Angin lembap beraroma tanah basah menerpa wajahku. Mataku menatap peta usang yang sudah menguning, digenggam erat oleh tanganku yang gemetar. Di sana, di antara lipatan-lipatan peta, sebuah tanda silang merah digambar dengan tinta tebal. "Jantung Rimba Terakhir," bisikku pada diriku sendiri. Ini bukan sekadar nama, melainkan legenda yang diwariskan dari kakekku, seorang penjelajah yang tak pernah kembali.
"Kamu yakin mau lanjut, Arka?" Suara Bima terdengar dari belakangku. Ia melipat tangannya di dada, wajahnya dipenuhi keraguan. "Hutan ini... terasa berbeda."
Aku tersenyum, mencoba meyakinkan diriku sendiri. "Ini sudah terlalu jauh untuk kembali, Bim. Kita hampir sampai."
Perjalanan ini adalah wasiat kakek. Selama bertahun-tahun, aku hanya melihatnya sebagai cerita pengantar tidur. Tentang sebuah kuil kuno yang tersembunyi, tentang pusaka yang dapat mengembalikan kejayaan desa kami. Namun, setelah aku menemukan peta ini di dalam kotak tua peninggalannya, legenda itu terasa begitu nyata.
Kami terus berjalan, menembus lebatnya semak belukar. Pohon-pohon tinggi menjulang, membentuk kanopi hijau yang menutupi langit. Suara-suara serangga dan burung-burung langka menjadi satu-satunya melodi yang menemani kami. Tiba-tiba, Bima berhenti.
"Lihat itu!" serunya, menunjuk ke sebuah pohon raksasa yang akarnya menjulur seperti tentakel. Di pangkal pohon itu, ada sebuah gerbang batu yang tertutup lumut. Gerbang itu tidak tercantum dalam peta.
Aku berjalan mendekat, menyentuh ukiran kuno di permukaannya. "Ini bukan buatan manusia biasa," gumamku. "Ini... ini pasti bagian dari rahasia kakek."
Bima mengikuti di belakangku. "Bagaimana cara membukanya?"
Kami mencoba mendorongnya, tapi gerbang itu tidak bergeming. Putus asa mulai merayap di hatiku. Setelah menempuh ribuan kilometer, apakah kami akan gagal hanya karena sebuah gerbang batu? Aku bersandar ke gerbang itu, rasa frustrasi membuatku memejamkan mata. Tanganku menyentuh sebuah celah kecil, tempat sepertinya ada sesuatu yang hilang. Tiba-tiba, aku ingat. Liontin yang kakek berikan padaku. Liontin berbentuk kunci kecil yang selalu kusimpan di balik bajuku.
Dengan tangan gemetar, aku mengambil liontin itu dan memasukkannya ke dalam celah. Terdengar bunyi klik, dan gerbang itu perlahan terbuka, memperlihatkan sebuah lorong gelap yang dihiasi obor-obor kuno.
"Ini dia," kataku, mataku berbinar. "Ini 'Jantung Rimba Terakhir' yang kakek maksud."
Di ujung lorong, sebuah ruang megah terbuka. Sebuah pusaka berukuran kecil, terbuat dari batu permata yang memancarkan cahaya lembut, tergeletak di atas sebuah altar. Cahayanya menerangi seluruh ruangan, memantul di dinding yang diukir dengan ribuan kisah masa lalu.
"Arka," panggil Bima, suaranya dipenuhi rasa takjub.
Aku memegang liontin kunci itu. Bukan harta yang kucari, melainkan jawaban. Dan kini, di depan pusaka ini, aku mengerti. Perjalanan ini bukanlah tentang menemukan harta, tapi tentang menemukan diriku sendiri, meneruskan perjuangan kakek, dan menghidupkan kembali harapan yang sempat hilang. Pusaka ini bukan harta benda, melainkan api semangat yang akan ku bawa pulang. Kami akan kembali. Bukan sebagai petualang yang gagal, tapi sebagai pewaris sejati Jantung Rimba Terakhir.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
