Mohon tunggu...
ameliasalsabila70
ameliasalsabila70 Mohon Tunggu... Universitas Jember

My name is Amelia Salsabila Ramadanti, and I’m currently studying International Relations at Jember University. I have a deep interest in the world of communication, which I’ve been passionate about since high school. Over the years, I’ve actively developed myself in journalism and broadcasting, as well as in stage production, scriptwriting, and directing. I’m also actively involved in social activities such as volunteering and participating in community events. These experiences have taught me a lot about time management and event planning, allowing me to contribute creative ideas with my team. I share my experiences through educational content on my social media platforms.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dunia Ketiga dalan Cengkraman Dagang: Kritik Marxis atas Relasi Internasional

20 April 2025   20:15 Diperbarui: 20 April 2025   20:11 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam pandangan ekonomi global modern, perdagangan internasional sering dipromosikan sebagai simbol keterbukaan, kerja sama antarbangsa, dan pertumbuhan ekonomi yang saling menguntungkan. Namun, kenyataan di balik slogan perdagangan bebas ini menunjukkan wajah lain, dimana terlihat wajah ketimpangan, dominasi, dan eksploitasi yang terstruktur. Negara-negara Dunia Ketiga, atau sering disebut Global South, hingga hari ini masih terjebak dalam pola hubungan perdagangan yang timpang, menempatkan mereka sebagai aktor marjinal dalam sistem ekonomi global. Dalam konteks inilah, pendekatan Marxis memberikan sudut pandang yang tajam dan kritis terhadap struktur dan dinamika perdagangan internasional yang ada.

Dalam relasi kelas global, Karl Marx menekankan bahwa dalam masyarakat kapitalis, terdapat dua kelas utama: kapitalis (pemilik alat produksi) dan proletar (kelas pekerja). Hubungan antara keduanya bersifat antagonistik karena bertumpu pada eksploitasi tenaga kerja demi akumulasi nilai lebih oleh pemilik modal. Ketika analisis ini tersebar ke tataran global, terbentuklah hubungan kelas internasional: negara-negara kapitalis maju memainkan peran sebagai kapitalis global, sementara negara-negara Dunia Ketiga berperan sebagai proletariat dalam sistem ekonomi internasional. Mereka menyediakan bahan mentah, tenaga kerja murah, dan pasar konsumsi, sementara nilai lebihnya diserap oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang bermarkas di pusat-pusat kapitalisme global.

Salah satu ciri utama ketimpangan global adalah pola ekspor negara-negara dunia ketiga yang didominasi oleh komoditas primer. Menurut data Bank Dunia (2023), lebih dari 70% ekspor di banyak negara Afrika Sub-Sahara berasal dari bahan mentah seperti minyak, mineral, dan hasil pertanian. Sebaliknya, negara-negara maju mengekspor barang-barang manufaktur berteknologi tinggi dan jasa bernilai tambah. Ketimpangan ini bukan sekedar perbedaan produk, melainkan menunjukkan hubungan nilai bahan mentah dijual murah, sementara produk jadi dijual mahal. Dalam perspektif Marxis, ini adalah bentuk eksploitasi nilai lebih yang terjadi di ranah global.

Negara-negara Dunia Ketiga, akibat struktur ekonomi kolonial yang diwarisi sejak abad ke-19, tidak memiliki basis industri yang kuat. Mereka terjebak dalam posisi ketergantungan terhadap permintaan global atas komoditas primer. Ketika harga komoditas jatuh, seperti yang terjadi pada krisis minyak tahun 2014 atau krisis pangan 2022, negara-negara ini langsung mengalami tekanan ekonomi yang parah. Ketergantungan ini membuat mereka rentan terhadap kelemahan pasar internasional yang dikendalikan oleh negara dan korporasi besar.

Peran Lembaga Internasional: Netral atau Alat Kapital Global?

Institusi seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia sering digambarkan sebagai lembaga yang membantu pembangunan ekonomi dan integrasi global. Namun, dari perspektif Marxis, lembaga-lembaga ini justru menjadi instrumen kelas dominasi kapitalis global. Misalnya, syarat-syarat pinjaman IMF sering kali mengharuskan negara pemberi pinjaman untuk melakukan privatisasi, liberalisasi perdagangan, dan penghapusan subsidi---sebuah paket kebijakan yang dikenal sebagai Structural Adjustment Programs (SAPs).

Menurut laporan dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), negara-negara yang menjalankan SAPs pada era 1980-1990 mengalami penurunan tajam dalam kapasitas industri domestik dan meningkatkan ketimpangan pendapatan. Contohnya adalah Ghana dan Zambia, yang mengalami liberalisasi sektor pertanian dan kehilangan kontrol terhadap harga dan distribusi produk lokal, membuat petani lokal tersingkir dari pasar. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang tampak teknokratis tersebut sebenarnya adalah reproduksi ketimpangan global yang memihak pada kepentingan modal internasional.

Perusahaan Multinasional dan Relokasi Eksploitasi

Perusahaan multinasional (MNCs) menjadi aktor utama dalam sistem perdagangan internasional saat ini. Mereka beroperasi lintas negara, mencari lokasi produksi dengan biaya tenaga kerja rendah dan regulasi lemah. Dalam pandangan Marxis, ini adalah bentuk nyata dari akumulasi kapital global: perusahaan tidak hanya mengeksploitasi buruh di negeri, tetapi memperluas eksploitasi ke negara-negara Dunia Ketiga. Menurut data Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2022, pekerja pabrik di Bangladesh dan Kamboja bekerja rata-rata 60 jam per minggu dengan upah bulanan di bawah USD 150. Produk mereka dijual di negara maju dengan harga berlipat ganda.

Fenomena ini dikenal sebagai race to the bottom , di mana negara-negara bersaing menawarkan buruh murah dan regulasi ramah investor demi menarik investasi asing. Akibatnya, negara-negara Dunia Ketiga tidak mempunyai posisi tawar untuk melindungi hak buruh dan lingkungan. Sementara itu, keuntungan maksimal dapat dinikmati oleh pemegang saham dan manajer puncak di negara-negara maju. Marxisme membaca ini sebagai bentuk perampasan nilai lebih global yang berakhir pada konsentrasi kekayaan di tangan segelintir elit transnasional.

Ketimpangan dalam rantai pasok global di era globalisasi, perdagangan tidak lagi berupa pertukaran barang jadi. Melainkan integrasi kompleks dalam rantai nilai global (GVCs). Negara-negara berkembang umumnya hanya terlibat pada tahap awal rantai nilai: produksi bahan mentah, perakitan awal, atau pengemasan. Mereka tidak mengakses sektor bernilai tinggi seperti penelitian, desain, distribusi, atau branding. Dalam laporan OECD tahun 2023, hanya 10% dari total nilai tambah produk elektronik global yang berasal dari negara-negara berkembang, meskipun sebagian besar proses produksinya dilakukan di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun