Lalu kabar headline tersebut menjadi konsumsi renyah kaum elite di kantor-kantor ber-AC sambil menghisap rokok dan kopi Italia, kemudian berpura-pura jumpa pers sekedar mengungkapkan orasi 'hiburan' bagi para petani.
Hal ini saya paparkan, sebagaimana saya mendengar sebuah dialog interaktif di RRI, dengan narasumber utama adalah anggota DPR provinsi dan Dinas Pertanian Daerah setempat. Semua narasi yang dibangun sungguh 'takjub' di telinga. Bahkan tak ayal semuanya berisikan nasehat bahkan 'marah-marah' kepada petani misalnya petani itu harus menanam tanaman yang sesuai dengan musim yang terjadi. Bahkan tak ayal melarang petani untuk tidak boleh bekerja dulu hingga hujan berhenti. Sungguh absurd.
Sudah memasuki bulan April dan sementara 'menikmati' hari lebaran dan libur lebaran bagi semua warga Indonesia, namun para petani tak pernah mengenal libur untuk bertahan hidup. Bahkan di samping hasil tani yang tak menentu, berikut kebutuhan-kebutuhan vital rumah tangga terus meningkat. Tidak hanya itu saja, kewajiban akan 'budaya' pun mulai menagih, seperti kumpul-kumpul beras, uang dan persiapan hewan kurban untuk penyelenggaraan sebuah seremoni adat seperti belis atau mahar untuk perkawinan dan lain sebagainya.
Bahkan kewajiban-kewajiban dari Gereja pun terus menerus menuntut pelunasan dari umat. Tak ada kompromitas, sebab semuanya sudah menjadi semacam imperatif atau keniscayaan bagi umat (agama) atau warga (negara).
Sampai di sini, tak ada daya dan upaya lain selain memilih bertahan dan tetap bertahan. Entah sampai kapan? Biarkan alam yang merestuinya.