Kompasiana, Padang --- Penyakit Parkinson kini bukan lagi sekadar catatan medis internasional, melainkan telah menjelma menjadi persoalan kesehatan serius di Indonesia. Data menunjukkan, prevalensi Parkinson di tanah air menempati posisi ke-12 di dunia dan ke-5 di kawasan Asia. Angka tersebut tentu mencemaskan, mengingat Parkinson tidak hanya merampas kemampuan motorik penderitanya melalui gejala tremor, kaku otot, dan kesulitan berbicara, tetapi juga secara perlahan menggerogoti kualitas hidup pasien hingga keluarganya.
Selama beberapa dekade terakhir, terapi konvensional berbasis levodopa menjadi standar utama pengobatan. Obat ini terbukti efektif dalam meredakan gejala, namun penggunaan jangka panjangnya kerap menimbulkan efek samping serius yang tak bisa diabaikan. Dilema inilah yang menuntut dunia riset untuk mencari jalan baru---alternatif terapi yang tidak hanya aman, tetapi juga efektif dalam jangka panjang. Di tengah kebutuhan tersebut, perhatian para ilmuwan mulai tertuju pada bahan alam, salah satunya kunyit (Curcuma longa). Kunyit telah lama dikenal sebagai rempah tradisional dengan kandungan kurkumin, senyawa aktif yang memiliki sifat antioksidan kuat. Mekanisme antioksidan ini berperan penting dalam melawan stres oksidatif, salah satu penyebab utama degenerasi neuron pada penderita Parkinson.
Sebuah penelitian oleh Yuliani dkk. (2022) bahkan menemukan bahwa pemberian ekstrak kunyit dengan dosis 200--400 mg/KBB pada hewan uji menunjukkan perbaikan gejala Parkinson yang sebanding dengan levodopa. Fakta ilmiah tersebut mendorong lahirnya sebuah inovasi menarik dari Tim PKM-RE CurcumaN2B Jurusan Farmasi Universitas Andalas.
Tim yang digawangi oleh Indah Angraeny Putri Azizah (Farmasi 2022) selaku ketua, bersama anggota Merlin Anatasia Ramli (Farmasi 2022), Zidane Pratama Setiawan (Farmasi 2022), Febby Juliev (Farmasi 2023), serta Safira Salsabila (Farmasi 2023), di bawah bimbingan Apt. Deni Noviza, M.Si., berhasil merancang gagasan sediaan obat berbasis kunyit yang berbeda dari sekadar kapsul atau tablet. Dalam keterangannya, Indah menjelaskan, "Selama ini pengobatan Parkinson umumnya dilakukan dengan terapi obat per oral maupun intravena. Namun kurkumin dalam kunyit memiliki bioavailabilitas rendah bila diberikan secara oral. Tantangan inilah yang berusaha kami jawab melalui inovasi CurcumaN2B."
CurcumaN2B hadir dalam bentuk nanoemulsi yang dikombinasikan dengan in-situ gel termosensitif serta sistem penghantaran obat Nose-to-Brain (N2B). Teknologi ini memungkinkan kurkumin masuk ke otak secara lebih efektif melalui jalur intranasal, sekaligus memperpanjang waktu kontak dengan mukosa hidung. Sistem ini bukan hanya menjawab masalah bioavailabilitas, tetapi juga membuka peluang baru dalam pengembangan terapi berbasis bahan alam dengan efektivitas lebih tinggi.
"Dengan teknologi nanoemulsi, partikel kurkumin dapat dipecah menjadi ukuran nanometer sehingga lebih mudah diserap. Sementara in-situ gel termosensitif akan berubah konsistensi ketika terkena suhu tubuh, membuat sediaan lebih lama bertahan di rongga hidung. Kombinasi keduanya memperbesar peluang penghantaran obat langsung ke otak melalui sistem Nose-to-Brain," tambah Indah. Tak dapat dimungkiri, riset ini mencerminkan tren baru dalam dunia farmasi Indonesia: memanfaatkan potensi lokal dengan pendekatan teknologi mutakhir. Lebih dari sekadar penelitian mahasiswa, CurcumaN2B membuka cakrawala baru bahwa bahan alam Indonesia memiliki peluang besar menjadi alternatif terapi penyakit degeneratif global.
Riset yang didukung penuh oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek) Kemdikbud serta Universitas Andalas ini diharapkan dapat menjadi rujukan penelitian lanjutan, bahkan hingga tahap uji klinis manusia di masa depan. "Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari dukungan institusi dan pendanaan riset. Kami berharap CurcumaN2B dapat memberi kontribusi nyata bagi pengembangan terapi Parkinson dan menginspirasi penelitian sejenis dari bahan alam lainnya," tutup tim peneliti.
Parkinson memang masih menjadi ancaman yang membayangi. Namun, langkah-langkah kecil yang ditempuh oleh generasi muda peneliti Indonesia memberi sinyal harapan: bahwa di balik tantangan besar, selalu ada peluang inovasi. Dan siapa sangka, jawaban atas penyakit kompleks ini mungkin saja tersimpan pada rimpang kunyit di dapur masyarakat Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI