Mohon tunggu...
Amalia DheaFadila
Amalia DheaFadila Mohon Tunggu... Mahasiswa

Suka baca buku, hunting makanan dan review film

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perbedaan Respons Negara Indonesia dan China terhadap Kebijakan Tarif Era Trump

8 April 2025   11:50 Diperbarui: 8 April 2025   11:50 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada tahun 2025, dunia kembali dikejutkan oleh langkah politik dan ekonomi kontroversial dari Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump. Baru saja dilantik kembali sebagai Presiden setelah memenangkan pemilu 2024, Trump segera mengumumkan serangkaian kebijakan proteksionis baru. Salah satu yang paling menonjol adalah kenaikan tarif impor terhadap berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia dan China. Kenaikan tarif ini diklaim sebagai upaya untuk melindungi industri domestik Amerika Serikat dan memperbaiki neraca perdagangan, namun di sisi lain, langkah tersebut justru menciptakan kegelisahan global dan ancaman resesi di berbagai belahan dunia.

Indonesia dan China, dua negara berkembang dengan hubungan perdagangan yang signifikan dengan Amerika Serikat, menunjukkan respons yang sangat berbeda dalam menghadapi kebijakan tersebut. Masing-masing negara menempuh jalur yang sesuai dengan kondisi ekonomi, politik, dan strategi hubungan internasionalnya. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia mengambil langkah diplomatik dan negosiasi, sementara China memilih untuk melakukan retaliasi secara langsung dan agresif. Kedua pendekatan ini menggambarkan bagaimana negara-negara berkembang merespons tekanan global dengan cara yang menurut mereka strategis.

Ketika Trump mengumumkan kenaikan tarif hingga 32% untuk berbagai produk ekspor dari negara-negara berkembang, Indonesia langsung masuk dalam daftar negara terdampak. Produk-produk unggulan Indonesia seperti tekstil, alas kaki, produk pertanian, dan elektronik terkena dampak signifikan. Dalam laporan dari INDEF yang dirilis pada awal Maret 2025, disebutkan bahwa kebijakan tarif baru Trump diperkirakan akan menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,05 persen dan menyebabkan penurunan ekspor hingga 2,83 persen. Data ini menunjukkan bahwa tekanan dari kebijakan AS terhadap ekonomi domestik Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Bahkan sebelum efek penuh dirasakan, sentimen negatif sudah terlihat di pasar modal dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Namun alih-alih menanggapi dengan kemarahan atau kebijakan balasan, Presiden Prabowo menekankan pentingnya menjaga hubungan bilateral yang sehat dan seimbang dengan Amerika Serikat. Dalam beberapa pernyataan publik, Prabowo menyatakan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada perdagangan yang adil dan saling menguntungkan. Pemerintah kemudian mengambil langkah proaktif dengan mengirimkan delegasi perdagangan dan diplomasi ke Washington, D.C., untuk membuka jalur negosiasi.

Delegasi Indonesia menawarkan skema kerja sama yang memungkinkan peningkatan impor dari Amerika Serikat sebagai bentuk goodwill. Produk-produk seperti kapas, gandum, jagung, serta minyak dan gas bumi menjadi komoditas yang ditawarkan untuk dibeli oleh Indonesia dalam jumlah lebih besar, dengan harapan AS akan menurunkan atau bahkan menghapus tarif tambahan pada produk-produk ekspor Indonesia. Pemerintah juga membuka ruang untuk pembicaraan soal relaksasi hambatan non-tarif serta perjanjian dagang bilateral yang lebih longgar dan inklusif.

Langkah ini tentu saja menuai beragam tanggapan di dalam negeri. Sebagian pihak menilai strategi negosiasi sebagai bentuk kelemahan dan terlalu kompromistis. Namun, di sisi lain, banyak analis memuji pendekatan ini sebagai langkah cerdas dan realistis, mengingat posisi Indonesia sebagai negara berkembang yang sangat bergantung pada kestabilan ekspor dan investasi asing. Selain itu, Indonesia juga sedang berada dalam tahap pemulihan ekonomi pasca pandemi dan tahun politik, sehingga menjaga kestabilan ekonomi menjadi prioritas utama.

Sementara Indonesia memilih pendekatan damai dan diplomatis, China mengambil langkah yang sangat berbeda. Pemerintah Tiongkok segera menanggapi kebijakan tarif Trump dengan tindakan balasan. Beijing menerapkan tarif tambahan sebesar 34% terhadap sejumlah barang impor dari AS dan menempatkan beberapa perusahaan Amerika ke dalam daftar hitam. Langkah-langkah ini menandai kembalinya ketegangan dagang yang sempat reda pada masa pemerintahan sebelumnya.

Tidak hanya itu, China juga mempercepat langkah diversifikasi pasar ekspor. Pemerintah memperkuat hubungan dagang dengan negara-negara anggota BRICS dan ASEAN, serta memperluas kerja sama ekonomi dengan Uni Eropa dan negara-negara Afrika. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada pasar Amerika dan menciptakan ekosistem perdagangan alternatif yang lebih berimbang. Di sisi domestik, China juga menggenjot konsumsi dalam negeri serta mempromosikan industri strategis seperti kendaraan listrik, teknologi AI, dan pertanian modern sebagai bentuk penguatan ekonomi internal.

Perbedaan pendekatan antara Indonesia dan China tidak hanya mencerminkan kapasitas ekonomi masing-masing negara, tetapi juga strategi geopolitik yang dianut. China sebagai kekuatan ekonomi global merasa memiliki kapasitas untuk berhadapan langsung dengan AS, baik secara ekonomi maupun diplomatik. Sebaliknya, Indonesia melihat pentingnya meredam konflik dan fokus pada stabilitas dalam negeri sambil tetap menjaga hubungan dagang yang produktif.

Meski begitu, respons Indonesia tidak berhenti pada jalur diplomasi semata. Pemerintah juga mengupayakan diversifikasi pasar ekspor, terutama ke negara-negara Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin. Langkah ini juga didukung oleh penguatan kerja sama dalam kerangka ASEAN dan keikutsertaan aktif dalam forum-forum dagang seperti CPTPP dan RCEP. Selain itu, pelaku industri diimbau untuk mengembangkan produk dengan nilai tambah tinggi serta tidak tergantung pada bahan baku dan pasar AS. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian memberikan dukungan berupa insentif ekspor dan pelatihan peningkatan daya saing produk dalam negeri.

Kebijakan yang diambil Indonesia di bawah Prabowo juga menuai apresiasi dari berbagai pihak internasional. Dalam wawancara dengan media Reuters, sejumlah pejabat di AS menyatakan bahwa Indonesia telah menunjukkan kedewasaan diplomasi yang konstruktif. Pendekatan ini diharapkan bisa menjadi contoh bagi negara-negara berkembang lain dalam merespons tekanan global tanpa harus menambah ketegangan geopolitik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun