Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Telisik Santai Atas "Aster untuk Gayatri"

5 Agustus 2018   10:35 Diperbarui: 7 Agustus 2018   19:31 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Buku Aster untuk Gayatri -- Dokumentasi Pribadi

Tidak banyak buku beraroma remaja yang saya baca. Aster untuk Gayatri salah satu di antara yang tidak banyak itu. Acara Bincang Buku lewat Grup WA Klub Buku Katahati, Sabtu (23/7/2018), mengawali perjumpaan saya dengan novel anggitan Irfan Rizky itu. Setelah selesai membacanya, saya kaget. Ternyata saya suka.

Ringkasan Kisah

Dunia Gayatri berubah total semenjak ayah dan ibu kandungnya meninggal. Kecelakaan pesawat merenggut nyawa kedua orangtuanya. Setelah itu, ia tumbuh besar bersama Mande dan Apak--kerabat yang mengasuhnya. Duka bagi Gayatri ternyata tidak berhenti. Menjelang dewasa, lelaki kaya raya memerkosanya. Janin akibat perkosaan itu ia gugurkan.

Sejak itu, Gayatri menutup diri terhadap kerlingan lelaki. Setiap bertemu lelaki baru, bayangan lelaki pemerkosanya langsung menghiasi pikiran. Hingga muncullah Giran, lelaki yang selalu setia mengirim bunga aster untuknya. Semula ia biasa-biasa saja, bersikap acuh tak acuh, hingga satu ketika ia berkunjung ke perpustakaan tempat Giran bekerja. Dari sana terbit rasa suka.

Giran, seperti Gayatri, manusia yang sudah dalam pelukan nestapa sejak kecil. Ayahnya meninggal ditelan laut ketika sedah mencari ikan di luas samudra. Ibunya lari bersama lelaki lain sebelum pusara ayahnya kering. Ibunya pergi, meninggalkannya begitu saja. Ia merantau ke Jawa, bertahan hidup dengan susah payah, dan tumbuh besar menjadi lelaki mandiri.

Sayang, hubungan mereka menuai kendala. Apak ternyata tengah menjodohkan Gayatri dengan Nila, lelaki yang menurut apaknya dapat menerima masa lalu Gayatri yang kelam. Mau tidak mau, Gayatri terpaksa meminta Giran agar menyudahi cinta yang baru tembah dan tengah mekar. Tentu saja Giran tidak bisa berbuat apa-apa.

Adapun Nila, lelaki pilihan Apak, ternyata memendam niat jahat kepada Gayatri. Pada suatu siang yang lengang, ketika rumah Gayatri sedang sepi, ketika Apak menghilang entah ke mana, ketika Mande berada entah di mana, ketika Gayatri baru saja selesai mandi dan hendak berkemas-kemas sebelum berkeliling kota bersama Nila, Gayatri kembali mengalami nasib nahas. Ia diperkosa oleh Nila di kamarnya sendiri.

Giran terlambat. Ia tiba di rumah Gayatri ketika kejahatan sudah terjadi. Setelah menolong gadis idamannya, ia pergi dengan hati yang pilu. Ia datangi Nila dan menghajar lelaki itu tanpa ampun. Akibatnya, ia digelandang ke kantor polisi. Demi Gayatri ia rela melakukan apa saja, termasuk dihukum kurungan selama enam bulan akibat dakwaan dengan sengaja menganiaya orang lain.

Kisah ini berakhir bahagia. Giran memang dipenjara, Gayatri memang kembali ke Padang dan menetap di tanah leluhurnya itu, tetapi jodoh mempertemukan keduanya. Giran masih lelaki yang mencintai Gayatri tanpa peduli pada kelam masa lalu.

Kelebihan pertama, potensi kejutan. Irfan Rizky, sang pengarang Aster untuk Gayatri, berhasil menyusun cerita dengan intensi atau kejutan yang sudah hadir sejak pembuka cerita. Ia memulai kisahan dengan kalimat akhir prolog yang memikat: Gayatri hanya ingin mati [hlm. 3].

Kelebihan Novel Ini

Itulah kelebihan pertama novel ini. Irfan langsung menggiring pembaca pada bilik imajinasi yang menegangkan, sarat kejutan, dan misterius. Mengapa Gayatri ingin mati? Derita macam apa yang ditanggungnya sehingga ia tidak ingin hidup lagi? Potensi kejutan hadir sejak lembar pertama.

Kelebihan kedua, penokohan. Hanya ada enam tokoh penting dalam novel ini, yakni Gayatri, Giran, Rustam, Mande, Apak, dan Nila. Empat tokoh pertama berkarakter baik dan dua tokoh terakhir berkarakter buruk. Meskipun penokohan ini pula yang, kelak, berpeluang membuka bolong-bolong pengisahan.

Kelebihan ketiga, muatan lokal. Paparan tradisi lokal atau kearifan lokal yang dimasukkan secara samar ke dalam cerita, lesap dengan tepat tanpa kesan sekadar latar cerita, serta menjadi penguat kisahan dari awal hingga akhir. Irfan memanfaatkan pengetahuannya tentang budaya Minang dan perkara yang ia ketahui itu menjadi tumpuan kuat dalam menata cerita.

Kelebihan keempat, akhir yang menyenangkan. Meskipun juga berpotensi menjadi kekurangan, novel ini ditutup dengan akhir yang bahagia. Tidak ada masalah sebuah cerita mau ditutup dengan tragis atau dengan tawa. Tidak ada larangan sebuah cerita berakhir dengan air mata bahagia duka atau air mata derita. Irfan menutup ceritanya dengan "lumayan" apik.

Kelemahan mendasar novel ini adalah latar yang kurang kuat. Tidak jelas latar tempat. Tidak terang benderang di mana peristiwa ini terjadi. Pembaca bisa terkecoh akibat nuansa lokal Padang, padahal sebagian besar peristiwa dalam cerita terjadi di Bogor.

Kelemahan Novel Ini

Ini perkara penting yang kerap diabaikan beberapa pengarang. Pembaca mencerna cerita lewat beberapa pintu masuk. Di antaranya, latar tempat. Penggambaran latar tempat yang baik akan memudahkan asosiasi pembaca dengan jalinan cerita. Dalam Aster untuk Gayatri, Irfan gagal menyuguhkan latar tempat yang jelas.

Pada awal cerita, ketika membabar peristiwa wafatnya orangtua Gayatri, Irfan menggunakan Padang (Pantai Kata) sebagai latar. Pada akhir cerita, ketika mengulas keberadaan Gayatri, Irfan kembali menggunakan Padang (Pantai Kata) sebagai latar. Bahkan, di akhir kisah ini pula muncul Gunung Salak sebagai latar tempat. Di situlah letak bolong pertama novel ini.

Selain itu, latar waktu. Tidak ada alamat atau penanda kapan cerita ini terjadi. Jika pembaca tidak cermat membaca tanda-tanda dalam cerita, bisa jadi mereka mengira kisah  ini sezaman dengan cerita kondang "Siti Nurbaya". Penandanya jelas, perjodohan yang dipaksakan. Namun ada pembeda di dalam kisah ini, yakni kafe. 

Pada zaman Datuk Maringgi rasa-rasanya belum ada kafe. Masih kedai, lepau, atau warung. Kafe menjadi penanda bahwa kisah ini mestinya berlatar kekinian.

Latar tradisi juga menjadi kelemahan lain, walaupun pada titik tertentu merupakan kekuatan kisah ini. Sependek pengetahuan saya tentang sejawat Minang yang hidup di rantau, perjodohan paksa bukan lagi sesuatu yang sering terjadi. Mungkin Irfan punya tilikan data atau hasil riset yang menunjukkan bahwa tradisi perjodohan paksa masih kuat bagi masyarakat Minang, walaupun mereka hidup di tanah rantau. Biarkan Irfan yang menguraikan dan menjelaskannya.

Kelemahan berikutnya adalah kemampuan pengarang mengantar cerita. Narasi kadang akurat dan "main tembak langsung", kadang berbelit-belit dan "memaksa diri mengindah-indahkan bahasa". Kelemahan ini menguat pada penggalan pemerkosaan oleh Nila [hlm. 111]. Tidak ada deskripsi yang cermat tentang keberadaan Mande yang sebelumnya lebih sering di rumah. Tidak ada pula narasi yang menguraikan jarak antara rumah Gayatri dan perpustakaan Giran [hlm. 119] sehingga kedatangan Giran seperti "polisi yang selalu terlambat dalam film-film".

Kelemahan terakhir, yang bagi saya selaku pembaca berasa amat fatal, adalah perpindahan sudut pandang yang mendadak. Sepanjang kisahan dalam "Aster untuk Gayatri", Irfan memakai "orang ketiga" sebagai pengisah. Tiba-tiba semuanya amburadul karena pindah menjadi "orang pertama" [hlm. 97]. Tidak ada narasi pengantar, tidak ada pijakan bagi pembaca.

Ada sedikit pembuka lewat isyarat Gayatri terkenang peristiwa kelam yang menimpanya, tetapi sangat pendek dan cuma satu kalimat. Tatkala pindah sudut pandang, tidak jelas pula siapa yang jadi "aku" dan siapa "lawan aku" hingga akhir babak [hlm. 103].

Meskipun begitu, saya mengacungkan jempol pada kemampuan Irfan meramu kisah. Kata-kata arkais alias kata yang sudah jarang dipakai muncul beberapa kali. Sayang, ada beberapa kata yang terlalu sering hadir sehingga mengganggu mata--seperti kata "jua", "tidak payah", dan "apa-apa".

Terkait kemasan, ada beberapa kata keliru (entah keliru cetak entah keliru pilih) yang menghiasi novel ini. Tentu saja ini bukan kesalahan Irfan semata, tetapi juga kelengahan editor. 

Bagaimanapun, novel ini memang layak didaulat sebagai Pemenang Utama 1 Lomba Novella Mazaya Publishing House 2017. Selamat, Kak Irfan. Jangan berhenti menulis! 

[Amel]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun