Dari sudut pandang konstruksionis sosial, fenomena "nyambat" di Twitter menyoroti bagaimana emosi dan identitas daring tidaklah statis atau inheren, melainkan aktif dibentuk dan dinegosiasikan melalui serangkaian interaksi sosial yang terjadi di platform tersebut; melalui proses berbagi keluhan dan menerima respons dari orang lain, individu belajar bagaimana melabeli, mengekspresikan, dan memahami emosi mereka dalam konteks daring, dan seiring waktu, pola interaksi ini dapat berkontribusi pada pembentukan aspek-aspek tertentu dari identitas daring mereka, terutama jika mereka secara konsisten terlibat dalam wacana keluhan tentang topik atau pengalaman tertentu.
Dengan memperkaya pemahaman kita melalui integrasi berbagai kerangka teoritis sosiologi, kita dapat melihat bahwa "lautan keluhan digital" yang tampak di Twitter bukanlah sekadar kumpulan curahan hati acak dan tidak terstruktur, melainkan sebuah cerminan mendalam dari dinamika sosial, budaya, dan psikologis yang kompleks yang mewarnai era digital saat ini; analisis ini secara implisit mengajak kita untuk terus menerus mempertimbangkan dan meneliti secara kritis bagaimana teknologi, khususnya platform media sosial seperti Twitter, secara fundamental memediasi ekspresi emosi manusia, membentuk konstruksi identitas individu dan kolektif, serta memengaruhi pola interaksi sosial dalam masyarakat yang semakin terhubung secara daring namun juga berpotensi terfragmentasi secara sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI