Mohon tunggu...
Amir Hamzah
Amir Hamzah Mohon Tunggu... Radio Announcer, Pendidik, content creator

An organized human beings.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Media Massa, Pesantren dan Kejahatan Pikiran

14 Oktober 2025   20:19 Diperbarui: 14 Oktober 2025   20:19 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Publik dikejutkan oleh sebuah tayangan dari salah satu stasiun TV swasta (Trans7), sebuah kanal media yang katanya "maenstrem", tapi justru memperlihatkan betapa dangkalnya nalar yang mereka pakai untuk membaca realitas. Tayangan itu menyorot sowan santri kepada KH. Anwar Mansur, ulama sepuh yang disegani dan diakui keilmuannya, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo. Tapi framing yang disuguhkan bukan penghormatan, melainkan penghinaan.

"Ternyata yang ngesot itulah yang ngasih amplop."

"Enak kiainya yang kaya: sarungnya mahal berkisan 400 ribuan sampai 12 jutaan, mobilnya pun mewah hingga harga milyaran. Yang ngasih duit? Santrinya. Famili kiainya juga kecipratan duitnya"

"Netizen pun curiga. Bisa jadi inilah sebabnya sebagian kiai makin kaya raya"

Ini bukan lagi jurnalisme. Ini agitasi rendahan. Disajikan dalam nada sinis, dengan narasi yang tendensius. Ini bukan sekadar tayangan keliru, ini adalah kejahatan pikiran. Mengapa? Karena ia tidak hanya merendahkan, tapi mengarahkan publik untuk melihat pesantren bukan sebagai pusat ilmu, tapi sebagai pusat pembodohan.

Apakah ini kebetulan? Tentu tidak. Trans7 adalah bagian dari CT Corp milik Chairul Tanjung, dijalankan oleh Transmedia, dengan Direktur Utama Atiek Nur Wahyuni. Dua nama yang mungkin pintar bisnis, tapi jelas tidak paham nilai, apalagi nilai pesantren. Jadi ketika mereka berbicara tentang dunia yang tidak mereka pahami, maka yang lahir adalah sinisme yang dibungkus produksi mahal.

Tayangan itu rapi. Terlalu rapi untuk disebut tidak disengaja. Ini bukan kritik, tapi insinuasi. Lebih tepat disebut sebagai propaganda kebencian terhadap tradisi keilmuan yang tak bisa dibeli oligarki: pesantren. Ada tema feodalisme, dosa konstruksi, hingga sowan kiai. Sangat kentara sebagai agenda buatan, seperti rangkaian acara yang dipersiapkan dengan mapan.

Jelas, ini adalah upaya mendelegitimasi pesantren sebagai institusi pendidikan. Mengapa? Karena pesantren tidak bisa dibeli. Tidak tunduk pada kekuasaan. Tidak ikut arus kapitalisme pendidikan. Maka, pesantren jadi musuh. Diserang dari layar kaca. Dengan narasi murahan.

Pertanyaannya: apakah Trans7 kehabisan bahan tayang, sampai harus mengemis sensasi dari dunia yang tak mereka pahami? Jika iya, maka saran saya sederhana: bubar saja. Jangan ganggu ruang-ruang suci yang tidak bisa dijangkau logika untung-rugi kalian.

Kaum santri tidak boleh diam. Ini bukan sekadar soal "konten viral", ini adalah serangan epistemik terhadap pesantren. Ini bukan kritik terhadap individu, ini adalah penghinaan terhadap sistem nilai. Ketika sowan dianggap penindasan, maka yang rusak bukan santri, tapi nalar yang melihatnya.

Kita menghormati kiai bukan karena struktur, tapi karena substansi. Jabatan kiai bukan hasil dari formulir pendaftaran, bukan pula produk seleksi administratif. Jabatan itu tumbuh bukan ditunjuk. Ia hadir sebagai pengakuan sosial atas ilmu dan keteladanan. Bukan karena pengesahan institusi, apalagi hasil voting senat akademik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun