"We are not meant to be constantly productive. Rest is not a reward, it's a right." - The Nap Ministry
"Kerja keras tidak akan mengkhianati hasil." Kita dibesarkan dengan kalimat ini, seolah sukses hanya milik mereka yang paling lelah. Namun di balik semangat itu, tersembunyi realitas yang jauh dari ideal: kelelahan fisik, stres berkepanjangan, kesehatan mental yang memburuk. Di era sekarang, kerja keras sering kali justru mengkhianati tubuh dan jiwa kita.
Fenomena hustle culture, budaya yang memuja kesibukan dan produktivitas tanpa henti telah menjadi identitas generasi muda. Di media sosial, kita disuguhi cerita orang-orang yang bangga tidur hanya tiga jam demi ambisi. Jadwal padat dan aktivitas beruntun dijadikan simbol keberhasilan. Padahal, apa yang tidak terlihat dari unggahan itu adalah tubuh yang kelelahan, pikiran yang cemas, dan relasi sosial yang terbengkalai.
Budaya ini tidak hanya terjadi di dunia kerja profesional. Di lingkungan kampus pun, mahasiswa berlomba menjadi "superstudent": aktif di organisasi, magang, freelance, kursus daring, dan tetap menjaga nilai akademik. Aktivitas yang seharusnya membangun potensi malah berubah jadi beban yang menggerogoti energi dan kesehatan. Saya mengalaminya sendiri. Sebagai mahasiswa dan pekerja lepas, saya pernah menjalani hari tanpa jeda: kuliah pagi, bekerja siang, rapat organisasi malam. Awalnya terasa membanggakan, tapi lama-lama tubuh saya memberontak. Sulit tidur, mudah emosi, dan akhirnya jatuh sakit. Ironisnya, saya merasa bersalah karena "tidak produktif."
Budaya overwork ini bukan hanya isu pribadi, ia sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat. Menurut laporan WHO dan International Labour Organization (ILO) tahun 2021, lebih dari 745.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit jantung dan stroke yang berkaitan dengan jam kerja panjang (lebih dari 55 jam per minggu). Ini bukan angka kecil. Ini bukti bahwa kerja keras yang berlebihan dapat membunuh secara harfiah.
Masalahnya, banyak orang masih percaya bahwa semakin lama seseorang bekerja, semakin tinggi produktivitasnya. Padahal, studi Stanford University (Pencavel, 2014) menunjukkan bahwa produktivitas mulai menurun drastis setelah 50 jam kerja per minggu, dan hampir tidak ada manfaat setelah 70 jam. Dengan kata lain, kerja lebih lama bukan berarti kerja lebih baik.
Di sisi lain, tekanan untuk selalu sibuk juga datang dari narasi-narasi motivasional yang keliru: "Kamu gagal karena kurang usaha," atau "Kalau dia bisa, kenapa kamu tidak?" Kalimat-kalimat seperti ini menutupi kenyataan bahwa setiap orang punya konteks yang berbeda mulai dari kondisi kesehatan, akses sumber daya, hingga beban keluarga. Sukses bukan hasil dari kerja keras semata, tetapi juga dari sistem yang mendukung, keberuntungan, dan kesempatan.
Dalam bukunya Can't Even: How Millennials Became the Burnout Generation, Anne Helen Petersen menjelaskan bahwa generasi milenial dan Gen Z dibesarkan dalam sistem yang mengukur nilai diri dari produktivitas. Istirahat menjadi sesuatu yang harus "ditebus" dengan kerja keras, bukan bagian dari hidup yang setara pentingnya. Akibatnya, banyak orang merasa bersalah jika mengambil jeda.
Padahal, istirahat bukan tanda kemalasan. Ia adalah hak dasar manusia. Beberapa negara bahkan sudah mulai berbenah. Islandia, misalnya, berhasil melakukan uji coba sistem kerja empat hari seminggu pada 2.500 pegawai dari 2015 hingga 2019. Hasilnya menunjukkan peningkatan produktivitas dan kesejahteraan pekerja. (Autonomy, 2021)