayang yang menari-nari di dinding. Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki dari lantai atas. Kenji menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, ia sendirian.
"Siapa di sana?" tanyanya, suaranya bergetar.
Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyesakkan. Langkah kaki itu terdengar lagi, kali ini lebih cepat dan berat. Kenji memberanikan diri naik ke lantai dua. Di sana, ia melihat pintu kamar ayahnya sedikit terbuka. Dari celah itu, cahaya remang-ang keluar, dan ia bisa mendengar suara bisikan.
"Kenji... Kenji..."
Suara itu lembut, namun dingin, seperti embusan angin dari kuburan. Kenji merasa bulu kuduknya merinding. Ia mendorong pintu, dan matanya membelalak. Di tengah ruangan, berdiri sesosok bayangan yang tinggi dan kurus, membelakanginya. Sosok itu perlahan menoleh, dan Kenji melihat wajah ayahnya yang hancur, mata cekung, dan senyum yang menyeramkan.
"Ayah...?" bisik Kenji.
"Aku merindukanmu, Nak," suara serak itu berkata. "Kau datang untuk mengurusnya, bukan?"
Kenji mundur perlahan. "Mengurus apa?"