Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pelajaran Sejarah Tidak Lagi Wajib, Anda Serius?

18 September 2020   21:26 Diperbarui: 23 September 2020   15:21 1249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di halaman gedung A, Museum Nasional, Jakarta Pusat, Senin (16/3/2020). Kegiatan ini untuk meminimalisir penyebaran penyakit akibat virus Covid-19 di Museum Nasional dan menutup layanan kunjungan mulai dari tanggal 15-25 Maret 2020. (Foto: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Jujur, saat di bangku sekolah dulu, Pelajaran Sejarah seringkali membuat suntuk mendengar guru berkisah tentang peristiwa di masa lalu. Mencatat dan menghafal sampai bosan. Dan semua yang diajarkan di sekolah dulu saya tidak ingat lagi. Kalau pun sekarang saya membutuhkannya, tinggal ketik kata kuncinya di Google!

Tanpa angin tanpa hujan, berhembus berita bahwa Kemendikbud berencana membuat Pelajaran Sejarah tidak lagi menjadi pelajaran wajib di SMA dan sederajat. 

Sebagaimana dilansir CNN, siswa kelas 10 akan mendapat materi Sejarah yang digabung dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial sedang di kelas 11 dan 12 hanya akan masuk dalam peminatan yang tidak wajib.

Sontak berita itu mendapat reaksi dari sejumlah kalangan. Masih dari laman yang sama CNN, ribuan orang dengan segera ikut menandatangani petisi digital menolak wacana itu

Tak butuh waktu lama, Kemendikbud segera memberikan klarifikasi. Ternyata kebiasaan mengklarifikasi pernyataan publik sudah menjadi kebiasaan baru dalam pemerintahan kali ini, entah karena disiapkan teledor atau memang hendak memancing pendapat warga terhadap sebuah wacana. 

Kemendikbud memberikan penjelasan bahwa penghapusan kewajiban mempelajari Sejarah dalam rancangan kurikulum baru masih dalam tataran diskusi

Seriuskah isu ini?

Bagi pejabat publik, apapun ujungnya wacana penghapusan itu nanti, pastilah ini masalah serius karena di tengah kesibukan memikirkan penyelenggaraan pendidikan di tengah pandemi dewasa ini, ketersediaan waktu dan energi untuk memikirkan penghapusan pelajaran Sejarah tentulah dilatarbelakangi pertanyaan masih perlu atau tidakkah pelajaran itu?

Bagi publik dan pemangku kepentingan lainnya, ini juga masalah serius karena, sebagaimana juga pejabat di Kemendikbud, cepatnya petisi digital mendapat dukungan dari warga dunia maya tentu dilandasi oleh kesadaran potensi bahaya kalau wacana itu mewujud secara resmi kelak.

Kalau memang serius, pertanyaan yang perlu diajukan lebih jauh adalah seberapa serius sih kita memandang Pelajaran dan Pengajaran Sejarah di sekolah-sekolah?

Mari coba kita lihat dari kedua sisi, sisi pejabat publik dan dari sisi publik.

Kebijakan Publik

Sebagaimana banyak diungkap oleh para ahli, kebijakan publik adalah apa yang akan dilakukan atau tidak akan dilakukan oleh pejabat publik, dalam hal ini pemerintah melalui Kemendikbud.

Wacana yang mencuat jelas menunjukkan bahwa pemerintah punya rencana untuk tidak lagi mewajibkan siswa SMA belajar sejarah secara mendalam. Rencana itu terbaca dari pernyataan "masih dikaji". 

Pernyataan masih dikaji mengandung makna dilakukannya evaluasi terhadap manfaat dan mudarat dari rencana itu. Menghapus Pelajaran Sejarah atau tidak mewajibkannya lagi apakah akan membawa manfaat atau justru menghadirkan kerugian?

Ketika pernyataan atau pertanyaan itu muncul maka simpulan sementara yang dapat ditarik adalah manfaat Pelajaran Sejarah dipertanyakan oleh otoritas yang selama ini menyelenggarakannya. 

Kalau bukan berangkat dari ketidaktahuan, pertanyaan biasanya berangkat dari keraguan. Pemerintah akan mengkaji artinya pemerintah sendiri berangkat dari keraguan akan manfaat Pelajaran Sejarah dalam pendidikan atau justru tidak tahu manfaatnya!

Ilustrasi (Photo by Anna Shvets from Pexels)
Ilustrasi (Photo by Anna Shvets from Pexels)

Pemikiran untuk tidak mewajibkan Pelajaran Sejarah sebenarnya cukup mengejutkan dalam konteks negara yang terus atau sedang memperkuat identitas kebangsaannya. 

Kalangan yang sinis bahkan selama ini memandang bahwa Pelajaran Sejarah adalah pintu masuk yang legal untuk melakukan indoktrinasi ideologi penguasa. 

Pelajaran Sejarah menyediakan ruang yang konstitusional untuk melanggengkan hegemoni kekuasaan dengan membentuk pola pikir generasi muda memandang negara yang karenanya dapat disusupi dengan penanaman faham bahwa negara identik dengan penguasa. 

Orde Baru berhasil melakukan hal ini, meski zaman yang berubah kemudian melunturkan hasil dari upaya sistematis tersebut.

Mari berpikir positif bahwa apa yang sedang didiskusikan oleh Kemendikbud adalah tentang Pengajaran Sekolah dan bukan tentang Pelajaran Sejarah. Pengajaran Sejarah adalah tentang metode pembelajaran yang menghubungkan proses dengan tujuan. 

Positifnya adalah, kalau benar ini yang sedang berlangsung, praktik pengajaran yang monoton yang mendegradasi Pelajaran Sejarah, sebagai substansi materi, menjadi pelajaran yang membebani memori anak-anak kita akan diupayakan tidak lagi dipandang sebagai beban.

Apa boleh buat, stigma yang tertanam adalah Pelajaran Sejarah merupakan tugas yang membuang-buang waktu menghafal nama-nama orang yang sudah lama meninggal, mengingat peristiwa masa lalu yang tidak jelas manfaatnya apa bagi hari atau mengenal benda-benda kuno yang jelas-jelas tidak lagi dibutuhkan dalam keseharian.

Saya tidak kenal dan tidak bertalian darah dengan Ken Arok atau siapalah raja-raja Majapahit. 

Saya juga tidak tertarik kenapa antara bapak dan anak di kerajaan-kerajaan dulu bisa saling berperang berebut tahta bahkan perempuan 

Siapa juga Malahayati atau kenapa Teuku Umar dulu sekali di fihak Belanda di lain waktu berperang melawan Belanda.

Kira-kira itu yang ada dalam benak anak-anak sekolah ketika diminta bersiap menghadapi ulangan Pelajaran Sejarah.

Ketika pertanyaan dalam benak anak-anak sekolah itu tidak mendapat jawaban yang menjelaskan, maka wacana diskusi penting-tidaknya, atau wajib-tidaknya, Pelajaran Sejarah mendapat konteks yang tepat. Menarik ditunggu apa simpulan kajian pemerintah.

Kepentingan publik

Pendidikan bagi publik dipandang penting karena akan membentuk generasi muda bangsa yang memiliki kompetensi untuk menjawb tantangan masa depan. 

Lewat pendidikan lah generasi muda dapat dibekali dengan kemampuan metodologis untuk berdialektika dengan perkembangan zaman yang bisa jadi tidak akan selalu seperti apa yang kita lihat dan rasakan hari ini.

Pelajaran Sejarah dalam perspektif kelanggengan identitas komunitas berbangsa menjadi salah satu cara membekali generasi muda hari ini tentang gen yang tertanam dalam proses terbentuknya negara dan semangat yang menjiwai terbentuknya bangsa ini.

Terputusnya pewarisan ini berarti juga putusnya jaminan kesinambungan kebanggaan identitas menjadi hanya seonggok catatan masa lampau.

Namun pertanyaan yang sama dalam benak siswa di atas belum tentu terpuaskan dengan hanya menyodorkan pentingnya mengatakan Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (JASMERAH).

Intrik politik perebutan kekuasaan di antara para raja dan pangeran di masa lampau apa masih relevan hari ini atau di masa depan? 

Sebagaimana Kahlil Gibran pernah mengatakan bahwa anak hari ini memiliki masa depan yang kita pun tidak akan sampai ke sana. Ibarat anak panah, seorang anak akan melesat ke masa depan, bukan tenggelam ke masa lalu.

Terlepas dari penolakan penghapusan kewajiban mempelajari Sejarah di bangku sekolah, publik pun mungkin harus jujur mempertanyakan bahwa dalam Pelajaran Sejarah yang dipentingkan apakah materinya atau kemampuan membedah materi yang diajarkan?

Mementingkan materi berarti kita memiliki intensi untuk mewajibkan anak-anak kita menyerap apa isi memori generasi hari ini atau dengan kata lain menambah beban yang belum tentu akan berguna bagi mereka kelak. 

Belum lagi kalau membincangkan validitas bahan ajar yang disampaikan di depan kelas. Bukankah sebagian materi tentang peristiwa G-30 S/PKI pun, misalnya, masih ada segelintir yang mempertanyakan validitasnya?

Namun kalau kepentingan lebih pada proses pembelajaran, maka kita bisa berharap bahwa materi yang disampaikan di depan kelas akan berguna bahkan di masa depan, bahkan hari ini. 

Kegunaan yang saya maksud adalah kalau pengajaran sejarah ditekankan pada penguasaan metodologi. Siswa diajari cara mencari sumber sejarah, siswa dilatih melakukan kritik sumber, siswa dikenalkan cara menafsirkan fakta sejarah lalu siswa diberi dan diasah keahliannya dalam menyusun historiografi.

Stigma menghafal akan gugur karena dari pelajaran sejarah yang produktif ini siswa akan dibekali metodologi dan kemampuan berpikir logis ditambah pengenalan cara menyusun narasi. 

Kompetensi ini, disadari atau tidak, yang tidak cukup dimiliki oleh generasi milenial sehingga menjadi wadah subur berbiaknya berita bohong. Derasnya informasi tanpa kemampuan melakukan kritik sumber membiaskan interpretasi dan ibarat bola salju menggelinding membesar menggilas kewarasan publik.

Kepentingan pemerintah dan kepentingan publik seyogianya didekati titik temunya dari perspektif kebutuhan generasi hari ini. Generasi yang sedang disiapkan  melesat ke masa depan. 

Jika ini yang menjadi bahan kajian mendalam pemerintah dan publik juga menempatkan hasrat mewariskan memori masa lalunya ke dalam persepektif masa depan, maka pengkajian wajib-tidaknya lagi Pelajaran Sejarah dapat dipandang sebagai langkah introspeksi dan kontemplasi yang mensyaratkan kesediaan dan kejujuran bersama.

Jadi anda serius di sisi mana? Serius mengamankan kepentingan hari ini atau serius menyiapkan kecerdasan generasi penerus?

Mari kita tunggu kemana arus ini akan mengalir.

Salam literasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun