DI Rumah Saja: Sumber Stres. Langkah menghindarkan sebaran covid-19 dengan pola dirumah saja (stay at home) sesuai anjuran World Health Organization untuk semua penduduk di dunia memang cukup efektif. Tetapi dimana-mana mulai terdengar keluhan terhadap tindakan demikian bagi bapak, ibu dan beberapa anaknya meningkat stress. Sekurang-kurangnya kebosanan.
Manusia memang serba aneh. Diwaktu-waktu melakukan pekerjaan rutin dimana saja, selalu berpikiran dirumah saja lebih enak dan santai. Kalau menjadi pimpinan, sering pusing memikirkan tidakan apa yang harus dilakukan dalam manajemen itu. Terlebih yang jadi bawahan, selalu menerima tugas dan terkadang dampratan atasan. Â Â
Ketika pandemi covid-19 menyebar cepat, instruksi dan anjuran pemerintah serta Lembaga-lembaga sosial lainnya menyuruh memakai masker, menjaga jarak dengan orang lain dan tinggal dirumah saja. Yang bekerja mengerjakan tugasnya (kalau bisa) di rumah saja. Yang belajar juga demikian.
Sudah lebih dua bulan dilakoni. Mula-mula menggembirakan, karena tak perlu ke kantor atau lokasi pendidikan. Ketika lewat sebulan lalu, mulai terasa di rumah saja itu membosankan. Sebab bukan berarti liburan, tetapi sebenarnya adalah "mengungsi": dari bahaya covid-19. Munculah kebosanan/kejenuhan pada semua usia yang umumnya terbiasa berkegiatan diluar rumah.
Sekjen PBB Antonio Guteres dan Direktur Kesehatan Mental WHO Devora Kestal mengingatkan munculnya bahaya kesehatan mental akibat "homeworking" atau bekerja dirumah saja. Terlebih kalau terpaksa dirumah saja karena diberhentikan (PHK) atau dirumahkan dari pekerjaan. Sebab, dampaknya bisa menyebabkan begitu banyak perbuatan yang bersifat negatif alias merugikan keluarga atau masyarakat. Karenanya, bisa dimaklumi anjuran dirumah saja itu tidak bisa dipatuhi orang-orang yang mendapat penghasilannya disektor informal, antara lain penjual dipasar tradisional, peagang kecil, penjual makanan dan sebagainya. Kalau ada yang 'keras-kepala' berjualan, itu dikarenakan memang nekad sebab tidak mendapat penghasilan/makan. Â Â Â
Satu unsur terjadinya kebosanan bisa muncul dalam kehidupan keluarga. Seorang bapak yang sehari-harinya bekerja dikantor atau lainnya sehingga tidak berada dirumah dan baru pulang sore hari bertemu isteri dan anak-anaknya. Karena harus dirumah saja, kini tiap waktu harus berkumpul anak-anaknya. Kalau anak-anak masih kecil, ada saja rengekannya, antaralain jajanan. Karena terbiasa sehari-hari urusan kantor/pekerjaan, bisa saja emosi tidak sabaran muncul. Bagi ibu, yang anak-anaknya sudah bersekolah, selama beberapa jam urusan rumahnya bisa diberesi karena anak-anak itu bersekolah, sekarang harus ngrumpel dirumah dan sering juga banyak permintaannya.
Bisa-bisa juga bikin emosinya naik pitam. Belum lagi apabila anak-anaknya sudah remaja dan kebosanan dirumah menjadikan dia bersama kawan-kawannya berada dijalanan dan ada yang berbalapan liar dengan sepeda motor, jelas bikin pusing tujuh keliling bagi bapak dan ibunya. Yang jelas parah, kalau sang bapak atau ibu itu terkena PHK/dirumahkan dan tak lagi berpenghasilan, tekanan jiwa atau stress itu sudah mencapai puncaknya. Jadi ternyata, bahwa berada dirumah saja dalam era kehidupan sosial masakini bukan berarti membuat setiap orang relaks!
Entah siapa yang bakal bisa "mengobati" stres itu dalam kondisi epidemi covid-19 yang tak tahu kapan selesainya. Tentu tidak bisa dibebankan pada pemerintah, karena urusan asal-mulanya bukan dari pemerintah, tetapi barang impor berasal-muasal dari Wuhan. Malahan kini muncul seri kedua juga dari Wuhan ditambah Shulan.
Jadi, kalau pemerintahan seluruh dunia memperjuangkan kehidupan rakyatnya menekan penyebaran epidemi itu, sementara beberapa negara Eropa, Amerika Serikat dan Cina saling berlomba mencari apa obat anti virus tersebut, kiranya kesemuanya harus didukung. Kalau ada urusan politik antar mereka, biar saja, yang penting produk penelitian dan obat anti-virus itu terwujud. Bukan sekedar mematikan covid-19, namun juga bisa berangsur menekan stress dari akibatnya.