Pendahuluan: Mengapa Kita Butuh Lensa Filosofis?
Di tengah arus informasi instan, teknologi, dan pragmatisme yang menggebu, manusia kerap kehilangan napas dalam konteks eksistensi mereka sendiri. Kita mengejar efisiensi, target, dan hasil, tapi seringkali lupa bertanya: apa makna di balik apa yang kita kerjakan? Di sinilah peran pendekatan filosofis menjadi sangat relevan --- bukan untuk menolak tindakan konkret, tetapi untuk memberi kedalaman, kerangka reflektif, dan kesadaran kritis terhadap apa yang tampak sebagai "normal."
Pendekatan filosofis bukanlah sekadar merangkai kata-kata tinggi atau jargon abstrak. Ia adalah cara berpikir yang menelisik asumsi-asumsi dasar---ontologis (apa ada), epistemologis (bagaimana kita tahu), dan aksiologis (apa nilai, apa baik-buruk)---yang seringkali tersembunyi dalam cara kita melihat dunia, membuat kebijakan, atau bertindak sehari-hari.
Dalam tulisan ini, saya akan membedah dimensi-dimensi pendekatan filosofis, menunjukkan bagaimana ia bisa diaplikasikan pada berbagai ranah (riset, pendidikan, etika), serta tantangan dan peluangnya. Setelah itu, disajikan versi parafrase agar Anda mendapat sudut lain dalam menangkap gagasan-gagasan ini.
Dimensi-Dimensi Pendekatan Filosofis
Pendekatan filosofis pada dasarnya bisa dipecah menjadi beberapa lapisan penting:
1. Ontologi: Realitas dan Eksistensi
Pertanyaan ontologis adalah: apa yang ada? Dalam konteks penelitian atau tindakan manusia, pertanyaan ini bisa muncul sebagai: apakah realitas itu objektif, atau apakah yang kita sebut "dunia" hanyalah konstruksi pikiran kita?
Misalnya, dalam sains sosial, sebagian peneliti memandang bahwa fenomena sosial itu "ada di luar" peneliti (realitas objektif), sementara sebagian lain bertolak dari pandangan konstruktivis yang melihat bahwa realitas sosial dibentuk oleh interpretasi manusia. Pandangan mana pun yang dipilih akan sangat memengaruhi desain penelitian, metodologi, dan cara interpretasi hasil.
2. Epistemologi: Cara Kita Mengetahui
Epistemologi membahas: bagaimana kita bisa tahu sesuatu? Tradisi positivistik menekankan observasi, pengukuran, dan verifikasi empiris, sedangkan pendekatan lain seperti fenomenologi atau interpretivisme lebih mementingkan pengalaman subyektif, makna, dan narasi.
Contoh menarik dapat dilihat dalam riset kualitatif. Ada kritik bahwa banyak penelitian kualitatif cenderung mengandalkan induksi (dari data ke teori) tanpa refleksi filosofis yang memadai. Namun, pendekatan critical rationalism menyodorkan bahwa teori tidak semata muncul dari data, melainkan diuji, direfleksikan, dan direvisi berdasarkan falsifikasi.
SpringerLink
+1
3. Aksiologi: Nilai dan Etika
Aksiologi menaruh perhatian pada nilai---apa yang dianggap baik, adil, atau bermakna. Dalam penelitian, itu berarti bahwa proses penelitian, pilihan topik, interpretasi data, dan implikasi tindakan tidak netral secara nilai. Sebagai contoh, dalam penelitian hukum, pendekatan filosofis dapat membuka ruang untuk memeriksa dimensi nilai hukum---keadilan, moral, dan kemanusiaan---bukan sekadar norma dan aturan positif.
psppjournals.org
Pendekatan Filosofis di Dunia Nyata
Bagaimana pendekatan filosofis ini bisa diaplikasikan dalam konteks praktis? Berikut beberapa ilustrasi:
A. Dalam Riset (Ilmu Sosial, Pendidikan, Hukum, dll.)
Menentukan paradigma riset
Saat memulai penelitian, seorang peneliti idealnya memilih paradigma (misalnya positivisme, interpretivisme, kritis) berdasarkan konsistensi ontologi dan epistemologi. Dalam artikel Choosing a Methodology: Philosophical Underpinning, dibahas bahwa memahami kohesi antara ontologi, epistemologi, dan metode sangat penting agar penelitian tidak retak di pertengahan.^[ Jackson, E. (2013). Choosing a Methodology: Philosophical Underpinning ]
insight.cumbria.ac.uk