Mekanisme pengaturan air
Tubuh manusia terdiri dari 70% air yang menyusunnya. Konsentrasi bahan kimia yang terkandung dalam air akan menentukan laju semua konsentrasi reaksi kimia dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, manusia memerlukan setidaknya 2,5 L air untuk dikonsumsi setiap hari. Jumlah air yang dikonsumsi manusia juga berbeda, tergantung pada aktivitas yang dilakukan sehari-hari.
Manusia dapat melakukan variasi strategi saat tidak dapat menemukan cukup air untuk diminum atau jika rasa air tidak enak, maka manusia akan menghemat air dengan mengeluarkan urine yang terkonsentrasi dalam jumlah yang lebih banyak dan tubuh akan mengurangi keringat meskipun tidak terlalu ekstrem. Karena itu sering kali saat suhu ruang dan suhu tubuh dalam keadaan dingin, kita akan lebih sering pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil.
Â
Rasa Haus
Manusia memiliki dua macam rasa haus. Yang pertama adalah rasa haus osmotik yang dikarenakan mengonsumsi makanan-makanan yang asin. Yang kedua adalah rasa haus hipovolemik yang disebabkan oleh hilangnya banyak cairan dalam tubuh karena pendarahan, diare, atau berkeringat.
Rasa haus osmotik yang disebabkan karena mengonsumsi makanan-makanan yang asin terjadi karena saat kita mengonsumsi makanan asin, NaCl yang terkandung dalam makanan asin tersebut mengikat air sehingga kandungan air dalam tubuh berkurang, yang menyebabkan kita membutuhkan air yang benar-benar murni untuk diminum. Lokasi reseptor rasa haus osmotik adalah OVLT, organ subfornikal, dan sistem pencernaan.
Rasa haus hipovolemik disebabkan oleh banyaknya cairan tubuh yang hilang karena pendarahan, diare, atau berkeringat, meski tekanan osmotik dalam tubuh tetap sama, kita tetap memerlukan cairan saat dalam keadaan tersebut. Rasa haus hipovolemik berbeda dengan rasa haus osmotik, karena kita harus mengembalikan garam yang hilang dalam tubuh, bukan hanya air. Karena hal itu lah, rasa haus tersebut disebut dengan rasa haus hipovolemik, yang artinya rasa haus berdasarkan volume rendah. Rasa haus hipovolemik dipicu oleh hormon angiotensin II, yang meningkat ketika tekanan darah dalam tubuh menurun. Lokasi reseptor rasa haus hipovolemik adalah ginjal dan pembuluh darah.
MAKAN
Makan adalah salah satu kebutuhan manusia untuk bertahan hidup yang paling dasar. Pada saat-saat menstruasi, seorang wanita akan lebih menyukai makanan asin, atau siapa pun yang baru saja mengeluarkan banyak keringat akan lebih menyukai makanan atau camilan asin. Hal itu disebabkan oleh rasa lapar spesifik-natrium yang bergantung pada hormon (Schulkin, 1991). Saat cadangan natrium dalam tubuh rendah, kelenjar adrenalin akan menghasilkan aldosteron, hormon yang menyebabkan ginjal, kelenjar air liur, dan kelenjar keringat menahan garam (Verrey dan Beron, 1996). Kehilangan garam natrium dalam tubuh menyebabkan adanya keinginan akan rasa asin.
Sejak dalam kandungan, manusia sudah dapat mengenal rasa pada makanan melalui sang ibu. Hal itu terbukti pada penelitian yang dilakukan pada ibu-ibu yang sedang hamil. Para peneliti tersebut membagi dua kelompok ibu hamil. Pada kelompok pertama, ibu-ibu hamil mengonsumsi makanan yang mengandung bawang putih dan hasilnya ditemukan pada air ketuban yang menjadi rasa bawang putih. Sedangkan pada kelompok ibu-ibu hamil yang tidak mengonsumsi makanan yang mengandung bawang putih, pada air ketubannya tidak terdapat rasa bawang putih. Hal itu lah yang menandakan bahwa sedari dalam kandungan, bayi sudah dapat mengenal rasa.
Bagaimana otak bisa memutuskan bahwa kita membutuhkan makanan dan seberapa banyak makanan yang dikonsumsi? Ada mekanisme dalam tubuh yang mengirimkan sinyal atau instruksi pada otak bahwa kita sedang membutuhkan energi. Dalam lambung kita, terdapat enzim-enzim tertentu, salah satunya enzim ghrelin yang berfungsi untuk mengirimkan sinyal ke otak bahwa kita lapar dan otak mengirimkan sinyal balik ke lambung bahwa lambung kosong dan perlu diisi. Enzim itu juga lah yang mengirimkan sinyal bahwa kita sudah cukup kenyang sehingga kita bisa berhenti untuk makan.
Energi yang masuk dalam tubuh terbentuk dalam 3 jenis. Yang pertama adalah lipid (lemak), asam amino (hasil penguraian dari protein), dan glukosa (hasil dari penguraian karbohidrat kompleks menjadi zat tepung dan gula). Cadangan energi dalam tubuh juga disimpan dalam tiga bentuk yaitu, lemak, glikogen, dan protein. Kebanyakan cadangan energi dalam tubuh disimpan dalam bentuk lemak karena tiap 1 gram lemak sama dengan dua kali lipat energi yang tersimpan di glikogen. Glikogen menarik dan mengandung air, jika seluruh kalori lemak tersimpan dalam glikogen, berat badan kita kemungkinan akan mencapai 275 Kg.
Metabolisme energi memiliki tiga fase. Fase pertama adalah fase sefalik (cephalic phase) yang merupakan fase persiapan. Sering dimulai dengan melihat, mencium bau, atau memikirkan makanan. Fase kedua, fase absorptif (absorptive phase) adalah fase penyerapan energi dari makanan melalui aliran darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Yang ketiga yaitu fase puasa (fasting phase), energi yang tidak tersimpan dari makanan sebelumnya telah digunakan tubuh dan tubuh sedang menarik energi cadangannya untuk memenuhi kebutuhannya. Fase puasa biasanya ditandai dengan kadar glukagon darah tinggi dan insulin rendah. Hal itu berfungsi untuk meningkatkan pelepasan asam lemak bebas (free fatty acid) dari jaringan adipose (jaringan lemak) dan juga untuk menstimulasi konversi asam lemak bebas menjadi ketones yang nantinya akan digunakan otot sebagai sumber energi selama fase puasa.
Aliran energi ketiga fase tersebut dikontrol oleh dua hormon pankreas yaitu, insulin dan glukolagon. Selama fase dan absorptif, pankreas melepaskan sejumlah besar insulin dan sedikit glukolagon. Karena tanpa kadar insulin yang tinggi, glukolagon akan kesulitan untuk memasuki sel tubuh. Hal itu juga untuk meningkatkan konversi glikogen dan protein menjadi glukosa (glukogenesis). Tugas insulin adalah meningkatkan penggunaan glukosa sebagai sumber energi primer tubuh, meningkatkan konversi bahan-bahan bakar yang dibawa oleh darah menjadi bentuk-bentuk yang dapat disimpan dari glukosa menjadi glikogen dan lemak, dan asam amino menjadi protein. Dan juga untuk meningkatkan penyimpanan glikogen di hati dan otot, lemak di jaringan lemak, dan protein di otot. Selama penambahan berat badan yang cepat, sering kali adalah hasil lompatan dari fase absorptif ke fase sefalik tanpa melewati fase puasa.
REFERENSI
Kalat., J.W. [2020]. Biopsikologi. Jakarta: Salemba Humanika
Pinel, J. P. J., & Barnes, S. (2017). Biopsychology (10th ed.). Pearson.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI