Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tawuran, Siapa Pemenangnya?

5 November 2022   09:15 Diperbarui: 5 November 2022   09:28 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dok. Polres Metro Jakarta Barat/KOMPAS.COM)

Pernahkah anda mengetahui dari pemberitaan  media massa cetak/elektronika, tawuran antar remaja atau warga, dari pihak mana  dinyatakan pemenangnya dan apa hadiah atau pialanya? Takada seorang reporterpun bersedia untuk memberitakannya, karena tahu resikonya bisa-bisa menjadi sasaran dari salah stau kelompok tawuran itu. Saya pun yang sejak 1951 hingga kini  'pensiunan' wartawan, tidak pernah berani memberitakan siapa pemenang atau yang kalah dari kejadian demikian. 

Selain takpeduli pada kejadiannya, juga  karena menganggap sebagai "tingkahlaku tidak dewasa" dan "liar". Maklum, saya sudah mengalami ikut-ikutan menjadi kelompok anak-anak ejak masih bersekolah di HIS (Hollands-Inlandsche School) jaman penjajahan Hindia Belanda dulu di Surabaya,  melawan kelompok anak-anak-remaja Indo-belanda (Hollands-Indische jongens) yang kami anggap bersikap sombong dan semena-mena. Sudah jelas siapa yang jadi "lawannya". 

Ada yang menandai, sikap melawan remaja Indo-belanda itu sebagai benih perlawanan anak-anak Indonesia untuk merdeka. Benar atau tidaknya, begitulah tawuran-tawuran demikian saat itu kemudian  dikaitkan dengan omongan-politik.  Yang pasti, arena tawuran ialah dijalanan pemukiman orang-orang Belanda, sehingga kalau ada teriakan "Polisi. Polisi!" dan suara sepedamotor merk Harley-Davidson, Norton atau  lainnya, anak-anak Indonesia berhamburan kabur masuk perkampungan. Tinggal batu-batu berserakan dijalanan. Persenjataan sewaktu tawuran. Kelompok tawuran, anak-anak Indobelanda itu tak perlu lari, karena tidak diusik-usik dua-tiga   polisi yang datang cuma dua atau tiga orang. Begitulah beberapakali terjadi yang saya alami sekitar tahun 1935-1942.

Sedihnya, pada era NKRI sekarang, yang punya slogan mentereng "Pemuda Harapan Bangsa", ternyata sikap "liar" demikian masih membudaya. Yang jelas, lawan pertarungannya sesama bangsa. Tak jarang  sesama tetangga pemukiman/ perkampungan. Penyebabnya beranekaragam. Urusan pribadi, rebutan cewek, merasa terganggu atau rasa iri. Meski terjadi "pertarungan dalam bentuk tawuran" antar tetangga dan sebangsa-setanahair, menggunakan senjata pemukul dan tajam lebih canggih dan mematikan,  namun kalau disuruh berslogan juga masih tetap "Pemuda Harapan Bangsa".

Seharusnya, pertarungan lewat tawuran itu dimasa kita bernegara sendiri sudah tidak ada. Sudah benar bisa menjadi urusan hukum dan tugas Kepolisian untuk menanganinya. Bukan hanya akan berdampak serius, lebih luas lagi ialah perpecahan kesatuan suku dan bangsa. Selain membuat miris, sering merugikan kepentingan/milik warga lain yang tidak ikut-ikutan. Juga menunjukkan masih "primitifnya" budaya berbangsa/bernegara kita. Cobalah kita telisik kembali peristiwa-peristiwa persengketaan antar desa/kampung sampaipun "perang-warga/suku".  

Paling sering adalah sengketa anak-anak remaja dari dua kawasan pemukiman ataupun sering urusan batas desa/kampung yang saling tumpang-tindih. Warga masing-masingnya  cuma percaya kata orang-tua-tua/kepala suku/kepala desa masing-masing mengenai  batas desa/kampung mereka. Tidak ada bukti tercatat yang bisa disahkan hukum dalam negara maju ini. Begitulah warga satu desa/kampung bisa berlawanan kepentingan hak-ulayat dengan warga desa/kampung tetangganya. Begitu awal sengketa yang bisa menumbuhkan tawuran berdarah. Penyelesaian pun apa kata pimpinan masing-masing  kelompok desa/suku usai mengalami/menyadari kerugiannya.

Di komunitas perkotaan, sikap dianggap menyombongi komunitas lain tetangganya, atau urusan cewek yang diincar lelaki dari suatu komunitas, tingkahlaku sembrono seperti suara knalpot sepedomotornya diumbar seenaknya dan tetekbengek lainnya  bisa jadi pemicu tawuran. Semestinya segala sesuatu itu bisa dibuat jelas dulu dan pendekatan sosial, sehingga tak sampai meledak jadi pertikaian. Jadi, ketika Kepolisian diberi wewenang untuk meredakan dan mengambil tindakan hukum di negara-hukum kita, itu adalah sudah benar. Masalahnya, tawuran para remaja sekarang bukan cuma bersenjatakan batu, tetapi meningkat bersenjata tajam, parang, clurit besar, anak-panah khusus (senjata tajam lempar khas Makassar) dan apapun yang bisa mencederai/menewaskan lawannya.

Kalau akhir bulan lalu Pengadilan Negeri di  Bekasi mempidana beberapa tahun pada remaja yang membunuh lawannya dalam tawuran, menjadikan orangtua terpidana membuat gaduh memprotes: mengapa 20 kawan tawuran anaknya itu tidak diadili.  Kasus yang sebaiknya direnungkan. Bagaimana perasaan keluarga sikorban? Para pelaku itu remaja, bukan lagi anak-anak. Kenyataan para orangtua  terpidana maupun korbannya tidak berhasil membina mental anak-anaknya agar tidak tawuran, apalagi sampai membunuh. Tak juga mempankah petuah, harapan, slogan, khotbah yang muluk-muluk mampu mencegah sikap saling membenci, tawuran dan membunuh Jadi pemenangnya justru setan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun