Bertani atau berkebun sejatinya telah menyatu dalam pola hidup setiap orang di kampung. Sehingga berkebun tidak hanya sebagai aktivitas yang mendulang secara ekonomis semata, melainkan juga mengandung nilai sosiologis dan psikologis.
Dari sisi sosiologis, bertani menjadi medium untuk mempererat kebersamaan di antara masyarakat lewat sistem gotong royong dan lain sebagainya.
Atau dengan istilah lainnya yakni bertani merupakan sebuah medium untuk mempertebal kapital kolektivitas masyarakat, hingga menjadikannya sebagai budaya.
Sedangkan secara psikologis, bertani itu sendiri sebagai bagian dari ekspresi manusia sebagai makhluk yang selalu mencari keseimbangan hidup melalui pemuasan hasrat hingga mendatangkan kebahagiaan.
Akan tetapi fakta yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Penampakan baru seperti lahan kosong telah menjadi fenomena yang meresahkan bagi siapapun yang menyaksikannya.
Perlahan-lahan, sebagian besar warga kampung, mulai 'mengalihkan' diri dari paradigma hidup dari bertani menuju pola hidup yang sudah terfragmentasi dengan tawaran kapitalisme modern yang bersifat pragmatis.
Perlahan-lahan orang kampung, mulai berhijrah ke kota-kota untuk 'mencari' pekerjaan yang lebih 'gampang' mendatangkan penghasilan ketimbang 'menyatukan' diri dengan alam lewat berkebun.
Akibatnya, banyak kebun yang terbengkalai, bahkan terlihat menjadi hutan kembali. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena lahan kosong yakni:
Pertama, desakan ekonomi rumah tangga yang semakin kompleks menyebabkan beberapa warga kampung mulai 'minggat' dan ingin menjarah hidup di kota-kota.
Desakan ekonomi yang dimaksud seperti banyaknya tanggungan sekolah dalam keluarga, utang yang banyak, kewajiban adat yang harus dipenuhi dan lain sebagainya yang mana semuanya tidak sebanding dengan pemasukan sehari-hari.