Mohon tunggu...
Aminatur Rizki
Aminatur Rizki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang Mahasiswi Biasa

Seorang Mahasiswi Biasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

"Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia", Apakah Masih Berlaku?

18 April 2021   14:00 Diperbarui: 18 April 2021   13:39 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam suatu negara, tentu memiliki dasar atau fondasi dalam menjalankan tata aturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Membahas terkait fondasi bangsa, Indonesia memiliki dasar negara yang bernama Pancasila. Di dalam buku Pendidikan Pancasila yang ditulis oleh Prof. Dr. Kaelan, M.S (2004:21), terdapat penuturan Muhammad Yamin terkait Pancasila. Menurutnya, didalam bahasa Sanskerta arti dari Pancasila memiliki dua makna yakni “panca” yang berarti lima, sedangkan syila dengan vokal (i) pendek yang berarti batu sendi, alas, ataupun dasar. Kemudian “syiila” menggunakan vokal (i) yang memiliki arti yaitu peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau senonoh”. Bisa disimpulkan bahwa Pancasila terdiri atas lima sila sebagai landasan utama serta menjadi ideologi bangsa Indonesia yang berfungsi untuk menjadi pedoman hidup masyarakat Indonesia. Pancasila sendiri memiliki makna yang berdasarkan nilai-nilai luhur sesuai dengan cita-cita kepribadian bangsa. Seperti yang kita tahu bahwa Pancasila memuat poin-poin penting, salah satunya Ketuhanan yang Maha Esa. Sila tersebut memiliki makna yaitu kita sebagai masyarakat Indonesia berpedoman pada ajaran agama dan taat dalam menjalankan perintah Tuhan. Lalu pada poin selanjutnya, dalam berkehidupan kita memerlukan rasa kemanusiaan, perlunya rasa persatuan, terciptanya kerakyatan, dan tumbuhnya keadilan. Pada konsepnya, poin-poin tersebut wajib diterapkan dalam kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Akan tetapi, bagaimana jika salah satu nilai Pancasila (khususnya sila ke lima), hanyalah menjadi konsep belaka? Apakah benar isu permasalahan ketidakadilan pada kenyataanya benar-benar terjadi ditengah kehidupan masyarakat?

Sebelum membahas terkait persoalan diatas, pada dasarnya Pancasila menjadi pokok pedoman dalam kehidupan masyarakat di dalam wilayah Indonesia. Tidak hanya Pancasila, hukum juga menjadi sumber dalam mengatur tata kehidupan bernegara. Salah satu bentuk produk dalam hukum yaitu Undang-Undang. Menurut inti dari KBBI online, hukum merupakan suatu peraturan atau adat yang dimana sifatnya mengikat yang disahkan oleh para pejabat pemerintah. Dari pengertian hukum tersebut, disimpulkan bahwa Pancasila dan hukum menjadi kedua elemen penting bagi berdirinya bangsa Indonesia. Salah satu isi Pancasila yang berkaitan dengan hukum yaitu tecantum pada sila ke lima. Sila ke lima Pancasila menggambarkan suatu keadaan dimana keadilan sosial harus merata dan menyebar dari ujung pulau barat hingga timur Indonesia. Lalu, jika hukum di Indonesia tidak sejalan dengan konsep sila ke lima, maka akan memicu terjadinya ketidakadilan. Menyinggung keterkaitan antara ketidakadilan dan hukum di Indonesia, terdapat kalimat yang menjelaskan bahwa penegakan hukum selalu tajam kebawah, namun tumpul keatas. Apa maksudnya? menurut saya, kalimat tersebut bermakna bahwa tajam kebawah di ibaratkan oleh rakyat kecil yang tersandung kedalam tindak pidana yang mendapat sanksi denda dan hukuman bui dalam kurun waktu yang tidak masuk akal. Contohnya seseorang yang berasal dari golongan kurang mampu terlibat kasus tindak kejahatan seperti mencuri pisang, ayam, hingga kayu. Tentu mencuri ialah salah satu tindakan yang dilarang. Namun, motif yang digunakan dalam aksi pencurian tersebut salah satunya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena terhalang faktor ekonomi. Sedangkan makna tumpul keatas di ibaratkan oleh pejabat atau penguasa yang terjerat tindak pidana hukum, merasa lebih kebal dalam sanksi penegakan hukum maupun denda. Kasus pidana yang sering melibatkan para pejabat dan penguasa yaitu kasus korupsi. Kasus korupsi tidak hanya merugikan negara, melainkan juga masyarakat. Kemudian dalam hukum penegakannya, pejabat yang tersandung kasus korupsi dengan mudahnya dapat mengurangi takaran masa hukumannya. Bahkan para koruptor juga mampu lolos dari jeratan hukum. Dari contoh kalimat diatas, sudah terlihat bahwa ketidakadilan telah terjadi di Indonesia dan kerap kali dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Masih banyak dari masyarakat Indonesia sendiri yang mendapatkan perlakuan tidak adil dari orang-orang yang memiliki kuasa, orang-orang terdekat, hingga orang-orang dalam lingkup sekitar. Lalu apakah ada bentuk ketidakadilan selain ketidakadilan dalam hukum?

Sebelum membahas terkait contoh-contoh lain bentuk ketidakadilan yang terjadi di Indonesia, terdapat penjelasan tentang apa itu keadilan. Menurut Puond (1954) secara etika, keadilan merujuk sebagai sikap yang menunjukkan budi pekerti yang dimana tiap individu dapat memasuki suatu kondisi yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau tuntutan-tuntutan manusia secara adil serta layak. Jika kita amati bahwa pada dasarnya manusia sebagai makhluk sosial dapat menunjukkan sikap yang adil bagi sesamanya. Namun, pernyataan tersebut tidak dapat dikatakan secara universal karena tiap individu memiliki pola pikir dan tingkah laku yang berbeda-beda. Bisa jadi perlakuan “adil” hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu. Contoh yang sering terjadi ditengah masyarakat yakni tidak adilnya penilaian terhadap bentuk penampilan. Penampilan identik dengan jati diri setiap manusia. Setiap orang tentu memiliki ciri khas tersendiri dalam bentuk penampilannya. Bentuk penampilan seseorang dipengaruhi oleh gaya hidup. Hal ini berkaitan dengan pemikiran (Featherstone, 2001) yang menyatakan bahwa secara sosiologis, gaya hidup menunjukkan suatu ciri khas pada kelompok tertentu. Akan tetapi, bagaimana jika gaya hidup seseorang mempengaruhi penampilannya? Hal ini memicu terjadinya tolak ukur adil tidaknya perlakuan seseorang terhadap individu lainnya.

Berangkat dari pengalaman saya, mayoritas masyarakat menilai tinggi rendahnya derajat seseorang dari segi penampilan. Jika tampilan yang ditunjukkan oleh seseorang tersebut layaknya orang berada atau “orang-orang kelas atas”, maka bentuk perlakuan terhadapnya cenderung lebih istimewa atau lebih diprioritaskan. Begitupun sebaliknya, menggunakan baju yang terbilang sederhana atau memiliki kesan tidak menarik, maka akan mendapat perlakuan yang kurang mengenakkan. Saya akan mengambil contoh berdasarkan kisah nyata yang sering terjadi di masyarakat. Terdapat seorang pasien yang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Pasien tersebut akan menjalani perawatan di rumah sakit dengan metode pembayaran BPJS. Kemudian, pasien tersebut bisa dikatakan dari segi penampilan terkesan lusuh karena adanya kendala dari segi ekonomi. Lalu, saat keluarga pasien tersebut hendak mengurus segala keperluan administrasi, perlakuan yang didapatkan justru kurang mendapat feedback yang baik dari pihak staf maupun perawat, seperti mendapat tatapan sinis seolah-olah tak mampu membayar segala keperluan administrasi. Selain itu, sikap dan ekspresi yang tidak bersahabat dapat telihat jelas ditunjukkan kepada pasien tersebut. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan keluarga yang memiliki penampilan bak kaum berada, misalnya keluarga ini mendapatkan perlakuan khusus atau lebih diistimewakan. Contoh bentuk perbandingan diatas telah membuktikkan bahwa penampilan sangat mempengaruhi adil atau tidaknya perlakuan seseorang terhadap inividu lain.

Selain ketidakadilan dalam penampilan, bentuk fisik seseorang juga menjadi salah satu faktor permasalahan ketidakadilan yang ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Pada kodratnya, manusia terlahir dengan bentuk fisik yang berbeda-beda. Ada seseorang terlahir dengan tubuh yang ramping, bertubuh besar, berwajah tirus, berwajah chubby, serta lain sebagainya. Dengan munculnya perbedaan tersebut, tumbuhlah statement dimana manusia memiliki kecenderungan untuk terlihat se sempurna mungkin dihadapan individu lain. Oleh karenanya, masyarakat sering berpikiran bahwa cantik dan rupawan adalah hal yang utama. Dari pemikiran masyarakat sendiri, timbulah suatu konsep dimana standart kecantikan menjadi penentu nilai elok atau tidaknya seseorang. Hal ini berkaitan dengan inti dari pemikiran Hurlock (1999) yaitu lingkungan kerapkali menilai suatu individu berdasarkan dari penampilan fisik seseorang. Seseorang yang didalam dirinya terdapat daya tarik dari segi penampilannya, maka seseorang itu diperlakukan secara istimewa. Begitupun sebaliknya, jika seseorang itu memiliki penampilan fisik yang kurang menarik, maka ia akan diperlakukan secara kurang simpatik. Dalam pemaparan pernyataan tokoh tersebut, poin penting yang dapat diambil yakni seseorang yang memiliki wajah cantik ataupun rupawan, akan memiliki peluang priotas yang jauh lebih besar. Berkenaan dengan keistimewaan seseorang yang berwajah menarik, munculah suatu istilah baru dalam masyarakat yaitu istilah good looking. Menurut saya, good looking merupakan istilah untuk seseorang yang memiliki fisik yang dapat memikat perhatian individu lain. Seorang good looking memiliki kehidupan yang dapat terbilang memiliki privilege yang lebih dibandingkan orang biasa. Lalu dengan adanya privilege tersebut, seorang good looking akan mudah dalam mendapat perhatian orang lain dan juga keinginan yang dimaunya. Berdasarkan munculnya istilah itu, kalimat “keadilan sosial bagi seluruh rakyat good looking” saat ini sedang menjadi trend. Kalimat tersebut memiliki arti jika keadilan hanya memihak kepada seseorang yang good looking. Pernyataan tersebut didukung dengan fakta yang menyatakan jika seorang good looking melakukan suatu kesalahan, baik kesalahan kecil maupun besar, maka akan mudah termaafkan. Tentu hal ini sangatlah tidak adil dan dapat memicu timbulnya rasa keresahan serta insecure dalam diri orang yang tidak merasa good looking.

Jika diatas telah menyinggung ketidakadilan hukum, penampilan, serta fisik, maka dalam contoh yang akan dibahas ini berkaitan dengan kondisi ketidakadilan dalam lingkup perekonomian. Terlebih dahulu, saya akan mengaitkan tentang kondisi permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Kondisi ini tentu tidak bisa dianggap remeh karena permasalahan dalam lingkup negara tidaklah mudah dan tidak bersifat sederhana. Hal ini memicu timbulnya polemik yang sangat kompleks sehingga polemik tersebut muncul silih berganti setiap tahunnya. Contoh polemik yang sering terjadi di Indonesia yakni permasalahan perekonomian. Permasalahan perekonomian ini cenderung merujuk ke arah kesenjangan. Menurut KBBI online, kesenjangan merupakan perihal yang bersifat tidak seimbang dan sebagai jurang pemisah. Jurang pemisah yang dimaksud yaitu melebarnya jarak antara golongan kaya dan golongan miskin. Di setiap negara, tentu kaum yang mendominasi kekuasaan jatuh kepada golongan kapitalis (kaum bermodal). Biasanya, golongan kapitalis dimudahkan dalam memainkan atau memonopoli keadaan perekonomian. Menurut Ayn Rand yang termuat dalam Capitalism (1970) meyimpulkan tiga asumsi pokok kapitalisme, yakni kebebasan individu, kepentingan diri, dan pasar bebas. Ketiga hal tersebut mencirikan bahwa kapitalisme memiliki kecenderungan untuk lebih memprioritaskan kekayaan perseorangan dibandingkan hajat hidup orang banyak. Dalam konsep kapitalisme, setiap individu bebas dalam memperoleh kekayaan dalam jumlah yang besar. Jika kita melihat dari sudut pandang yang berbeda, kapitalisme memiliki kekurangan yang berdampak pada UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). UMKM yang dimiliki oleh kaum kelas menengah kebawah jika tidak dibarengi dengan daya saing yang memumpuni seperti industri-industri yang dimiliki kaum kapitalis, maka akan menimbulkan kerugian serta penindasan atas kesulitan yang dihadapi UMKM tersebut. Hal ini memunculkan ketidakadilan yang dimana kaum kapitalis lebih diuntungkan dalam segi memonopoli permainan ekonomi dalam suatu negara.

Dari contoh-contoh diatas yang telah membahas terkait ketidakadilan hukum, penampilan, fisik serta perekonomian, apakah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih berlaku? Tentu pertanyaan tersebut bisa dikatakan dalam perspektif yang berbeda-beda. Menurut saya, selama masih adanya penanaman nilai Pancasila khususnya didalam sila ke lima, maka tentu akan selalu ada keadilan-keadilan yang muncul meskipun dibarengi dengan munculnya ketidakadilan. Oleh karena itu, semua masyarakat Indonesia dan para pemimpin negara bersama-sama dalam menegakkan keadilan di semua bidang agar tidak memicu terjadinya disintegrasi bangsa.

 

DAFTAR PUSTAKA

Featherstone, Mike, 2001, Postmodernisme dan Budaya Konsumen, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2004.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. [Online]. Tersedia di https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hukum. Diakses 15 April 2021

Kamus Besar Bahasa Indonesia. [Online]. Tersedia di https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kesenjangan. Diakses 15 April 2021

Pound, Roscoe, 1954, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale University Press.

Rand, A., Capitalism: The Unknown Ideal, A Signet Book, New York: 1970.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun