Ketiga, pendidikan harus berorientasi pada masa depan, bukan masa lalu. Dunia berubah dengan cepat, dan sistem pendidikan harus mampu beradaptasi dengan perubahan ini. Teknologi harus dimanfaatkan secara maksimal untuk membuka akses pembelajaran bagi semua orang, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil.
Namun, pertanyaannya: apakah pemerintah benar-benar mau mengakhiri siklus kuda mati ini? Ataukah semua reformasi hanya akan menjadi ilusi, sekadar mencambuk kuda mati dengan harapan ia kembali berlari?
Pendidikan adalah kunci bagi masa depan bangsa. Jika sistem ini tidak diperbaiki secara mendasar, kita akan terus berada dalam lingkaran yang sama: mencambuk kuda mati, berharap ia bangkit, tetapi pada akhirnya hanya berjalan di tempat tanpa kemajuan yang nyata.
Indeks IQ, PISA, dan Masyarakat yang Tidak Diajak Berpikir
Dalam laporan PISA (Programme for International Student Assessment) terbaru, Indonesia masih berkutat di peringkat bawah dalam literasi, numerasi, dan pemahaman sains. Ini bukan hanya soal pendidikan yang buruk, tetapi juga pola pikir masyarakat yang tidak terbiasa berpikir kritis. Lihat saja bagaimana propaganda politik bekerja di negeri ini: masyarakat dengan mudah menelan narasi tanpa mengujinya, hoaks bertebaran tanpa filter, dan diskursus publik lebih sering dipenuhi emosi ketimbang logika. Lebih parahnya lagi, pola ini tidak sekadar terjadi di kalangan masyarakat awam, tetapi juga menjangkiti elit politik, akademisi, bahkan media yang seharusnya berperan sebagai penjaga nalar publik.
Jika kita kaitkan dengan teori Dietrich Bonhoeffer, kebodohan kolektif terjadi ketika individu-individu tidak lagi berpikir sendiri, melainkan hanya mengikuti arus massa. Bonhoeffer menjelaskan bahwa kebodohan bukan sekadar kurangnya kecerdasan, melainkan kondisi di mana seseorang berhenti menggunakan akal sehatnya dan hanya tunduk pada dogma yang terus-menerus diulang oleh sistem. Inilah yang menjelaskan mengapa populisme dan politik identitas begitu efektif di negeri ini: publik lebih nyaman berada dalam zona nyaman keyakinannya daripada berhadapan dengan kebenaran yang mengguncang. Akibatnya, diskusi publik sering kali berubah menjadi arena debat kusir tanpa substansi, di mana opini yang berbasis emosi lebih diutamakan daripada argumentasi berbasis fakta.
Lebih dari itu, sistem ini tidak hanya gagal mendidik, tetapi juga menciptakan ketimpangan sosial yang semakin melebar. Pendidikan yang berkualitas hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu membayar mahal, sementara masyarakat kelas bawah terjebak dalam sekolah-sekolah dengan fasilitas minim dan tenaga pengajar yang kurang berkualitas. Hasilnya? Lapisan elite terus menikmati akses ke pengetahuan dan kesempatan, sementara mayoritas rakyat tetap dalam ketidaktahuan yang disengaja. Ini menciptakan efek bola salju, di mana ketidaktahuan menyebabkan kemiskinan, dan kemiskinan memperburuk ketidaktahuan. Siklus ini terus berulang, menjadikan kelas sosial yang ada semakin mengeras dan sulit ditembus.
Mengapa Kebodohan dan Kemiskinan Dipelihara?
Seperti yang dikritik oleh Rocky Gerung, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat bukanlah sekadar akibat kegagalan sistem, melainkan efek dari politik yang disengaja. Kebodohan dan kemiskinan adalah instrumen kontrol sosial yang paling efektif. Jika rakyat terus sibuk bertahan hidup, mereka tidak akan punya waktu untuk mempertanyakan kekuasaan. Jika masyarakat terus dicekoki hiburan kosong, mereka tidak akan pernah sadar bahwa mereka sedang diperbudak. Hal ini dapat kita lihat dalam bagaimana sistem pendidikan tidak diarahkan untuk membangun nalar kritis, melainkan lebih banyak menekankan hafalan dan kepatuhan. Konsep "siswa yang baik" sering kali diukur dari seberapa patuh mereka terhadap aturan, bukan dari seberapa mandiri mereka dalam berpikir.
Dalam politik, ada adagium lama: "Berikan rakyat roti dan sirkus, maka mereka tidak akan memberontak." Di era modern, bentuk "sirkus" itu adalah media sosial yang penuh hiburan dangkal, tayangan televisi yang menumpulkan otak, serta politik yang lebih mirip drama sinetron. Bandingkan dengan negara-negara maju yang pendidikannya lebih diarahkan pada pembangunan kapasitas berpikir kritis. Di negara-negara tersebut, pendidikan bukan hanya tentang mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga tentang membangun warga negara yang sadar hak dan tanggung jawabnya. Sementara itu, di Indonesia, kurikulum masih berkutat pada aspek administratif yang mengutamakan nilai akademik di atas pemahaman mendalam terhadap realitas sosial.
Dari sinilah kita melihat pola yang lebih luas: kejahatan tidak perlu dilakukan secara langsung dengan represi atau kekerasan, tetapi cukup dengan membiarkan kebodohan merajalela. Selama rakyat tidak tahu bahwa mereka ditindas, mereka tidak akan melawan. Ini menjelaskan mengapa pemerintah cenderung tidak memiliki urgensi dalam memperbaiki kualitas pendidikan. Selama sistem ini bekerja sesuai dengan kepentingan elite, tidak ada insentif bagi mereka untuk melakukan perubahan nyata. Justru, semakin besar jumlah orang yang tidak terdidik, semakin mudah pula mereka dikendalikan dengan narasi-narasi sederhana yang sering kali menyesatkan.