Mohon tunggu...
Amar Alfian
Amar Alfian Mohon Tunggu... Mahasiswa Pasaman Barat

Amor Fati Fatum Brutum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyoal Fenomena SDM Rendah: Apa yang Sebenarnaya Terjadi?

10 Februari 2025   10:20 Diperbarui: 10 Februari 2025   20:07 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pembaca yang budiman, akhir-akhir ini muncul fenomena baru di tengah masyarakat terkait stempel "SDM rendah" dalam hiruk-pikuk media sosial. Debat mengenai kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia kembali mengemuka akibat maraknya tontonan yang menunjukkan kebodohan secara vulgar di dunia maya. Dari tren standar TikTok yang tidak mendidik, tawuran yang terus berulang, hingga fenomena truk terguling yang kemudian dijarah, semua ini menjadi gambaran bagaimana degradasi intelektual semakin nyata. Bahkan, dalam video wawancara yang dilakukan oleh influencer terhadap siswa SMA dan mahasiswa mengenai pertanyaan dasar seperti siapa Bapak Pendidikan Nasional atau nama negara di Benua Eropa, banyak jawaban yang ngawur dan di luar nalar. Terlepas dari apakah video tersebut hanya settingan, kolom komentarnya tetap dipenuhi dengan kritik tajam dan ujaran negatif yang menyoroti rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini.

Kritik keras pun datang dari berbagai pihak, termasuk Rocky Gerung yang menyoroti bahwa rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Indonesia hanya setara dengan kelas 1 SMP. Indeks rerata IQ nasional yang berada di angka 78 serta skor PISA (Programme for International Student Assessment) yang konsisten berada di peringkat bawah menjadi indikator lain dari rendahnya kualitas intelektual bangsa. Namun, lebih dari sekadar angka, fenomena ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam dunia pendidikan, pola yang terus dipelihara, bahkan strategi yang tampaknya disengaja oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Dari perspektif Dietrich Bonhoeffer, kebodohan bukanlah sekadar kurangnya pengetahuan, melainkan kehilangan otonomi berpikir. Kebodohan yang dipelihara bukan kecelakaan sejarah, tetapi alat kekuasaan. Jika rakyat terus dibiarkan bodoh, mereka akan lebih mudah dikendalikan. Jika masyarakat hanya bisa melihat sebatas layar ponsel dan tidak pernah mempertanyakan realitas sosialnya, maka mereka tidak akan melawan ketidakadilan. Inilah realitas yang terjadi hari ini: penguasa tidak membutuhkan rakyat yang cerdas, mereka hanya memerlukan rakyat yang cukup bodoh untuk tetap tunduk tetapi cukup pintar untuk tetap produktif secara ekonomi.

Pendidikan di Indonesia, alih-alih menjadi alat pembebasan, justru semakin terperosok dalam pusaran industrialisasi yang menitikberatkan pada keterampilan kerja semata. Kurikulum yang sering berubah tanpa arah jelas, pembelajaran yang berorientasi pada hafalan tanpa pemahaman kritis, serta guru-guru yang kurang mendapat pelatihan mumpuni semakin memperparah keadaan. Ditambah dengan mahalnya biaya pendidikan yang membuat akses terhadap ilmu berkualitas semakin terbatas bagi kelompok miskin, ketimpangan ini menjadi semakin nyata.

Jika kita menilik lebih jauh, kondisi ini bukan sekadar akibat sistem pendidikan yang buruk, tetapi juga hasil dari pola ekonomi-politik yang disengaja. Pierre Bourdieu dalam teorinya mengenai kapital budaya menjelaskan bahwa pendidikan sering kali menjadi alat untuk mereproduksi ketimpangan sosial. Mereka yang memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas akan terus mendominasi, sementara kelas bawah dibiarkan mengandalkan pendidikan seadanya yang tidak benar-benar membebaskan mereka dari lingkaran kemiskinan dan kebodohan. Pendidikan dalam sistem ini lebih banyak melahirkan pekerja yang patuh dibandingkan individu yang berpikir kritis.

Kembali pada fenomena yang terjadi di media sosial, semakin jelas bahwa kebodohan bukan sekadar hasil dari kegagalan sistem pendidikan, tetapi juga dari disrupsi teknologi yang tidak diimbangi dengan literasi digital yang memadai. Generasi muda lebih tertarik pada konten-konten instan yang viral daripada membaca buku atau mencari wawasan yang lebih mendalam. Algoritma media sosial yang hanya menyajikan konten sesuai dengan selera pengguna juga memperparah situasi, menciptakan echo chamber di mana kebodohan terus direproduksi tanpa ada mekanisme koreksi yang memadai.

Lalu, bagaimana jalan keluar dari permasalahan ini? Solusinya tidak bisa hanya bertumpu pada pemerintah semata. Memang, reformasi pendidikan mutlak diperlukan, termasuk peningkatan kualitas guru, perbaikan kurikulum, serta penyediaan akses pendidikan yang lebih merata. Namun, peran masyarakat juga sangat penting. Orang tua perlu lebih aktif dalam mendampingi anak-anak mereka agar tidak terjerumus dalam konten-konten yang merusak. Gerakan literasi juga harus lebih digalakkan agar masyarakat tidak mudah termakan hoaks dan memiliki pemahaman yang lebih luas tentang dunia.

Di tengah berbagai tantangan ini, satu hal yang harus kita sadari adalah bahwa kebodohan bukanlah nasib, melainkan hasil dari sistem yang bisa diubah. Jika kita ingin Indonesia keluar dari stigma "SDM rendah," maka kita harus mulai dengan membangun budaya berpikir kritis. Sebab, hanya dengan masyarakat yang sadar dan cerdas, bangsa ini dapat keluar dari lingkaran ketertinggalan yang terus membelenggu.

Teori Kuda Mati dan Sistem Pendidikan Indonesia: Sebuah Kebuntuan yang Berulang

Dalam dunia manajemen, ada sebuah konsep yang dikenal sebagai "teori kuda mati" (Dead Horse Theory). Prinsipnya sederhana: jika seekor kuda mati, tidak peduli seberapa keras kamu mencambuknya, kuda itu tidak akan bangkit. Namun, alih-alih mengganti strategi, banyak organisasi memilih untuk mencambuk lebih keras, memberi bonus pada penunggangnya, atau bahkan mengganti joki dengan harapan kuda mati itu kembali berlari.

Sistem pendidikan di Indonesia adalah kuda mati yang terus dicambuk. Kurikulum direvisi berkali-kali, menteri berganti setiap beberapa tahun, program-program baru diklaim sebagai terobosan, namun hasilnya tetap sama: kualitas sumber daya manusia (SDM) stagnan atau bahkan menurun. Lebih dari itu, sistem ini tidak pernah benar-benar dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi lebih untuk mencetak tenaga kerja murah bagi industri. Pendidikan hanya dijadikan alat produksi kapitalisme, bukan sarana pemberdayaan manusia.

Pendidikan sebagai Mesin Produksi, Bukan Pengembangan Daya Pikir

Sejak lama, sistem pendidikan di Indonesia lebih menekankan pengajaran berbasis hafalan dibandingkan pemahaman yang mendalam. Hal ini bukan tanpa alasan. Sistem ini sengaja diciptakan agar menghasilkan lulusan yang patuh, bukan yang kritis. Mereka yang berpikir di luar pakem akan dianggap pembangkang, sementara mereka yang hanya mengikuti arus akan diberi imbalan berupa kelulusan yang aman. Akibatnya, kreativitas dan inovasi mati di ruang kelas, digantikan dengan kebiasaan menghafal dan meniru.

Jika kita bandingkan dengan sistem pendidikan di negara-negara maju, seperti Finlandia atau Jerman, perbedaannya sangat mencolok. Di sana, pendidikan diarahkan untuk membentuk individu yang mampu berpikir mandiri, memiliki daya analisis tinggi, dan berani mempertanyakan status quo. Sementara di Indonesia, siswa dipaksa untuk menerima segala sesuatu sebagai kebenaran mutlak, tanpa ada ruang untuk diskusi dan eksplorasi gagasan.

Dampaknya terasa jelas. Ketika lulusan Indonesia memasuki dunia kerja, mereka sering kali mengalami kesulitan dalam menghadapi tantangan yang membutuhkan solusi kreatif. Di era digital dan revolusi industri 4.0 ini, inovasi dan fleksibilitas berpikir adalah kunci utama keberhasilan suatu bangsa. Namun, dengan pola pendidikan yang kaku dan repetitif, bagaimana mungkin kita bisa melahirkan generasi yang siap menghadapi persaingan global?

Ketimpangan Pendidikan dan Siklus Kebodohan Sistemik

Selain masalah kurikulum yang tidak relevan, ada pula persoalan mendasar lainnya: ketimpangan dalam akses pendidikan. Sekolah-sekolah di perkotaan mungkin masih memiliki sumber daya yang cukup, tetapi di pelosok negeri, banyak sekolah yang bahkan tidak memiliki guru tetap, fasilitas yang memadai, atau akses terhadap buku pelajaran yang layak. Dalam situasi ini, bagaimana mungkin siswa di daerah tertinggal bisa bersaing dengan mereka yang memiliki fasilitas lengkap di kota-kota besar?

Ketimpangan ini semakin diperparah dengan kebijakan pendidikan yang sering kali bias terhadap kelompok tertentu. Sekolah-sekolah unggulan hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki privilese ekonomi, sementara mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu harus puas dengan fasilitas seadanya. Ini menciptakan siklus kebodohan sistemik: mereka yang memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas akan terus maju, sementara yang lain tetap tertinggal dalam keterbelakangan.

Tidak mengherankan jika kita melihat bahwa pengangguran terdidik di Indonesia terus meningkat. Banyak lulusan universitas yang akhirnya bekerja di sektor informal atau bahkan menganggur, bukan karena mereka tidak memiliki gelar, tetapi karena sistem pendidikan yang mereka lalui tidak membekali mereka dengan keterampilan yang relevan untuk dunia kerja modern. Padahal, di negara-negara maju, pendidikan adalah jembatan menuju kesejahteraan, bukan jebakan yang membuat generasi muda terperangkap dalam ketidakpastian masa depan.

Mengakhiri Siklus Kuda Mati: Solusi atau Ilusi?

Untuk keluar dari kebuntuan ini, perubahan mendasar harus dilakukan. Pertama, sistem pendidikan harus diarahkan untuk membentuk manusia yang berpikir kritis dan inovatif, bukan sekadar tenaga kerja yang patuh. Ini berarti kurikulum harus lebih fleksibel, berbasis pemecahan masalah, dan memberikan ruang bagi siswa untuk bereksplorasi.

Kedua, ketimpangan pendidikan harus diatasi dengan kebijakan yang berpihak pada pemerataan akses dan kualitas pendidikan. Ini bisa dimulai dengan memastikan distribusi guru yang lebih merata, pembangunan infrastruktur pendidikan yang memadai di daerah tertinggal, serta peningkatan kualitas pelatihan bagi para pengajar.

Ketiga, pendidikan harus berorientasi pada masa depan, bukan masa lalu. Dunia berubah dengan cepat, dan sistem pendidikan harus mampu beradaptasi dengan perubahan ini. Teknologi harus dimanfaatkan secara maksimal untuk membuka akses pembelajaran bagi semua orang, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil.

Namun, pertanyaannya: apakah pemerintah benar-benar mau mengakhiri siklus kuda mati ini? Ataukah semua reformasi hanya akan menjadi ilusi, sekadar mencambuk kuda mati dengan harapan ia kembali berlari?

Pendidikan adalah kunci bagi masa depan bangsa. Jika sistem ini tidak diperbaiki secara mendasar, kita akan terus berada dalam lingkaran yang sama: mencambuk kuda mati, berharap ia bangkit, tetapi pada akhirnya hanya berjalan di tempat tanpa kemajuan yang nyata.

Indeks IQ, PISA, dan Masyarakat yang Tidak Diajak Berpikir

Dalam laporan PISA (Programme for International Student Assessment) terbaru, Indonesia masih berkutat di peringkat bawah dalam literasi, numerasi, dan pemahaman sains. Ini bukan hanya soal pendidikan yang buruk, tetapi juga pola pikir masyarakat yang tidak terbiasa berpikir kritis. Lihat saja bagaimana propaganda politik bekerja di negeri ini: masyarakat dengan mudah menelan narasi tanpa mengujinya, hoaks bertebaran tanpa filter, dan diskursus publik lebih sering dipenuhi emosi ketimbang logika. Lebih parahnya lagi, pola ini tidak sekadar terjadi di kalangan masyarakat awam, tetapi juga menjangkiti elit politik, akademisi, bahkan media yang seharusnya berperan sebagai penjaga nalar publik.

Jika kita kaitkan dengan teori Dietrich Bonhoeffer, kebodohan kolektif terjadi ketika individu-individu tidak lagi berpikir sendiri, melainkan hanya mengikuti arus massa. Bonhoeffer menjelaskan bahwa kebodohan bukan sekadar kurangnya kecerdasan, melainkan kondisi di mana seseorang berhenti menggunakan akal sehatnya dan hanya tunduk pada dogma yang terus-menerus diulang oleh sistem. Inilah yang menjelaskan mengapa populisme dan politik identitas begitu efektif di negeri ini: publik lebih nyaman berada dalam zona nyaman keyakinannya daripada berhadapan dengan kebenaran yang mengguncang. Akibatnya, diskusi publik sering kali berubah menjadi arena debat kusir tanpa substansi, di mana opini yang berbasis emosi lebih diutamakan daripada argumentasi berbasis fakta.

Lebih dari itu, sistem ini tidak hanya gagal mendidik, tetapi juga menciptakan ketimpangan sosial yang semakin melebar. Pendidikan yang berkualitas hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu membayar mahal, sementara masyarakat kelas bawah terjebak dalam sekolah-sekolah dengan fasilitas minim dan tenaga pengajar yang kurang berkualitas. Hasilnya? Lapisan elite terus menikmati akses ke pengetahuan dan kesempatan, sementara mayoritas rakyat tetap dalam ketidaktahuan yang disengaja. Ini menciptakan efek bola salju, di mana ketidaktahuan menyebabkan kemiskinan, dan kemiskinan memperburuk ketidaktahuan. Siklus ini terus berulang, menjadikan kelas sosial yang ada semakin mengeras dan sulit ditembus.

Mengapa Kebodohan dan Kemiskinan Dipelihara?

Seperti yang dikritik oleh Rocky Gerung, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat bukanlah sekadar akibat kegagalan sistem, melainkan efek dari politik yang disengaja. Kebodohan dan kemiskinan adalah instrumen kontrol sosial yang paling efektif. Jika rakyat terus sibuk bertahan hidup, mereka tidak akan punya waktu untuk mempertanyakan kekuasaan. Jika masyarakat terus dicekoki hiburan kosong, mereka tidak akan pernah sadar bahwa mereka sedang diperbudak. Hal ini dapat kita lihat dalam bagaimana sistem pendidikan tidak diarahkan untuk membangun nalar kritis, melainkan lebih banyak menekankan hafalan dan kepatuhan. Konsep "siswa yang baik" sering kali diukur dari seberapa patuh mereka terhadap aturan, bukan dari seberapa mandiri mereka dalam berpikir.

Dalam politik, ada adagium lama: "Berikan rakyat roti dan sirkus, maka mereka tidak akan memberontak." Di era modern, bentuk "sirkus" itu adalah media sosial yang penuh hiburan dangkal, tayangan televisi yang menumpulkan otak, serta politik yang lebih mirip drama sinetron. Bandingkan dengan negara-negara maju yang pendidikannya lebih diarahkan pada pembangunan kapasitas berpikir kritis. Di negara-negara tersebut, pendidikan bukan hanya tentang mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga tentang membangun warga negara yang sadar hak dan tanggung jawabnya. Sementara itu, di Indonesia, kurikulum masih berkutat pada aspek administratif yang mengutamakan nilai akademik di atas pemahaman mendalam terhadap realitas sosial.

Dari sinilah kita melihat pola yang lebih luas: kejahatan tidak perlu dilakukan secara langsung dengan represi atau kekerasan, tetapi cukup dengan membiarkan kebodohan merajalela. Selama rakyat tidak tahu bahwa mereka ditindas, mereka tidak akan melawan. Ini menjelaskan mengapa pemerintah cenderung tidak memiliki urgensi dalam memperbaiki kualitas pendidikan. Selama sistem ini bekerja sesuai dengan kepentingan elite, tidak ada insentif bagi mereka untuk melakukan perubahan nyata. Justru, semakin besar jumlah orang yang tidak terdidik, semakin mudah pula mereka dikendalikan dengan narasi-narasi sederhana yang sering kali menyesatkan.

Struktur yang Menindas Kesadaran Kritis

Kebodohan yang dilanggengkan bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari struktur yang sistematis. Pierre Bourdieu dalam teorinya tentang habitus dan reproduksi sosial menjelaskan bahwa ketimpangan dalam pendidikan bukan sekadar masalah teknis, tetapi merupakan alat bagi kelas penguasa untuk mempertahankan dominasi mereka. Pendidikan yang membebaskan akan melahirkan individu-individu yang sulit dikendalikan oleh propaganda, sementara pendidikan yang menekan akan melahirkan kepatuhan yang melanggengkan status quo.

Di Indonesia, korupsi di sektor pendidikan, rendahnya standar kurikulum, serta kontrol negara terhadap kebebasan akademik merupakan bagian dari mekanisme ini. Ditambah lagi dengan kondisi ekonomi yang timpang, di mana akses terhadap pendidikan berkualitas hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang, sementara mayoritas masyarakat dipaksa menerima sistem yang tidak memberikan mereka ruang untuk berkembang secara intelektual.

Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed mengkritik model pendidikan banking system, di mana siswa hanya dianggap sebagai wadah yang harus diisi, bukan sebagai individu yang aktif mengembangkan pemikiran kritisnya. Selama kita tetap menggunakan model ini, kesadaran kritis tidak akan pernah tumbuh, dan masyarakat akan terus menjadi objek yang dikendalikan oleh elite penguasa.

Menolak Kebodohan yang Dilanggengkan: Sebuah Tindakan Radikal untuk Kebebasan Berpikir

Menolak tunduk pada kebodohan yang dilanggengkan berarti mengembalikan kedaulatan berpikir ke tangan individu. Ini bukan sekadar perlawanan terhadap sistem yang gagal, tetapi juga upaya mendasar untuk merebut kembali kesadaran yang telah dirampas. Pendidikan yang membebaskan bukan hanya tentang sekolah yang lebih baik atau kurikulum yang diperbarui, tetapi juga tentang menciptakan budaya yang mendorong nalar kritis, diskusi yang sehat, serta keberanian untuk mempertanyakan otoritas dan narasi dominan.

Filsuf Jerman Immanuel Kant dalam esainya What is Enlightenment? menegaskan bahwa pencerahan adalah keberanian manusia untuk berpikir sendiri tanpa bimbingan orang lain. Konsep ini ia rumuskan dalam satu frasa yang tajam: Sapere Aude! Beranilah berpikir sendiri! Namun, dalam realitas sosial kita, keberanian berpikir ini sering kali ditumpulkan oleh sistem pendidikan yang dogmatis, budaya yang menekan, dan struktur kekuasaan yang tidak menghendaki masyarakat menjadi cerdas.

Karl Popper pernah mengatakan bahwa demokrasi hanya akan bertahan jika masyarakatnya mampu berpikir secara rasional. Jika tidak, maka demokrasi akan berubah menjadi populisme, dan populisme akan melahirkan otoritarianisme. Indonesia saat ini berada dalam persimpangan itu: antara menjadi bangsa yang berpikir atau bangsa yang terus dicambuk di atas kuda mati. Kita bisa melihat gejala ini dalam meningkatnya fanatisme buta, hilangnya diskursus berbasis rasionalitas, serta maraknya politik identitas yang menggantikan perdebatan berbasis gagasan dengan kultus individu.

Solusi: Membangun Kesadaran dan Pendidikan Kritis

Untuk keluar dari lingkaran setan ini, masyarakat harus mulai menyadari bahwa pendidikan bukan sekadar soal sekolah, tetapi juga soal membangun kesadaran kolektif. Pendidikan yang membebaskan, seperti yang dikemukakan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, adalah pendidikan yang mampu membuat individu memahami realitas sosialnya dan melawan struktur yang menindas. Ini berarti, kita tidak bisa hanya berharap pada sistem formal yang telah lama dikendalikan oleh kepentingan politik, tetapi juga harus membangun ruang-ruang alternatif untuk berpikir.

Dalam konteks modern, internet sebenarnya dapat menjadi alat perlawanan yang efektif jika digunakan dengan bijak. Alih-alih hanya menjadi konsumen informasi, masyarakat harus mulai aktif dalam menyaring, menganalisis, dan menyebarkan narasi yang berbasis data dan logika. Selain itu, perlu ada dorongan untuk meningkatkan literasi digital agar masyarakat tidak mudah termakan hoaks dan propaganda. Jika gerakan ini dapat berkembang, maka kita setidaknya bisa mengurangi dampak dari sistem yang selama ini mempertahankan kebodohan sebagai alat kontrol sosial.

Pada akhirnya, perubahan hanya akan terjadi jika ada kesadaran kolektif bahwa kebodohan dan kemiskinan yang terus dipelihara bukanlah takdir, melainkan strategi yang sengaja diciptakan. Dengan membangun pola pikir kritis dan berani mempertanyakan status quo, kita bisa mulai melepaskan diri dari belenggu sistem yang membodohi. Namun, pertanyaannya adalah: apakah kita cukup berani untuk mulai berpikir?

 

Membangun Kesadaran Kritis dari Bawah

Jika kita tidak ingin terjebak dalam siklus kebodohan yang dilanggengkan, maka kita harus mulai membangun kesadaran kritis sejak dini. Tidak hanya dengan memperbaiki sistem pendidikan secara struktural, tetapi juga dengan membangun budaya berpikir mandiri di masyarakat.

Pendidikan sebagai Alat Pembebasan

Pendidikan yang sejati tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga membangun daya nalar dan keberanian untuk mempertanyakan. Sekolah, universitas, dan ruang-ruang belajar alternatif harus menjadi medan bagi diskursus kritis, bukan sekadar tempat untuk menghafal fakta.

Memanfaatkan Teknologi untuk Pencerahan

Di era digital, akses terhadap informasi tidak lagi menjadi monopoli elite. Namun, justru di sinilah bahaya baru muncul: informasi yang berlimpah tanpa kemampuan berpikir kritis hanya akan menghasilkan masyarakat yang mudah dimanipulasi oleh propaganda. Literasi digital harus menjadi bagian dari pendidikan dasar agar masyarakat mampu memilah mana informasi yang valid dan mana yang sekadar manipulasi.

Membangun Komunitas Berbasis Rasionalitas

Budaya berpikir kritis harus ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Diskusi yang sehat, keberanian untuk bertanya, dan kebiasaan membaca harus menjadi bagian dari identitas masyarakat. Ini tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan formal, tetapi juga harus tumbuh di lingkungan sosial, keluarga, dan komunitas.

Perlawanan terhadap Propaganda

Setiap rezim memiliki narasi yang ingin mereka tanamkan untuk mempertahankan legitimasi. Salah satu tugas individu yang berpikir adalah menguji narasi tersebut dengan data, argumen, dan analisis yang objektif. Jangan terjebak dalam politik kebencian atau fanatisme, tetapi juga jangan tunduk pada otoritas tanpa mempertanyakan legitimasi mereka.

Menolak Menjadi Budak dalam Demokrasi yang Semu

Seorang filsuf Italia, Antonio Gramsci, memperingatkan tentang bahaya hegemoni budaya, di mana kekuasaan tidak lagi memerlukan paksaan fisik karena telah berhasil menanamkan nilai-nilai yang membuat masyarakat menerima ketidakadilan sebagai sesuatu yang normal. Dalam kondisi seperti ini, kebodohan bukan lagi sekadar kurangnya pengetahuan, tetapi menjadi alat kontrol yang paling efektif.

Jika kita membiarkan diri kita tunduk pada sistem yang mempertahankan kebodohan, maka kita bukan hanya menjadi korban, tetapi juga pelaku yang ikut melanggengkan perbudakan intelektual. Kita harus sadar bahwa kebebasan berpikir adalah hak yang harus diperjuangkan, bukan sekadar diberikan.

Sapere Aude! Beranilah berpikir sendiri! Hanya dengan cara itulah kita bisa keluar dari perbudakan mental dan membangun masyarakat yang benar-benar merdeka, bukan hanya dalam bentuk, tetapi juga dalam substansi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun