Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga ketahanan perekonomian di tengah tekanan global yang semakin kompleks dan dinamis. Ketidakpastian geopolitik, melemahkan harga komoditas, perang dagang, serta perubahan aliran modal internasional menuntut sinergi yang kuat antara kebijakan moneter dan fiskal sebagai instrumen utama pengelolaan ekonomi nasional. Dalam konteks ekonomi politik internasional, sinergi ini tidak hanya menjadi alat teknokratis, tetapi juga strategi politik ekonomi yang menentukan posisi Indonesia dalam peta global.
Sinergi Kebijakan Moneter dan Fiskal: Pilar Ketahanan Ekonomi
Kebijakan moneter yang diarahkan oleh Bank Indonesia (BI) dan kebijakan fiskal oleh pemerintah merupakan dua instrumen utama yang berperan dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Meskipun keduanya memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda, tetapi efektifitas keduanya sangat berdampingan pada kemampuan untuk berkoordinasi dan bersinergi. Sinergi dalam kebijakan moneter dan fiskal tidak hanya tidak hanya bertujuan untuk menjaga stabilitas makroekonomi, seperti pengendalian inflasi dan nilai tukar, tetapi juga menjadi sarana strategi untuk menjawab tantangan struktural dan meningkatkan daya saing perekonomian nasional di panggung global.
Bank Indonesia mempertahankan acuan suku bunga di level 5,75% pada tahun 2025. Keputusan ini mencerminkan pendekatan kebijakan moneter yang hati-hati dan responsif terhadap tekanan inflasi global serta pelemahan nilai tukar rupiah. Sementara itu, pemerintah menjalankan kebijakan fiskal yang disiplin dengan defisit anggaran sekitar 2,53%. Meskipun ruang fiskal terbatas, prioritas anggaran tetap diberikan pada strategi sektor-sektor seperti infrastruktur, ketahanan pangan, pendidikan, dan transformasi digital. Kolaborasi antara BI dan pemerintah juga diwujudkan dalam pembelian Surat Berharga Negara (SBN) oleh BI dari pasar primer dan sekunder. Langkah ini tidak hanya memperkuat likuiditas dan stabilitas pasar keuangan, tetapi juga membantu pembiayaan APBN secara berkelanjutan.
Tantangan Global dan Implikasi Ekonomi Politik Internasional
antangan global yang dihadapi Indonesia tidak hanya bersifat teknis ekonomi, melainkan juga sarat muatan politik. Ketegangan geopolitik antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia berdampak langsung pada aliran modal dan nilai tukar. Perang dagang dan kebijakan proteksionisme menyebabkan kerusakan dalam perdagangan internasional. Oleh karena itu, dalam kerangka ekonomi politik internasional, sinergi kebijakan ekonomi Indonesia juga memiliki dimensi kemitraan. Stabilitas makroekonomi menjadi prasyarat untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dalam negosiasi perdagangan, kerja sama regional, serta dalam memperluas penggunaan mata uang lokal sebagai alternatif terhadap dominasi dolar AS.
Indonesia telah aktif dalam mempromosikan penggunaan mata uang lokal atau Local Currency Settlement (LCS) dalam transaksi internasional, terutama dengan negara-negara mitra seperti Tiongkok dan Jepang. Inisiatif ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS dan memperkuat kesejahteraan ekonomi nasional. Selain itu, langkah ini juga merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk menciptakan sistem keuangan regional yang lebih stabil dan tangguh terhadap guncangan eksternal. Sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter menjadi penting: BI mendukung penguatan instrumen pembayaran lintas negara, sementara pemerintah memperkuat hubungan dagang dan diplomasi ekonomi dengan negara mitra.
Transformasi digital juga menjadi elemen kunci dalam sinergi kebijakan. Bank Indonesia terus mendorong digitalisasi sistem pembayaran melalui pengembangan QRIS dan rencana aneh Central Bank Digital Currency (CBDC) atau Rupiah Digital. Di sisi lain, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk memperkuat infrastruktur teknologi informasi dan mendukung ekonomi digital melalui program UMKM Go Digital dan pengembangan startup berbasis teknologi. Sinergi ini tidak hanya menciptakan efisiensi ekonomi, tetapi juga memperluas inklusi keuangan dan memperkuat ketahanan digital nasional.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, kebijakan fiskal diarahkan pada prioritas sektor-sektor seperti ketahanan pangan, ekonomi hijau, dan pengembangan SDM. Anggaran negara difokuskan pada investasi yang berdampak jangka panjang, seperti pembangunan irigasi, energi terbarukan, dan vokasi pendidikan. Kebijakan moneter mendukung dengan menjaga stabilitas harga dan nilai tukar agar investasi berjalan kondusif. Kombinasi ini menampilkan bahwa kebijakan sinergi tidak hanya menjaga stabilitas jangka pendek, tetapi juga mendukung agenda pembangunan inklusif dan berkelanjutan.
Namun, perlawanan tidak berhenti di situ. Ketergantungan terhadap ekspor komoditas yang masih tinggi, membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global. Fragmentasi ekonomi global akibat persaingan geopolitik juga mendorong kebutuhan untuk diversifikasi pasar ekspor dan sumber investasi. Dalam hal ini, sinergi kebijakan ekonomi harus diarahkan pada penguatan struktur industri domestik dan perluasan pasar ekspor nontradisional. Pemerintah perlu memperkuat peran diplomasi ekonomi, sementara BI mendukung stabilitas makro agar Indonesia tetap menjadi destinasi investasi yang menarik.
Risiko dan Tantangan ke Depan