Mohon tunggu...
Amir Mahmud Hatami
Amir Mahmud Hatami Mohon Tunggu... Lainnya - Aku Berpikir, Maka Aku Kepikiran

Menemukan sebelah sepatu kaca di jalanan. Siapa tahu, salah satu dari kalian kehilangan!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebahagiaan Itu Datang, di Kala Hujan

23 Desember 2020   19:09 Diperbarui: 23 Desember 2020   19:21 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Nur Andi Ravsanjai Gusma dari Pexels

Setiap manusia pasti pernah merasa bahagia. Namun, kebahagiaan tiap-tiap manusia tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh manusia lain. Misalnya saja, Si A merasa bahagia ketika memiliki kekayaan materi, akan tetapi tidak dengan Si B yang lebih memilih menguasai ilmu pengetahuan, atau bahkan Si C yang berbahagia saat tahu pujaan hatinya hidup bahagia bersama lelaki lain. 

Dari ketiga contoh versi kebahagiaan tersebut, sudah cukup memberi penjelasan tentang standar kebahagiaan manusia yang begitu kompleks, ketimbang makna dari kata “bahagia” itu sendiri. Dan, untuk meraihnya, setiap manusia harus rela mengorbankan waktu, tenaga, materi, dsb. Apalagi jika semua itu dilakukan demi kebahagiaan orang lain, ketimbang mementingkan diri sendiri. 

Satu tahun lalu, tepatnya pada tahun 2019. Saya pernah dibuat bahagia oleh seseorang yang tidak saya ketahui namanya, sebab tidak terpikirkan. Saat itu, hujan turun begitu lebat membasahi Jakarta bagian timur. Membuat sebagian orang enggan keluar dan memilih bertahan di rumah. Atau bahkan, jika seseorang sedang terjebak di luar pun, mungkin akan segera mencari tempat untuk berteduh. 

Namun, di tengah riuhnya air hujan yang turun menghantam genting di siang hari itu. Tiba-tiba terdengar suara mesin motor yang sengaja di matikan oleh sang pemilik, tepat di depan jaro rumah saya. Di susul dengan suara seorang lelaki berucap “Permisi, paket!”. Saya yang tengah khusyuk membaca, sontak langsung menutup buku untuk bergegas menghampirinya. 

Benar saja, seorang kurir JNE dengan jaket hujan model ponco berwarna hijau sembari memegang bingkisan berbentuk persegi panjang, berdiri tepat di depan pintu pagar halaman rumah saya. Tanpa membuang banyak waktu. Saya lantas membukakan pintu pagar, dan menyuruh kurir itu masuk ke halaman rumah. Tidak lain, agar mempermudah proses penerimaan, sekaligus menghindar dari air hujan yang selalu datang keroyokan.

Standar kebahagiaan tiap-tiap manusia memang begitu kompleks, ketimbang makna dari kata “bahagia” itu sendiri.

Perasaan bahagia kadung menyelimuti satu hari itu. Udara luar yang sempat membuat tubuh saya menggigil, sontak mendadak stabil kembali. Wajar jika seseorang yang tengah berbahagia dapat dengan mudah melupakan hal yang tidak mengenakkan, meskipun baru semenit yang lalu. Akan tapi, tidak etis rasanya jika saya sampai membiarkan kurir JNE itu melanjutkan tugasnya mengantar paket. 


Untuk itu, saya mencoba mengurungkan niatnya untuk pergi dengan menawarkan secangkir kopi beserta kudapan ala kadarnya. Hitung-hitung sebagai bentuk penghargaan saya atas profesionalitasnya sebagai kurir. Juga, karena ia rela berkorban dalam berbagi secercah kebahagiaan di kala hujan.   

Dengan agak malu-malu, akhirnya tawaran saya berhasil membuatnya meneduh.

“Bang, kebetulan pagi-pagi gua beli donat. Kopi juga baru banget di tuang ke termos. Abang tunggu sebentar ya!”

“Waduh, gimana ya, mas. Gak usah repot-repot deh, mas.”

“Abang juga udah mau repot, ujan-ujanan nganterin paket saya. Duduk dulu ya!”

“Iya deh, mas.”

Secangkir kopi dan donat singkong saya taruh tepat di sampingnya. Tidak butuh waktu lama untuknya menghabiskan secangkir kopi yang mulai hangat itu. Gurihnya donat berbahan dasar singkong, juga dilahapnya dengan terburu-buru, sembari membaca alamat paket kiriman selanjutnya yang kebetulan tidak jauh dari rumah saya. 

Wajahnya tampak dipenuhi kegelisahan ketika melihat hujan yang tidak kunjung reda. Belum sempat mengajaknya bercengkrama, sebab paket yang berisi sebuah laptop harus dijajal seperti yang di amanatkan oleh ayah. Dengan agak tergesa-gesa, ia memohon pamit untuk melanjutkan pekerjaan, dan menutupnya dengan ucapan terima kasih.    

“Mas, kopi sama donatnya enak banget. Tapi saya gak bisa lama-lama di sini, masih ada paket yang harus di antar. Saya mohon pamit pergi ya, mas. Terima kasih buat kopi sama donatnya.”

Kali ini, saya tidak dapat menahannya untuk pergi. Saya sudah berdosa karena meninggalkannya sendirian di halaman. Hanya kata “Maaf ” dan “Terima kasih” yang mampu saya ucapkan kepadanya.

Suara mesin motornya mulai terdengar lagi. Jaket hujan hijaunya kembali berfungsi. Sebelum tancap gas, ia menyempatkan menolehkan kepalanya ke arah saya, untuk sekedar memberi senyuman. Saya pun membalasnya dengan lebar. 

Dalam benak saya, mungkin kurir JNE itu berinisiatif mengenakan jaket hujan, dan menutupi paket bingkisan dengan terpal plastik agar tidak rusak. Dan, mungkin juga ia tidak sadar telah menyantuni banyak orang dengan tenaga dan waktu yang ia miliki. Semoga kehadirannya selalu diiringi doa yang baik-baik.  

Entah karena target atau terbiasa menghadapi hujan, semua paket bingkisan yang ada di motornya diantarkannya pada hari itu juga—sesuai alamat penerima. Jujur, sebenarnya saya tidak mengetahui prosedur operasional JNE mengenai proses pengiriman paket ketika cuaca sedang hujan. 

Akan tetapi, tanggung jawabnya yang besar terhadap pekerjaan yang digelutinya itu, berhasil membuat saya takjub. Berkat jasanya lah, laptop yang ayah saya beli melalui aplikasi toko online tiba dengan selamat dan tepat waktu. 

Bukan hanya saya saja yang dibuatnya bahagia, orang lain yang paketnya ada padanya pada hari itu pun akan merasa demikian. Ia membuat saya teringat pada petuah yang pernah diberikan oleh almarhum Abdurahman Wahid atau kerap di sapa Gus Dur, kepada Hermawi Taslim. 

Seperti yang dilansir dari Kompas.com (30/12/2009), Gus Dur berkata, “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Meskipun di luar konteks, namun, bagi saya tetap relevan digunakan. Karena saya percaya, “Jika kita berbuat baik, bukan hanya agama yang tidak dipertanyakan, melainkan juga identitas orang tersebut.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun