Oleh Amidi
Salah satu penyakit ekonomi yang sepertinya tak kunjung tuntas di obati adalah kemiskinan. Akhir-akhir ini kembali penyakit ekonomi yang satu ini dibicarakan, lantaran berkembang di media massa dan media sosial masalah  angka pengeluaran masyarakat Rp.20.000,- per kapita per hari sudah tidak tergolong miskin.
Beberapa hari ini media massa dan media sosial, ramai-ramai menyoroti  batasan kemiskinan yang digariskan oleh Badan Pusat Statisktik (BPS)  bahwa disinyalir apabila seseorang  dapat memenuhi kebutuhannya atau pengeluarannya sebesar Rp. 20.000,- per kapita per hari, maka yang bersangkutan  tidak tergolong miskin.
Beredar di media sosial "X" atau Twitter unggahan dengan narasi yang menyebutkan "BPS  sebut warga yang  belanja 20 rb bkn tergolong miskin" Faktanya dilansir dari akun Instagram resmi BPS, @BPS_statistics, BPS tidak pernah  mengeluarkan angka garis kemiskinan per hari sebesar Rp. 20.000,- . BPS hanya mengeluarkan angka Garis Kemiskinan (GK) sebesar Rp.  595.242,- per kapita per bulan atau  Rp. 2.803.000,- per rumah tangga per bulan. Garis kemiskinan tersebut merupakan rata-rata tertimbang nasional dan tidak dapat menggambarkan  semua Provinsi (komdigi.go.id)
Â
Apa Benar Ada Kesalahan Interpretasi?
Hal tersebut ditepis, katanya  tidak benar, karena angka Rp 20.000,- yang disinyalir publik tersebut, rupanya hanya  kesalahan  interpretasi saja. Hasil penelusuran Kompas.com, dengan serta merta pihak BPS meluruskan-nya, angka garis kemiskinan sebesar Rp. 595.242 per kapita per bulan yang dirilis pada bulan September 2024 bukanlah standar hidup layak. "Angka ini hanya menunjukkan batas minimum pengeluaran agar seseorang bisa memenuhi kebutuhan pokok paling dasar", kata Plt Kepala Biro Humas dan Hukum  Melly  Merlianasari.  Sebagai catatan, selain masyarakat Miskin ada pula katagori masyarakat yang dikelompokkan sebagai rentan miskin, menuju kelas menengah dan kelas menengah (lihat Kompas.com, 29 April 2025).
Jika di simak, sebenarnya munculnya angka Rp. 20.000,- tersebut, bisa saja, publik menterjemahkan garis kemiskinan  yang dirilis BPS sebesar  Rp. 595.242,- per kapita per bulan tersebut langsung dibagi jumlah hari per bulan diperoleh angka Rp. 19.841,-  dibulatkan menjadi Rp. 20.000,-.per kapita per hari.
Jika demikian adanya, wajar saja publik dengan sederhana menyimpulkan bahwa apabila sesorang pengeluarannya berkisar atau melebihi angka Rp. 20.000,- per hari tersebut, seseorang tersebut tidak tergolong miskin.
Bila dilakukan pendekatan dengan kondisi saat ini, sepertinya sudah tidak layak lagi angka tersbut sebagai  batas minimum pengeluaran agar seseorang bisa memenuhi kebutuhan pokok paling dasar tersebut. Maaf, saat ini, sepertinya uang Rp. 1 juta per kapita per bulan pun rasanya masih kurang untuk  seorang dapat  memenuhi kebutuhan dasar-nya
Apalagi mengingat, tren kanaikan harga-harga barang kebutuhan pokok dari waktu ke waktu, dan mengingat kebutuhan dasar suatu rumah tangga dan atau anggota rumah tangga terus mengalami penyesuaian. Ditambah, apabila anggota rumah tangga tersebut akan memenuhi kebutuhan dasar (makan/minum) dengan standar empat sehat lima sempurna.
Dengan demikian, pernyataan bahwa publik salah interpretasi tersebut, perlu dikaji lebih jauh lagi. Apakah garis kemiskinan yang dipatok tersebut masih terlalu kecil ?. Apakah garis kemiskinan yang sudah menjadi standar tersebut perlu dilakukan penyesuaian?. Apakah penetapan standar garis kemiskinan tersebut tidak sebaiknya  dikaitkan dengan pergerseran kelas ekonomi menengah sudah menjadi kelas ekonomi bawah dan kelas ekonomi bawah sudah masuk kategori miskin?.
Â