Pelemahan Rupiah dan Tantangan Disiplin Fiskal Indonesia
Pelemahan rupiah yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir kembali memantik perdebatan mengenai faktor utama yang memengaruhi stabilitas nilai tukar. Analis Bank Woori Saudara, Rully Nova, menilai bahwa disiplin fiskal pemerintah menjadi isu sentral dalam fenomena ini. Menurutnya, belanja pemerintah yang ekspansif, terutama jika tidak diimbangi dengan sumber pembiayaan yang sehat, justru memberi tekanan besar pada kurs rupiah. Data terbaru mencatat, rupiah melemah sebesar 65 poin atau 0,02 persen ke level Rp16.749 per dolar AS pada penutupan perdagangan, dan JISDOR juga mencatat pelemahan ke Rp16.752 per dolar AS. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi mencerminkan dinamika fundamental ekonomi yang perlu dicermati lebih serius. Ketergantungan besar pada utang untuk membiayai belanja negara, ditambah melemahnya minat asing terhadap obligasi, memperlihatkan betapa rentannya posisi rupiah terhadap tekanan eksternal maupun internal.
Belanja ekspansif pada dasarnya tidak bisa serta-merta dipandang negatif, sebab ia seringkali digunakan sebagai instrumen mendorong pertumbuhan ekonomi, membangun infrastruktur, dan menjaga stabilitas sosial. Namun, persoalan muncul ketika pembiayaan belanja lebih dominan berasal dari utang. Rully menegaskan bahwa saat ini minat asing terhadap obligasi negara mengalami penurunan signifikan. Jika dahulu kepemilikan asing sempat mendekati 40 persen, kini angkanya berada di bawah 20 persen. Penurunan tajam ini bukan hanya soal angka, tetapi juga menjadi indikator menurunnya kepercayaan investor global terhadap stabilitas fiskal Indonesia. Akibatnya, Bank Indonesia (BI) harus masuk dengan kebijakan burden sharing untuk menyerap obligasi yang ditinggalkan investor asing. Situasi ini berpotensi memunculkan masalah baru, karena menambah likuiditas dalam jumlah besar yang bisa berujung pada peningkatan inflasi, melemahkan daya beli, dan pada akhirnya membuat kurs rupiah semakin tertekan.
Selain persoalan utang, akar lain dari lemahnya disiplin fiskal pemerintah adalah rendahnya tax ratio yang masih berada di bawah 10 persen. Kondisi ini menunjukkan keterbatasan penerimaan negara dalam menutupi kebutuhan belanja. Sumber utama penerimaan pajak masih bertumpu pada pajak penghasilan industri pengolahan, di mana kontribusi buruh menjadi penopang signifikan. Basis pajak yang sempit ini memperlihatkan belum optimalnya sistem perpajakan Indonesia. Jika tax ratio tidak segera diperbaiki, maka pemerintah akan terus mengandalkan utang, memperbesar burden sharing dengan BI, dan menciptakan risiko inflasi yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, pelemahan rupiah bukan semata-mata akibat faktor eksternal, melainkan juga kelemahan internal dalam pengelolaan fiskal. Oleh karena itu, disiplin fiskal yang diwarnai dengan reformasi perpajakan menjadi kebutuhan mendesak untuk memperkuat fundamental ekonomi dan menjaga kestabilan nilai tukar di masa depan.
Rully Nova juga menekankan pentingnya akselerasi proses industrialisasi sebagai solusi jangka panjang untuk memperbaiki penerimaan negara. Industrialisasi yang lebih cepat akan menciptakan basis pajak yang lebih luas, baik dari sisi pajak pendapatan perusahaan maupun pajak payroll dari pekerja. Dengan kata lain, memperkuat sektor riil melalui industrialisasi akan meningkatkan daya tahan fiskal sekaligus memperkuat fundamental rupiah. Ketergantungan yang terlalu besar pada utang harus dikurangi secara bertahap, karena semakin tinggi rasio utang terhadap PDB, semakin besar pula beban pembayaran bunga dan pokok di masa depan. Selain itu, industrialisasi dapat mendorong penciptaan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, serta memperbesar kontribusi pajak dari sektor formal. Inilah jalan keluar yang ditawarkan agar pelemahan rupiah tidak menjadi masalah berulang, melainkan bisa ditekan dengan langkah-langkah strategis yang memperkuat penerimaan negara secara berkelanjutan.
Pelemahan rupiah juga tidak bisa dilepaskan dari faktor eksternal, khususnya kebijakan suku bunga Amerika Serikat. Pernyataan terbaru Ketua The Federal Reserve, Jerome Powell, yang dinilai kurang dovish terkait potensi pemangkasan suku bunga menambah ketidakpastian global. Powell menyebut bahwa ruang penurunan suku bunga ke depan masih terbatas karena risiko inflasi akibat kebijakan tarif. Hal ini memperlebar perbedaan pandangan di internal The Fed, di mana sebagian anggota justru mendorong penurunan suku bunga lanjutan. Ketidakpastian kebijakan suku bunga AS membuat pasar global cenderung mencari aset aman, sehingga dolar AS menguat terhadap berbagai mata uang, termasuk rupiah. Dengan kondisi fundamental fiskal Indonesia yang belum solid, tekanan eksternal semacam ini semakin mudah memukul nilai tukar rupiah. Artinya, pelemahan kurs yang terjadi saat ini merupakan kombinasi dari masalah internal fiskal dan tekanan global yang datang bersamaan.
Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa pelemahan rupiah bukan sekadar persoalan pasar valuta asing, tetapi juga cermin dari manajemen fiskal dan strategi pembangunan nasional. Belanja ekspansif yang dibiayai utang tanpa didukung penerimaan pajak yang kuat ibarat membangun rumah di atas pondasi rapuh. Sementara itu, faktor eksternal seperti kebijakan moneter AS hanya menjadi pemicu yang mempercepat gejolak. Solusi jangka pendek mungkin bisa dilakukan dengan burden sharing dan intervensi pasar, namun tanpa perbaikan mendasar, rupiah akan terus berada dalam posisi rentan. Indonesia membutuhkan strategi fiskal yang lebih disiplin, reformasi pajak yang mampu memperluas basis penerimaan, serta akselerasi industrialisasi untuk memperkuat sektor riil. Dengan kombinasi langkah-langkah tersebut, fundamental ekonomi bisa diperkuat, sehingga rupiah tidak selalu menjadi korban pertama setiap kali terjadi guncangan global.
Kesimpulannya, analisis Rully Nova menyoroti inti persoalan pelemahan rupiah, yaitu lemahnya disiplin fiskal di tengah belanja pemerintah yang ekspansif. Ketergantungan besar pada utang, tax ratio yang rendah, dan menurunnya minat asing terhadap obligasi negara menjadi faktor internal utama. Sementara itu, faktor eksternal seperti ketidakpastian kebijakan The Fed memperburuk tekanan terhadap rupiah. Oleh karena itu, disiplin fiskal bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Pemerintah perlu mengurangi ketergantungan pada utang dengan memperkuat penerimaan dari pajak, melakukan reformasi struktural, serta mempercepat industrialisasi untuk menciptakan basis ekonomi yang lebih kokoh. Dengan langkah ini, rupiah tidak hanya lebih stabil, tetapi juga dapat menjadi cerminan ekonomi nasional yang sehat dan berdaya saing. Tanpa perubahan mendasar, pelemahan rupiah akan menjadi isu berulang yang menggerogoti kepercayaan investor dan melemahkan daya saing Indonesia di kancah global.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI