Mohon tunggu...
Amalia Mumtaz Nabila
Amalia Mumtaz Nabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pop-culture entusiast who loves to write what's on her mind.

obrolanku yang lainnya: kunciperak.wordpress.com ll email: amaliamtznbl@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Ketika Idealisme Terbentur Birokrasi dalam Film "Samjin Company English Class"

30 Maret 2021   17:10 Diperbarui: 2 April 2021   00:23 1419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Samjin Company English Class yang dibintangi Go Ahsung, Esom, dan Park Hyesoo.| Sumber: Lotte Entertaiment via Asianwiki

Sinopsis

Samjin Company English Class (judul literal: Samjin Group English TOEIC Class) merupakan film Korea Selatan hasil arahan sutradara Lee Jongpil dan diproduksi oleh Lotte Entertainment ini dirilis pada tanggal 21 Oktober 2020. Film berlatar 1995 ini bercerita tentang tiga karyawan wanita yang bekerja di Perusahaan Samjin.

Lee Jayoung (Go Ahsung), Jung Yoona (Esom), dan Shim Boram (Park Hyesoo) merupakan tenaga pekerja upah rendah yang sudah mendedikasikan hidup mereka kepada Perusahaan Samjin selama delapan tahun. 

Meskipun diupah rendah, mereka memiliki keterampilan serta kemampuan yang tidak kalah baik dari para karyawan yang memiliki posisi lebih tinggi dari mereka. Bahkan beberapa kali ditunjukkan mereka memiliki kemampuan yang lebih baik dari karyawan di posisi yang lebih tinggi.

Lee Jayoung yang cekatan dan melek teknologi berada di tim manajemen produksi. Jung Yoona yang bekerja di bagian marketing memiliki segudang ide pemasaran yang brilian. Shim Boram yang jago matematika merupakan andalan di tim akuntan yang kecil. 

Poster film Samjin Company English Class (sumber: Lotte Entertainment via gold poster)
Poster film Samjin Company English Class (sumber: Lotte Entertainment via gold poster)

Sayangnya, keahlian dan kecerdasan mereka dianggap sebelah mata karena status mereka yang merupakan tenaga pekerja upah rendah.

Lee Jayoung tidak diberikan kredit atas usaha selama membantu pekerjaan rekan kerja satu timnya, Cho Hyunchul. Ide marketing Jung Yoona dicuri oleh Choi Sooim, salah satu karyawan di tim marketing. 

Bahkan, kejeniusan Shim Boram dalam berhitung juga tidak mampu menaikkan status sosial wanita itu di dalam perusahaan. Meskipun sadar atas ketidakadilan yang terjadi pada mereka, mereka tidak punya pilihan karena harus mencari uang untuk bertahan hidup.

Mimpi mereka untuk naik pangkat akhirnya melihat setitik cahaya terang ketika perusahaan tempat mereka bekerja membuka lowongan promosi bagi siapa saja pegawai yang memiliki nilai TOEIC di atas 600. 

Suatu hari Perusahaan Samjin membuat pengumuman bahwa pegawai yang memiliki kemampuan TOEIC lebih dari 600 maka akan dinaikkan posisinya menjadi asisten manager. 

Go Ahsung (Lee Jayoung), Esom (Jung Yoona), dan Park Hyesoo (Shim Boram) dalam film Samjin Company English Club. (sumber: Lotte Entertainment/tangkapan layar pribadi)
Go Ahsung (Lee Jayoung), Esom (Jung Yoona), dan Park Hyesoo (Shim Boram) dalam film Samjin Company English Club. (sumber: Lotte Entertainment/tangkapan layar pribadi)

Jayoung, Yoona, dan Boram tanpa berpikir panjang mengambil kesempatan tersebut. Mereka bersama dengan para wanita tenaga kerja berupah rendah mengambil kelas bahasa Inggris yang difasilitasi oleh Perusahaan Samjin. 

Rencana mereka adalah belajar bahasa Inggris dengan giat, mengambil tes TOEIC, kemudian pergi ke luar negeri untuk hidup yang lebih baik.

Sayangnya, jalan tidak semulus apa yang direncanakan. Masalah muncul ketika Lee Jayoung mendapat tugas untuk mengunjungi salah satu pabrik milik Perusahaan Samjin. 

Saat melakukan kontrol, Jayoung menemukan fakta mengejutkan. Pabrik tersebut melakukan pelanggaran dalam proses pembuangan limbah. Mulai hari itu, Jayoung, Sooim, dan Boram harus menghadapi kecacatan birokrasi perusahaan yang sudah lama menjadi tempat kerja mereka.

Historis dan Feminisme yang Berkesinambungan

Para wanita tenaga kerja berupah rendah yang juga murid kelas bahasa Inggris Samjin (sumber: Lotte Entertainment/tangkapan layar pribadi)
Para wanita tenaga kerja berupah rendah yang juga murid kelas bahasa Inggris Samjin (sumber: Lotte Entertainment/tangkapan layar pribadi)

Saya suka dengan bagaimana sisi feminisme dalam film ini dibungkus dengan rapi dan tidak terlalu "bold". Bukan berarti menonjolkan feminisme dalam sebuah film itu tidak bagus, tetapi dengan menunjukkan dengan cara yang lebih tipis, publik yang masih awam dengan obrolan soal feminisme akan lebih mudah untuk relate.

Salah satu contoh ketidakseimbangan yang mereka alami adalah status kepegawaian mereka. Ketiga wanita itu menyandang status tenaga kerja berupah rendah selama delapan tahun. 

Padahal beberapa kali diperlihatkan mereka memiliki kemampuan serta pengetahuan yang menurut saya lebih baik daripada staf reguler yang memiliki gaji jauh lebih tinggi dibandingkan tenaga kerja berupah rendah ini.

Kalau memang permasalahannya adalah gaji dan skill yang tidak sebanding, lalu kenapa dikaitkan dengan feminisme? 

Karena dalam film ini, khususnya dalam Perusahaan Samjin, tenaga kerja yang diupah rendah adalah para pekerja wanita. Seperti apa yang diungkapkan oleh tokoh Sooim, wanita pada awal abad ke-20 meninggalkan dapur mereka untuk bekerja di pabrik tekstil. 

Tetapi dasar apa yang membuat tiba-tiba wanita direkrut untuk bekerja? Karena wanita bisa diupah dengan murah.

Film ini juga memiliki latar belakang sejarah yang cukup nyata. Saya mengapresiasi bagaimana kondisi perekonomian di Korea Selatan yang terjadi di tahun 1995 menjadi latar belakang film ini. 

Perekonomian yang berkembang dengan pesat dan dimulainya era globalisasi di Korea Selatan menjadi faktor kenapa kelas bahasa Inggris menjadi laris pada saat itu. 

Hal itu pula yang merupakan dasar cerita dari film ini. Kelas bahasa Inggris yang awalnya saya kira hanya menjadi pengantar di film, ternyata punya pengaruh dan menjadi solusi dari permasalahan yang sedang dialami oleh tokoh.

Pesan yang Kita Semua Bisa Rasakan

Boram, Yoona, dan Jayoung yang sedang membicarakan bukti temuan mereka atas pelanggaran pembuangan limbah pabrik. (sumber: Lotte Entertainment/tangkapan layar pribadi)
Boram, Yoona, dan Jayoung yang sedang membicarakan bukti temuan mereka atas pelanggaran pembuangan limbah pabrik. (sumber: Lotte Entertainment/tangkapan layar pribadi)

Di luar dari sisi feminisme, pesan yang sebenarnya ingin disampaikan oleh film ini mungkin bisa dirasakan oleh semua orang. Kembali lagi kepada permasalahan pokok yang dialami oleh tokoh-tokoh utama, yaitu terungkapnya pelanggaran dalam proses pembuangan limbah oleh suatu pabrik di bawah perusahaan tempat mereka bekerja. 

Mereka harus dihadapi dengan fakta bahwa orang-orang yang memiliki jabatan lebih tinggi dari mereka mencoba untuk menutupi hal tersebut.

Jayoung merupakan saksi saat proses pembuangan limbah itu terjadi. Dilema datang ketika ia mengetahui bahwa ternyata Perusahaan Samjin mencoba untuk memalsukan hasil tes lab dari sumber air di desa sekitar pabrik. Ia tidak tahu harus melakukan apa karena ia tidak punya kuasa di dalam perusahaan, Lee Jayoung hanyalah tenaga kerja berupah rendah. 

Di samping itu, dia tahu sendiri apa yang sudah dilakukan oleh limbah-limbah buangan beracun itu ke desa sekitar, ia bahkan tahu kalau limbah tersebut bisa berakibat kematian bagi makhluk hidup yang mengonsumsinya.

Dilema yang dialami Jayoung mungkin pernah kita rasakan dalam kehidupan kita sendiri. Yah, mungkin tidak sebesar kasus Jayoung, tapi setidaknya mungkin pernah ada yang mengalami hal serupa. 

Kebingungan kala mengetahui kecurangan yang dilakukan perusahaan tempat kita bekerja, bos, atau bahkan mungkin sebatas guru di sekolah. Sebagai bawahan yang tidak memiliki kuasa, kita tidak tahu harus berlaku apa. Sebagai manusia yang memiliki hati nurani, rasanya ada yang menggelitik kalau kita tidak mengambil tindakan.

Sejujurnya, apa yang dirasakan Jayoung ini adalah ketakutan terbesar saya ketika memasuki dunia kerja. Bagaimana jika nanti saya berada di posisi Jayoung? Apa yang harus saya lakukan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang belum saya temukan jawabannya hingga saat ini.

Beberapa Kelamahan

Jayoung, Yoona, dan Boram sedang membaca hasil tes lab. (sumber: Lotte Entertainment/tangkapan layar pribadi)
Jayoung, Yoona, dan Boram sedang membaca hasil tes lab. (sumber: Lotte Entertainment/tangkapan layar pribadi)

Sebenarnya saya cukup menyukai film ini dan hanya ada beberapa keganjalan saja yang saya rasakan. Yang pertama adalah menurut saya judul film kurang bisa menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi dalam film ini. 

Meskipun seperti yang saya bilang tadi bahwa Kelas Bahasa Inggris Samjin memiliki pengaruh di dalam cerita, tetapi saya rasa akan lebih menarik minat jika judul yang dipakai berhubungan dengan permasalahan utama.

Selain itu, film ini memiliki cukup banyak tokoh. Tokoh-tokoh memiliki keterkaitan satu sama lain atapun dengan cerita, tetapi untuk orang seperti saya yang payah dalam menghapalkan tokoh, beberapa kali saya cukup dibuat kebingungan. Penilaian yang satu ini mungkin sekadar preferensi pribadi.

Film slice of life yang membawa pesan cukup kuat ini saya rekomendasikan untuk ditonton. Banyak nilai-nilai yang "hit close to home". Setidaknya bagi saya seorang perempuan dan juga mahasiswa yang sebentar lagi turun ke dunia kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun