Mohon tunggu...
Amanda Noer Madina
Amanda Noer Madina Mohon Tunggu... Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Saya merupakan Mahasiswa Ocean Engineering yang selalu semangat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan pekerja keras.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Hijau yang Merah: Jejak Tambang Nikel di Laut Biru Raja Ampat

17 Juni 2025   15:15 Diperbarui: 17 Juni 2025   15:13 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jejak tambang nikel di Raja Ampat Sumber: greenpeace.com

Raja Ampat dikenal sebagai salah satu kawasan laut paling kaya di dunia. Dengan lebih dari 1.600 jenis ikan dan 75% dari seluruh spesies karang di bumi, wilayah ini telah lama dijuluki sebagai "surga terakhir" yang menyimpan keanekaragaman hayati laut yang tak ternilai. Keindahan alam bawah lautnya menarik perhatian para penyelam, peneliti, hingga wisatawan dari seluruh dunia. Namun, belakangan ini, Raja Ampat menghadapi ancaman serius yang berpotensi merusak ekosistem laut yang sudah terjaga selama ratusan tahun. Ancaman ini datang dari aktivitas pertambangan nikel yang mulai merambah pulau-pulau kecil di kawasan tersebut. Isu ini mencuat ke permukaan setelah sejumlah organisasi lingkungan, tokoh adat, masyarakat lokal, hingga pemuda Papua menyuarakan penolakan mereka terhadap tambang yang beroperasi di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran. Aktivitas tersebut telah menimbulkan sederet kerusakan lingkungan seperti sedimentasi di pesisir, deforestasi kawasan hutan lindung, hingga runtuhnya kolam limbah tambang yang mencemari perairan. Lumpur merah sisa tambang terbawa aliran air hujan ke laut, menyelimuti karang-karang hidup dan menghambat fotosintesis alga yang menjadi sumber energi utama ekosistem bawah laut. Selain itu, deforestasi di wilayah pesisir memperparah erosi dan mengganggu stabilitas tanah yang selama ini menjadi penyangga alami bagi ekosistem laut.

Di tengah maraknya protes dari berbagai pihak, pemerintah Indonesia akhirnya mengambil tindakan. Pada Juni 2025, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencabut izin empat perusahaan tambang yang dinilai bermasalah, yakni PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Kawei Sejahtera, dan PT Nurham. Meskipun begitu, satu perusahaan tambang yaitu PT Gag Nikel tetap diperbolehkan beroperasi dengan alasan lokasi operasionalnya secara administratif berada di luar batas kawasan Geopark Raja Ampat yang diakui UNESCO. Padahal secara ekologis, perairan di sekitar Gag tetap terhubung langsung dengan sistem laut Raja Ampat secara keseluruhan. Kondisi ini kemudian menimbulkan kritik dari para pemerhati lingkungan yang mempertanyakan konsistensi dan keseriusan pemerintah dalam melindungi kawasan konservasi. Penegasan batas administratif tidak selalu mencerminkan batas ekologis, sehingga celah ini sering dimanfaatkan untuk tetap menjalankan eksploitasi di wilayah sensitif secara legal namun tidak etis.

Aksi penolakan masyarakat Papua Sumber: greenpeace.com
Aksi penolakan masyarakat Papua Sumber: greenpeace.com

Secara hukum, Indonesia sebetulnya telah memiliki regulasi yang cukup kuat untuk melindungi pulau-pulau kecil dari aktivitas ekstraktif. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara tegas melarang aktivitas pertambangan di pulau dengan luas kurang dari 2.000 km, terlebih jika wilayah tersebut merupakan kawasan konservasi atau memiliki nilai ekologis tinggi. Aturan ini diperkuat oleh berbagai kebijakan turunannya, seperti Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan dan keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2024 yang memperjelas larangan tersebut. Namun, dalam praktiknya, pengawasan terhadap implementasi regulasi ini masih sangat lemah. Tumpang tindih kewenangan antara kementerian pusat dan pemerintah daerah, serta kurangnya transparansi dalam proses perizinan, membuka ruang abu-abu yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha tambang. Akibatnya, kawasan seperti Raja Ampat yang seharusnya menjadi contoh keberhasilan konservasi justru berada di ambang degradasi akibat lemahnya tata kelola.

Dampak dari pertambangan ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menghantam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Banyak nelayan mengaku hasil tangkapan mereka menurun drastis karena wilayah pemijahan ikan dan terumbu karang yang menjadi tempat tinggal ikan mengalami kerusakan. Terlebih lagi, perubahan kualitas air laut membuat beberapa jenis ikan pelagis berpindah ke daerah yang lebih dalam, sehingga nelayan tradisional harus melaut lebih jauh dan dengan risiko lebih besar. Sementara itu, sektor pariwisata yang menjadi andalan utama masyarakat Raja Ampat juga terkena imbas. Turis yang sebelumnya datang untuk menikmati keindahan laut dan menyelam di perairan jernih mulai berkurang karena kawasan tersebut tercemar lumpur dan aktivitas industri. Situasi ini menciptakan ironi besar: nikel yang digunakan sebagai bahan baku utama baterai kendaraan listrik---yang sering disebut sebagai solusi "ramah lingkungan"---justru diperoleh dengan merusak salah satu ekosistem laut paling penting di dunia. Maka, pembangunan berlabel "hijau" yang tidak memperhatikan sumber daya alam dan keberlanjutan justru menjadi kontraproduktif.

Melihat kompleksitas masalah ini, pencabutan izin tambang tidak cukup jika tidak disertai dengan langkah strategis yang menyeluruh. Evaluasi terhadap seluruh izin tambang di Raja Ampat harus dilakukan dengan pendekatan ekologis, bukan semata administratif. Setiap perusahaan yang beroperasi di kawasan yang terhubung secara hidrologi dengan Geopark Raja Ampat harus ditinjau ulang. Selain itu, perlu ada kebijakan moratorium terhadap izin tambang baru di kawasan perairan sensitif, terutama yang berada di dekat wilayah konservasi. Pemerintah juga harus memastikan adanya rencana pemulihan lingkungan secara nyata dari perusahaan yang telah menyebabkan kerusakan. Tak kalah penting adalah pelibatan masyarakat adat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Masyarakat lokal yang telah hidup berdampingan dengan laut selama ratusan tahun memiliki kearifan lokal dalam menjaga ekosistem, seperti praktik sasi laut---larangan menangkap ikan dalam periode tertentu untuk menjaga regenerasi populasi ikan. Sayangnya, suara mereka kerap diabaikan saat kebijakan pembangunan berbasis ekstraksi mulai dijalankan.

Selain aspek regulatif dan sosial, pemerintah perlu memberikan dukungan nyata bagi pengembangan alternatif ekonomi yang berkelanjutan. Ekowisata berbasis komunitas, budidaya perikanan yang ramah lingkungan, serta pengembangan produk lokal berbasis hasil laut menjadi peluang besar yang bisa menggantikan ketergantungan pada sektor tambang. Dengan strategi ini, masyarakat tetap dapat memperoleh penghasilan yang layak tanpa harus mengorbankan kelestarian alam. Pemerintah pusat dan daerah juga perlu memperkuat sistem pengawasan wilayah pesisir dengan memanfaatkan teknologi seperti satelit penginderaan jauh, drone, dan pelaporan berbasis masyarakat. Transparansi data izin dan pemantauan aktivitas industri perlu dijadikan standar dalam tata kelola sumber daya alam agar mencegah kembali terulangnya peristiwa seperti di Raja Ampat.

Apa yang terjadi di Raja Ampat seharusnya menjadi pelajaran penting bagi Indonesia dalam menentukan arah pembangunan kelautan ke depan. Pembangunan yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek tanpa mempertimbangkan keberlanjutan akan berujung pada kerugian yang jauh lebih besar di masa depan. Laut bukan hanya ruang ekonomi, tetapi juga ruang hidup dan warisan budaya. Raja Ampat bukan hanya tempat indah di ujung timur Indonesia, melainkan simbol dari tantangan kita dalam menjaga sumber daya alam dengan bijak. Jika kawasan seistimewa ini saja bisa terancam, maka kawasan pesisir lain di Indonesia juga bisa mengalami hal yang sama jika tidak ada tindakan nyata.

Pada akhirnya, menjaga Raja Ampat bukan berarti menolak pembangunan, tetapi justru mendukung pembangunan yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. Pembangunan yang tidak mengorbankan ekosistem, yang tidak menghilangkan ruang hidup masyarakat adat, dan yang tidak merusak sumber daya yang seharusnya diwariskan ke generasi berikutnya. Sudah saatnya kita meletakkan sumber daya kelautan sebagai aset jangka panjang, bukan sebagai komoditas jangka pendek yang habis sekali pakai. Kita bisa mulai dari Raja Ampat---agar "surga terakhir" itu tetap bisa menjadi rumah bagi laut, bagi manusia, dan bagi masa depan bersama.

Namun, untuk benar-benar mengatasi akar masalahnya, pendekatan yang bersifat sektoral harus ditinggalkan. Selama ini, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil cenderung bersifat parsial---Kementerian ESDM mengurusi izin tambang, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengelola konservasi laut, sementara pemerintah daerah sibuk dengan tata ruang dan potensi pendapatan daerah. Ketika masing-masing institusi bekerja dalam silo dan tidak memiliki mekanisme koordinasi yang solid, maka celah regulasi akan selalu dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan. Oleh sebab itu, sudah saatnya pemerintah mendorong terbentuknya tata kelola terpadu lintas sektor yang didasari pada prinsip keberlanjutan dan keadilan ekologi. Hal ini juga selaras dengan pendekatan ekoregion dalam pengelolaan sumber daya alam, di mana batas-batas administratif digantikan dengan batas alami ekosistem sebagai dasar perencanaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun