Mohon tunggu...
Amir Mahmud Hatami
Amir Mahmud Hatami Mohon Tunggu... Lainnya - Aku Berpikir, Maka Aku Kepikiran

Menemukan sebelah sepatu kaca di jalanan. Siapa tahu, salah satu dari kalian kehilangan!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pengalaman Mengajarkan Pemuda untuk Ikut Merawat Anak Sonder Orangtua

6 November 2021   01:37 Diperbarui: 7 November 2021   16:38 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Peter Berger dan Luckman tahap tersebut adalah proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi.

Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama.

Menengok kondisi anak tanpa orang tua yang sempat kita bahas diawal, urgensi saat ini dalam melanjutkan membangun peradaban bangsa yang lebih baik nyatanya memang tampak jelas sedari dulu, yakni dengan merawat anak-anak sejak dini agar memiliki budi pekerti yang luhur, khususnya anak-anak kurang beruntung---seperti sudah dijelaskan di atas---yang rentan sekali terjerumus ke dalam hal-hal yang menyimpang seperti: kriminalitas, pelacuran, terorisme (doktrin), dsb.

Upaya menyelamatkan anak-anak dari pengaruh buruk yang ada di lingkungan, yakni dengan mengambil alih kekosongan figur orangtua seperti: memberi/mengontrol norma dan moral yang baik, memberi rasa aman dari gangguan orang lain, memberi kasih sayang atau bila perlu menafkahi lahir dan batin sekaligus (adopsi).

Pemenuhan psikososiologis secara utuh nyatanya memang sulit dilakukan oleh pemuda, meski tidak jarang juga, kita sering temukan pemuda tangguh yang berani mengadopsi anak-anak yang tidak memiliki atau yang sengaja ditelantarkan oleh orangtua.

Kita paham betul keterbatasan pemuda yang meski memiliki waktu luang, namun kelonggaran tersebut tidak sepenuhnya kosong sebab terbagi-bagi dalam rutinitas keseharian mereka yang lumrah kita ketahui seperti: bermain, olahraga, kerja/kuliah/keluarga, dsb.

Dengan begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua pemuda memiliki kepedulian pada permasalahan anak-anak korban disorganisasi keluarga atau lainnya yang ada di lingkungan mereka.

Untuk memulihkan beberapa fungsi keluarga yang telah luput dari diri anak, pemuda yang konsen pada masalah tersebut dapat berangkat dari pengalaman hidup mereka sendiri. Penulis memberikan tiga contoh pengalaman hidup yang dirasa memiliki pengaruh besar jika dibangkitkan kembali dan diamalkan kepada anak, yakni:

Pertama, para pemuda yang mendapatkan kasih sayang di dalam keluarga dapat disalurkan kembali kepada anak-anak. Misal, dengan mendengarkan keluh kesah anak dan mau menanggapi dengan menggunakan tutur kata yang halus.

Kedua, pergumulan pemuda di lingkungan masyarakat tempat mereka tinggal, di mana mereka mengetahui betul kondisi fisik (wilayah) serta seluk beluk pergaulan dan bahkan watak beberapa atau malah seluruh warga, menempatkan pemuda sebagai navigator andal bagi proses sosialisasi tahap lanjut bagi anak-anak.

Dengan menggunakan pendekatan persuasif, pemuda lantas mengajak atau membimbing anak agar menjauhkan orang-orang yang memiliki perangai buruk (pecandu narkoba, pemabuk, dsb) atau tempat-tempat negatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun