Mohon tunggu...
Konstantinus Aman
Konstantinus Aman Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis, Petani dan Guru Kampung (PPG)

Pewarta suara minor dari kampung.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Menata Komunikasi Virtual

12 Februari 2020   18:38 Diperbarui: 14 Februari 2020   11:04 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dutawarta.com

Perkembangan teknologi digital dengan segala kompleksitasnya masing-masing telah merambah ke seluruh ranah kehidupan manusia. Hal ini menjadi salah satu bukti berkembangnya peradaban manusia di era kontemporer.

Kita patut mengakui bahwa representasi media sosial sangat memudahkan manusia dalam hal berkomunikasi tanpa mengenal batas.

Setiap orang mampu menciptakan beraneka ragam informasi secara cepat dan efisien, juga dapat membagi atau menukarkan informasi atau berita yang terjadi disini dan kini (hic et nunc) dengan mudah. Informasi dijadikan komoditas yang produktif dan dapat dipertukarkan dan dikonsumsi oleh masyarakat daring (dalam jaringan) tanpa batasan kelas dan hierarki dalam masyarakat.

Kemudahan tersebut membuat media sosial sebagai media yang fleksibel dan instan karena semua informasi yang ada bersifat sementara, mudah datang dan mudah pergi, mudah diingat dan mudah dilupakan.

Namun, perlu diketahui bahwa di dalam ruang digital khususnya media sosial, tidak ada urutan zaman, status sosial serta hierarki nilai. Satu atau banyak sulit diputuskan karena setiap pengguna media sosial bisa memiliki banyak (ribuan) pemirsa. Naiknya hierarki hanya sejauh satu klik saja dan mengandung provokasi.

Mayoritas para pengguna media sosial telah banyak menonjolkan sensasi bukan rasionalisasi. Berbagai macam kreativitas ditampilkan asalkan bersifat sensasional.

Sedangkan sedikit pula dari antaranya yang memanfaatkan media sosial sebagai penyalur ikatan sosial-virtual dan komunitas kerja sama atau dalam istilah Marx yakni sebagai medium kerja sama sosial. Dalam hal ini setiap orang membentuk komponen sistem yang dipersatukan melalui media komunikasi sosial daring.

Revolusi digital yang ditandai dengan maraknya media sosial yang tercipta pada dasarnya bertujuan untuk meraih kebebasan baru.

Namun dalam realitasnya, kebebasan baru ini berhasil menegasikan kendali dan pengawasan moral sebagaimana dalam komunikasi korporeal. Kebebasan yang melambung jauh justru mendorong setiap orang mendapati dirinya sebagai hakim dan tuhan atas yang lainnya.

Salah satu contoh dari praktik kebebasan baru yang menyesatkan tersebut adalah aksi penyebaran berita bohong atau hoaks.

Data Kemenkoinfo mencatat bahwa hingga kini ada sekitar 800.000 situs di Indonesia telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu.

Sebut saja contohnya yakni: hoaks yang dilakukan oleh seorang perempuan yang mengunggah konten di media sosial untuk membohongi publik dengan menulis akan terjadi gempa besar di Pulau Jawa juga yang aktual terjadi yaitu kasus Ratna Sarumpaet yang menyebarkan berita bohong tentang penganiyaan yang menimpa dirinya.

Rentetan penyebaran berita bohong ini menyebabkan peningkatan jumlah konten bermuatan SARA, provokasi hingga ujaran kebencian untuk memicu terciptanya konflik horizontal, sikap oportunisme, persekusi negatif dan populisme yang akut.

Bagi masyarakat yang minus nalar kritis, patologi sosial ini seakan-akan menjadi "teradministrasikan" atau menangkap dari satu dimensi saja yaitu dimensi afirmatif.

Dimensi afirmatif maksudnya adalah masyarakat tak memiliki daya kritis dan cenderung mendukung dan membenarkan sistem dan struktur manipulatif yang ditawarkan melalui media sosial.

Dan jika hal ini tetap terjadi maka media sosial sebagai media komunikasi virtual menjadi ruang yang menciptakan ketimpangan sosial dan defisit moral serta harga diri.

Tawaran Praktis

Lantas bagaimana upaya tegas untuk mengatasi realitas tersebut?

Sejak awal filsuf generasi kedua dari Teori Kritis yaitu Jurgen Habermas telah menawarkan rasionalitas komunikatif sebagai jalan emansipatoris untuk menangkal rasionalitas instrumental yang sifatnnya hegemoni dan homogen.

Realitas hoaks sejatinya merupakan contoh dari tindakan rasionalitas instrumental yang dipraksiskan dalam bentuk komunikasi virtual dengan menggunakan media sosial.

Oleh karena itu untuk menangkal realitas penyimpangan komunikasi (informasi) virtual Rasionalitas Komunikatif menawarkan beberapa klaim utama yakni:

pertama, understandability: kejelasan apa yang akan dikatakan sehingga apa yang dikemukakan dapat dimengerti.

Kedua, truth; mengungkapkan sesuatu yang benar.

Ketiga, sincerity; mengungkapkan diri apa adanya, maksudnya berkata dengan jujur. Keempat, rightness; menyatakan sesuatu sesuai dengan aturan/norma komunikasi.

Ketiga klaim validitas komunikasi tersebut sejatinya dapat dipraksiskan melalui penataan baru komunikasi secara demokratis, yakni:

Pertama; yurisdifikasi interaksi digital; legislasi undang-undang yang makin rinci untuk menata ruang digital.

Kedua; moralisasi ruang; menyusun etika komunikasi digital, di mana setiap partisipan dituntut untuk menaati asas-asas dasar etika, seperti keadilan, kehendak baik, dan respek kepada setiap individu.

Ketiga; solidarisasi jejaring komunitas-komunitas digital untuk melakukan penjegalan secara komprehensif dan terus menerus terhadap hoaks.

Apabila penataan ini dapat diimplementasikan secara konsekuen dan konsisten maka media sosial tetap menjadi media yang cerdas dan konstruktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun