Mohon tunggu...
Amak Syariffudin
Amak Syariffudin Mohon Tunggu... Jurnalis - Hanya Sekedar Opini Belaka.

Mantan Ketua PWI Jatim tahun 1974

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Empat Babak Berdarah Jelang Hari Pahlawan (Bagian Ketiga)

23 Oktober 2020   18:58 Diperbarui: 23 Oktober 2020   19:09 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Tribunnews.com) (Dok. Kompas)

Pertempuran Tiga Hari. Peristiwa itu diawali  ketika 5 orang "utusan" Sekutu yang diterjunkan dengan parasut di Lapangan Terbang (kini Terminal Petikemas Tg. Perak) Morokrembangan dan Lapter Gunungsari (kini markas Kodam VIII/Brawijaya) Surabaya dipimpin Kapten ALBelanda PJG Huijer. Semua anggotanya orang Belanda, termasuk Residen Maassen, seorang asal Maluku, Hulseve, dan seorang Indonesia dr. Rubiono. Dia memimpin 15 parasutis dengan alasan mengurusi ex-interniran (Belanda/Belanda-Indo) dan berunding dengan kita. Karena tanpa pemberitahuan dan ijin, langsung kesemuanya ditangkap TKR (Tentara Keamanan Rakyat, penggantian BKR).  Karena atas nama  Sekutu, kapten itu bisa memasuki bekas markas Laksamana Shibata dengan alasan mencari dokumen, namun sebenarnya mencuri simpanan uang sebesar 2,8 juta gulden

Karena kecongkakan tingkah lakunya, para pimpinan Surabaya tahu, bahwa mereka sebenarnya perintis pembentukan pemerintahan NICA. Bukan utusan RAPWI (Rehabilitation of Prisoners of War and Internees). Residen Sudirman pun mengirimi surat Huijer: pemerintahan Surabaya menghentikan segala bantuan dan hubungan dengan mereka. Mereka diusir ke Jakarta menaiki kereta api. Akan tetapi rakyat mencegat kereta api itu diantara Jombang-Kertosono, menangkap mereka  dan dikembalikan ke Surabaya untuk dijebloskan di Penjara Kalisosok.

Ketegangan baru muncul bersamaan munculnya lebih dari 5 kapal pengangkut (LST/Landing Ship Transporter) Inggeris yang dikawal beberapa kapal tempur. Pada 25 Oktober 1945, 6000 tentara Inggeris Brigade-49 (terbanyak berkebangsaan Gurkha/India & Nepal) pimpinan Brigjen A.W.S. Mallaby, yang disusupi tentara Belanda itu mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak dan Pangkalan Maritim Ujung.

Pasukan veteran Perang Dunia II medan pertempuran Eropa dan Birma (Myanmar) tersebut mulai bergerak masuk kota, menyebabkan insiden kecil-kecilan dengan TKR dan para pemuda yang bersenjatakan golok dan bamburuncing. Pada situasi demikian, mulailah Sutomo, pemuda Kampung malang (dijalur Jl. Embong Malang) yang lebih dikenal Bung Tomo, melalui siaran "radio pemberontak" menyiarkan berita-berita insiden maupun propaganda yang membakar semangat rakyat untuk melakukan perlawanan. Dia juga membentuk Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI).  

Sementara itu RMTA Suryo, Residen Bojonegoro sejak 1943, diangkat sebagai Gubernur Jawa Timur. Pria bertubuh gempal, kalem tetapi pemberani itu, menerima dua delegasi Mallaby, Kapten Donald dan Letnan Gordon. Tingkah laku congkaknya, seolah kita sebagai sekelompok gerombolan liar dan taklukannya, menyodorkan surat Mallaby, meminta Gubernur Suryo berunding dikapal perang mereka.

Roeslan Abdulgani (kelak Dr. H. Roeslan Abdulgani, Menko Penerangan era Presiden Sukarno) didampingi pemilik toko (Kundadas,Jl. Tunjungan warga India), TD Kundan (kelak Perwakilan Masyarakat India) selaku penterjemah menjelaskan, tidak mungkin Gubernur berunding dikapalnya. Seharusnya dikantor Gubernuran. Bergaya tidak sopan tanpa pamit keduanya berdiri dan pergi. Reaksi Suryo: "Kita tidak mau menuruti kemauan mereka saja. Kita tidak usah takut. Kita pasti menang menghadapi mereka. Sebab mereka yang terlebih dulu bersikap tidak sopan dan mereka kurang ajar!"

Akhirnya dibentuk utusan terdiri dari Ruslan Abdulgani, dr. Sugiri, Bambang Suparto dan Kustur yang ditemui Kolonel Pugh dan Kapten Shaw. Meski masih dirundingkan, pasukan Inggeris itu terus mengalir kekota. Meski berjalan alot, akhirnya 26 Oktober disetujui 3 hal: Yang diluncuti Inggeris hanya tentara Jepang, bukan TKR. Tentara Inggeris mewakili Sekutu membantu ketertiban dan perdamaian yang dilakukan pihak Indonesia. Setelah semua tentara Jepang dilucuti, akan diangkut melalui laut.

Sementara perjanjian itu belum dilaksanakan, siang itu sebuah pesawat terbang mereka menyebar pamflet berisikan ancaman: senjata yang dipegang orang Indonesia harus diserahkan atau ditembak mati! Brigjen AWS Mallaby pun tak tahu pamflet yang dikirim dari Jakarta itu. Malam  menjelang 27 Oktober, mereka menyerbu dan membongkar gerbang Penjara Kalisosok, melepaskan tahanan orang-orang Indobelanda, termasuk Huijer dan kelompoknya.

Sebagian lagi bergerak memasuki kota menduduki posisi-posisi dulunya milik Inggris dan lokasi-lokasi strategis. Mulai dari selatan menduduki pangkalan kilang minyak ex-BPM Wonokromo, pabrik rokok BAT (British-American Tobacco Co.) Jl. Ngagel, ex-Markas Kendaraan Militer Jepang di Gubeng Trowongan, Gedung Radio (ex-Hosokyokai, kelak  RRI Surabaya)  Jl. Simpang, Toko White Away (kini Siola) Tunjungan, gedung ex-bank Internatio di Jembatan Merah, Gedung Lindeteves di Jembatan Semut-Kebonrojo, ex-sekolah HBS (kini SMAN I-V Wijayakusuma) dan beberapa tempat di Darmo, Ketabang dan lain-lain serta  Pelabuhan Tanjung Perak dan Pangkalan Ujung.

Di lengan baju tentara itu dikenal rakyat dengan logonya ayam-jago (The Fighting Cock) warna hijau. Pada Minggu 28 Oktober, mereka mulai membuat insiden dengan mencegati kendaraaan-kendaraan yang ditumpangi anggota TKR atau para pemuda, merampasnya dan termasuk senjata api anggota TKR.

Sore hari itu berontaklah kita. Semua lokasi konsentrasi mereka dikepung TKR dan pemuda dan meletuslah pertempuran selama 3 hari. Gedung-gedung yang ditempati seperti White Away dan Gedung Radio dibakar habis bersama serdadu-serdadu didalamnya.

Saya sendiri ikut mengepung ex-Markas Kendaraan di Gubeng Trowongan sambil menyaksikan para anggota TKR menembaki serdadu-serdadu Sekutu sambil berlindung dibalik tanggul tinggi rel kereta-api jurusan Gubeng-Wonokromo. Pertempuran itu berlangsung siang dan malam. Untungnya pagar belakang rumah saya di Jl. Juwingan ditanami rumpun bambu yang lebat, sehingga peluru hanya memecahkan batang-batangnya. Meski demikian seorang pemuda tertembak bahunya karena mengintip dari pagar kawat berduri dan gedek markas itu.

Dari atas tanggul rel, nampak beberapa serdadu tergolek tertembak dan sebagian tidak bisa keluar dari parit (hingga kini masih ada di Jl. Kertajaya) takut menjadi sasaran para penembak kita, meski mereka diperlengkapi senapan otomatis. Sungai Kalimas dan Jagir  (muara sungai Brantas) dipenuhi mayat serdadu yang tewas dan dilempar saja kedalamnya.  Begitu pula beberapa serdadu yang menduduki Jembatan Dinoyo (berhadapan dengan pabrik BAT) berguguran dan sebagian tercebur ke Kalimas oleh peluru-peluru TKR.   

Pihak Inggris akhirnya minta Presiden Sukarno dan Wapres Moh. Hatta serta Menteri Pertahanan Amir Syariffudin untuk menghentikan perlawanan kita. Pada 29 Oktober 1945 mereka diterbangkan denqan pesawat Dakota RAF (Royal Air Force) Inggeris ke Lapangan Terbang Morokrembangan, meski semula ditembaki oleh TKR. Namun Presiden Sukarno keluar pintu dan melambaikan bendera Merah Putih.

Pasukan kita segera tahu penumpang pesawat itu dan memberi hormat serta mengawal rombongan ke Gubernuran, termasuk beberapa wartawan luar negeri yang ikut.  Menurut pihak Inggris, pimpinan di Surabaya tidak ada yang mau berunding menghentikan pertempuran. Kecuali oleh Sukarno dan Moh. Hatta. Perundingan dihadiri Jenderal DC Hawthorn, panglima Sekutu untuk Jawa, Madura, Bali, Lombok.

Singkat kata, 29 Oktober malam dicapai persetujuan pertempuran dihentikan dan disiarkan dengan mengarak keliling dr. Sugiri dan Brigjen AWS Mallaby yang duduk disayap mobil keliling lokasi pertempuran untuk menyerukan penghentian tembak-menembak.

Kalau saja dibiarkan dua hari lagi, habislah semua tentara Inggeris itu. Dari pertempuran 28-30 Oktober itu saja  lebih dari 220 serdadunya tewas, puluhan luka-luka dan beberapa tanknya dirusak.      

Yang tidak jelas siapa pelakunya, pada 29 Oktober menjelang petang hari Brigjen AWS Mallaby ditembak dan mobil sedannya terbakar. Inggris menuduh pasukan kita yang menembaknya. Langsung disanggah. Justru serdadunya sendiri salah tembak karena merasa akan diserang pejuang-pejuang kita.  Dalam sejarah Surabaya, Mallaby satu-satunya jenderal yang tewas dalam pertempuran. Satu babak sebelum babak final Hari Pahlawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun