Mohon tunggu...
Amar Raifullah
Amar Raifullah Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fasisme Agama dan Nasionalisme

8 Desember 2019   12:36 Diperbarui: 8 Desember 2019   12:43 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh : Amar Raifullah

Indonesia mempunyai banyak sekali perbedaan dalam beragama, ras, dan suku. Keberagaman tersebut merupakan sebuah anugerah yang diberikan kepada bangsa Indonesia, hanya tinggal bagaimana kita menyikapi keberagaman dan perbedaan tersebut menjadi sebuah hal yang sangat diperhitungkan dan disikapi dengan serius oleh seluruh elemen negara. Termasuk didalamnya ialah para pemimpin, para wakil rakyat, ormas dan para rakyat itu sendiri. Lantas bagaimana kondisi keberagaman tersebut saat ini di Indonesia?.

Keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia saat ini sedang diuji, dengan begitu banyak ujian yang diberikan kepada kelompok masyarakat, individu maupun pemerintahan. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi keberagaman diantaranya agama, suku dan ras. Di Indonesia ada 6 agama yang diakui legitimasinya dan legalitasnya, banyak suku di Indonesia seperti batak, melayu, betawi, sunda, dan masih banyak yang lainnya, lalu ras yang di Indonesia seperti keturunan cina, arab, melayu asli, setengah melayu dan lainnya.

Dengan banyaknya agama, suku, ras tersebut maka munculah ideologi mengenai keberagaman tersebut yang biasa kita sebut Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan sebuah kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuno yaitu kakawin Sutasoma yang berarti Beraneka Satu Kesatuan. Sebutan atau semboyang tersebut bermaknauntuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahas, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.

Namun ternyata hadirnya Bhinneka Tunggal Ika tidak cukup untuk membendung beberapa masalah fasisme dan rasisme yang ada di Indonesia. Fasisme ialah paham nasionalisme otoritarian radikal yang dicirikan oleh adanya kepemimpinan yang diktator, supremasi ras, atau golongan tertentu, kontrol penuh terhadap pihak oposisi, anti-toleransi, serta kontrol ekonomi yang tersentralisasi. Fasisme di Indonesia mulai muncul, hal ini bisa dibuktikan oleh fakta berbagai organisasi yang gemar mobilisasi massa, arak-arakan, dan gemar melakukan tindak kekerasan untuk memaksakan kehendaknya.

Tidak hanya ormas dan organisasi saja yang melakukan fasisme, pemerintahan Indonesia pun juga melakukan upaya fasisme dengan dalih pancasialis dan nasionalisme. Kegiatan tersebut dilakukan oleh rezim era Jokowi pada saat pergantian periode keduanya 2019-2024, pada saat itu fasisme dan pengakuan absolut dilakukan oleh para ormas, oposisi, dan juga anti-fasisme itu sendiri.

Nasionalisme yang disuarakan pemerintah melalui ideologi pancasila merupakan upaya mereka untuk melanggengkan pemerintahan Jokowi yang fasis, dengan menciptakan oposisi dan anti-otoritarian dijadikan musuh untuk dibenci dan menjadikannya sebagai ancaman pada otoritas mereka, membatasi hak suara, hak kritisi para aktivis. Dengan disuarakannya menggunakan pancasila, pemerintahpun melakukan upaya deradikalisasi yang gagal, kegiatan deradikalisasi yang dilakukan pemerintah lebih kepada kekejaman kepada masyarakat yang sedang memperjuangkan demokrasi murni.

Ormas yang saat itu merupakan bagian dari oposisi pemerintahan terus menerus melakukan pengakuan bahwa dirinya yang paling benar dan absolut, mengandalkan keagamaan sebagai politik identitas dan politik populisme. Dengan membangun kapasitas untuk bisa mengerti dan komunikasi dengan konsumen melalui pendektan emosional, dengan menyembunyikan rasionalitasnya didepan emosional mereka.

Inilah yang dilakukan oleh beberapa kelompok. Pemerintah, ormas, dan kelompok masyarakat melakukan politik populisme dengan mengandalkan ideologi mereka masing-masing. Pancasialis, agamis, sosialis merangkup semua orang yang merasa satu pemikiran dengan mereka, mendapatkan massa, mobilisasi massa, dan saling menjatuhkan satu sama lain. Seperti perang ideologi satu sama lain, memainkan ideologi mereka.

Tentu, tidak salah dengan kita menganut ideologi nasionalisme. Namun, untuk menjadi negara yang demokratis, nasionalisme bisa saja menjadi sebuah bumerang untuk negara itu sendiri. Dimanfaatkan oleh beberapa kelompok menjadikan nasionalisme sebagai hal yang salah pada ideologi mereka, mengakui bahwa idelogi mereka lebih baik, dan terjadilah sebuah pertarungan ideologi satu sama lain yang menganggap yang lain itu buruk yang biasa kita sebut FASISME.

Hal itu telah dibuktikan dengan bagaimana pemerintah yang fasis dilakukan oleh para aparat pemerintahan, memukul para demonstran, menyuarakan nasionalisme secara besar-besaran untuk memaksakan kehendaknya agar seluruh elemen mengakui dan menganut pendapatnya. Bagaimana ormas agama melakukan intervensi kepada ras papua di surabaya (Rasisme), lalu menjelekan pemerintahan secara terbuka, menganggap sistem khilafah adalah yang cocok dengan Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun