Hal-hal yang sekiranya tidak terlalu penting secara ekonomis, untuk sementara waktu ditahan dulu keinginan membelinya. Termasuk dalam hal makan sehari-hari. Kalau sekiranya harga tempe masih jauh lebih murah dari harga telur apalagi daging ayam, maka makan tempe pun tidak ada salahnya.
Dalam urusan makan, kami relatif tidak mengalami kendala apapun. Kalau butuh sayur kangkung, kami bisa tinggal memetik dari kebun belakang rumah simbah. Kalau butuh tomat atau cabai, kami bisa mengambilnya langsung dari ladang.Â
Begitu juga dengan beberapa komponen dapur lainnya. Dalam hal ini, kami memang sedikit lebih diuntungkan.
Namun begitu, kami juga tidak jarang makan hanya dengan nasi kecap dan kerupuk bandung saja. Apakah kami merasa di titik paling sulit? Ternyata tidak. Ada semacam kebanggaan dalam diri kami karena bisa survive di tengah keadaan yang sebegini rupa.Â
Untuk urusan bertahan hidup tampaknya kami sudah cukup terlatih. Kalau seandainya saya bisa bicara dengan corona, ingin saya tegaskan kepadanya, "Kalau tujuanmu ingin menggiring kami dalam kesengsaraan dan penderitaan, rasa-rasanya kamu salah pilih lawan kali ini." Hehehehe.
"Hei Corona, jauh sebelum kamu datang, bapak saya pernah ditangkap dan dipenjarakan polisi perbatasan Malaysia. Berbulan-bulan itu bapak tidak kerja, berbulan-bulan itu ibu saya terlunta-lunta sebagai perempuan pengangguran. Apakah kami sekarat? Tidak. Saya ingat betul saat itu ibu dan saya hanya makan dengan nasi kecap dan kerupuk bandung. Kami bertahan, dan kami sangat menikmati penderitaan itu. Dan sekarang kamu datang untuk hal yang sudah bertahun-tahun lalu kami pelajari, ah, sia-sia"
Pandemi ini, pada gilirannya memang bukan hanya soal bagaimana kita bersikap secara medis dan politis. Berbagai protokol kesehatan disosialisasikan, dari anjuran cuci tangan, mengenakan masker bagi yang kurang sehat, sampai kebijakan-kebijakan untuk social distancing yang selanjutnya sampai pada tahap PSSB (Pembatasan Sosial Skala Besar). Tapi ternyata tidak hanya sampai di situ.
Beberapa juga memandang wabah global ini sebagai semacam gejala teologis. Oleh sebab itulah banyak kelompok masyarakat relijius menyerukan agar umat manusia berbondong-bondong untuk kembali mendekatkan diri kepada Tuhan.Â
Kelompok-kelompok ini meyakini betul bahwa wabah ini tidak lain adalah teguran dari Tuhan atas kelalaian dan kecerobohan manusia yang makin hari makin sering berlaku durjana. Akhirnya, doa-doa dilayangkan, zikir-zikir dilantunkan, agar Tuhan senantiasa mengampuni.
Keluarga kami sendiri memandang corona sebagai medan tempur, arena untuk bertahan hidup dengan amunisi seadanya.Â
Memanfaatkan momentum sekecil apapun sebagai peluang untuk mempertahankan diri dan survive dengan setiap keadaan serta hal-hal di luar perhitungan.Hanya yang tangguh yang nantinya keluar sebagai pemenang.