Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kabupaten Terjepit yang Mau Hebat

9 Februari 2021   12:32 Diperbarui: 9 Februari 2021   12:47 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reog Ponorogo (KOMPAS.COM/ANTARA FOTO/FIKRI YUSUF)

Karena ada tekad menggebu-gebu dari kepala daerahnya yang baru dan saya ingin pembuktiannya, maka artikel singkat ini saya tulis. Urusannya adalah Kabupaten Ponorogo, kira-kira 200 km barat daya dari ibu kota Jawa Timur, Surabaya. Kepala Daerahnya yang baru, Bupati Sugiri Sancoko (mantan anggota DPRD Jatim) mengawali tekadnya guna memajukan masalah sosial-ekonomi daerahnya berslogan "Ponorogo Hebat". Kalau sosial-ekonomi yang mau dimajukan, tentu harus memperhitungkan kondisinya di tanah air dan dunia yang kini dilanda pandemi covid-19. Lalu mengamati kondisi, potensi apa yang dipunyai daerahnya dan sektor mana fokus paling menjadi sasaran dimajukannya.

    Ditinjau dari geografisnya, Ponorogo (1371,70 km2) berada dalam 'jepitan' beberapa kabupaten yang berada dijalur utama (jalan lama/tol) Solo-Surabaya. Dulu, semasa masih ada  Karesidenan Madiun yang meliputi kabupaten-kabupaten Madiun, Ngawi, Magetan (di utara dan barat), Pacitan (selatan) dan Trenggalek (timur, masuk karesidenan Kediri), Ponorogo berada ditengah-tengah. Namun bagi pihak luar, penduduknya sejumlah 885,281 juta jiwa itu kebeken berkat budayanya: Tari Reog Ponorogo. Kiranya anda sudah tahu apa bentuknya. Juga ada pelopor lembaga pendidikan Islam modern: Pondok Modern Gontor. Karenanya dulu berslogan "Kota Santri dan Budaya".

     Dari kepariwisataannya, dirancang pengembangan obyek-obyek utama seperti Makam Bathoro Katong, Taman Wisata Tegalsari dan Telaga Ngebel (30 km dari kota) dilereng Gunung Wilis. Juga beberapa air terjun, hutan wisata  dan lain-lain.    

     Yang memungkinkan dikembangkannya potensi menuju "Hebat" itu, karena tidak disangka Ponorogo yang terjepit tersebut bermodal besar disektor perkebunan dan pertanian. Antara lain produk kakao, tebu, kelapa, cengkih, jambu mete dan kayu-putih (milik Perhutani). Industrinya adalah pembuatan seng, perusahaan makanan jenang berikut yang dilokasi sentra-industri sedang dan kecil. Tak salah, pendapatannya tercatat di APBD Kabupaten sebesar Rp. 2,439,280 milyar atau mendekati Rp.2,5 trilyun. Pendapatan daerah tertinggi dibandingkan kabupaten-kabupaten sekitarnya. Namun satu kabupaten berjarak cuma beberapa puluh kilometer saja dari kota Ponorgo adalah kota Madiun. Ibu kota Pemerintah Kabupaten maupun Pemerintah Kota. Meskipun lokasi Ponorogo seolah "dibelakang" Madiun (ditinjau dari jalan raya Surabaya-Solo), namun pendapatannya lebih tinggi. Tentu dapat memicu "persaingan" dalam relasi pemerintahan. Salah satu unsur pertimbangan yang  mendorong dan memperhitungkan dalam upaya menjadikan "Ponorogo Hebat". Terutama melaksanakan pemerintahan yang maju dan bersih.

    Apabila ditelusuri asal terbentuknya Ponorogo memang unik. Yakni berdasar musyawarah para pemuka masyarakat yang semula bertengkar. Bukti adanya sifat kebersamaan rakyatnya untuk maju dan memilih tokoh yang berwibawa jadi pimpinan.

    Kisahnya, suatu saat Raden Katong mendatangi dataran rendah yang dikelilingi pegunungan dan hutan. Kedatangannya bagi beberapa tokoh dan pengikutnya yang sudah ada didaerah itu menjadi bahan pertikaian. Terutama Katong berniat mendirikan kawasan pemukiman. Namun kewibawaan pribadi dan kebijakannya sehingga dapat dicapainya kesepakatan dengan tiga tokoh masyarakat, Kiai Mirah, Seloaji dan Jayadipa. Mereka bersepakat  bersama-sama mendirikan perkampungan dinamai "Pramana Raga".  Disingkat Panaraga lalu menjadi "Ponorogo". Prosesnya berlangsung pada tahun 1482-1486 dan pembangunannya selesai 11 Agustus 1496. Raden Katong  diangkat menjadi Adipati (Bupati) pertama bergelar Bathara Katong. Perjuangannya digambarkan dalam latar belakang Reog Ponorogo. Masyarakat sepakat tanggal itu sebagai Hari Lahir Ponorogo. Namun kemeriahan lainnya ialah pada "Tahun Jawa" 1 Suro. Saat itu diadakan berbagai festival.

    Satu hal belum diteliti, yakni hubungan antara penduduk dengan harimau-gembong jawa (Panthera tigris sondaicus) yang dulu berkeliaran dihutan Gunung Kidul. Masalahnya, mengapa penari Reog menggunakan lambang kepala harimau dan bulu burung merak. Juga banyaknya cerita atau legenda mengenai keberadaan harimau-jadi-jadian yang sebenarnya adalah manusia. Banyak kisah yang berkaitan hubungan manusia dengan harimau. Binatang yang ditakuti sekaligus dihormati masyarakat setempat.

     Apabila meninjau perkembangan dan pelestarian budaya dan kesenian rakyat Jawa Timur, maka Reog Ponorogo adalah ciri kesenian provinsi itu dibatas barat. Di pojok timur ialah Gandrung Banyuwangi. Kesenian khusus provinsi itu. Permasalahannya, bagaimana melestarikan budaya/seni tersebut dalam era milenial. Disinilah dituntut sejauh mana peranan Pemerintahan Daerah dan aparatnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun