Mohon tunggu...
Alya Septin Nuraini
Alya Septin Nuraini Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Mahasiswa aktif yang tertarik dengan isu isu sosiologis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Lautan Keluhan Digital: Memahami "Nyambat" di Twitter dari Lensa Sosiologi yang Lebih Dalam

9 Mei 2025   05:44 Diperbarui: 9 Mei 2025   05:44 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
contoh orang yang "nyambat" di twitter (sumber: Pinterest)

Twitter, sebagai ruang publik digital yang unik, telah memunculkan fenomena "nyambat" sebagai praktik sosial yang signifikan. Lebih dari sekadar curahan emosi individual, kebiasaan mengeluh dan menyuarakan ketidakpuasan ini menawarkan jendela yang menarik untuk memahami dinamika interaksi daring, pembentukan identitas, dan ekspresi kolektif dalam masyarakat digital kontemporer. Esai ini akan memperdalam analisis sosiologis terhadap "lautan keluhan digital" di Twitter, menghubungkannya dengan konsep-konsep seperti teori dramaturgi Goffman, teori tindakan komunikatif Habermas, konsep modal sosial Bourdieu, serta perspektif konstruksionis sosial dalam memahami emosi dan identitas.

Panggung Keluhan Daring: Perspektif Dramaturgi Goffman

Kita dapat menganalisis praktik "nyambat" di Twitter melalui lensa teori dramaturgi Erving Goffman. Dalam perspektif ini, interaksi sosial dilihat sebagai sebuah panggung di mana individu menampilkan diri mereka kepada audiens. Ketika seseorang "nyambat" di Twitter, mereka sedang melakukan sebuah "pertunjukan." Keluhan yang disampaikan seringkali dirancang untuk mendapatkan respons tertentu dari audiens daring mereka---simpati, validasi, atau bahkan sekadar perhatian. Penggunaan bahasa yang emosional, humor, atau sarkasme adalah bagian dari "manajemen impresi" untuk menyampaikan pesan secara efektif dan mendapatkan reaksi yang diinginkan.

Profil Twitter dan riwayat "nyambatan" seseorang dapat dilihat sebagai "front stage" atau bagian publik dari diri mereka yang ingin mereka tampilkan. Di sisi lain, alasan sebenarnya di balik keluhan atau emosi yang dirasakan mungkin tetap berada di "back stage," atau ranah privat individu. Analisis dramaturgi membantu kita memahami bagaimana individu secara strategis menggunakan Twitter untuk mengelola citra diri mereka melalui ekspresi keluhan.

Ruang Publik yang Terfragmentasi: Teori Tindakan Komunikatif Habermas

Jika kita mempertimbangkan Twitter sebagai ruang publik digital, teori tindakan komunikatif Jrgen Habermas dapat memberikan wawasan yang relevan. Habermas menekankan pentingnya komunikasi rasional dan argumentatif dalam ruang publik yang ideal. Namun, "lautan keluhan" di Twitter seringkali didominasi oleh ekspresi emosi dan subjektivitas, yang mungkin tidak selalu memenuhi kriteria komunikasi rasional.

Meskipun demikian, Twitter juga dapat berfungsi sebagai ruang di mana isu-isu penting diangkat dan diperdebatkan melalui keluhan yang memicu diskusi. Fenomena tagar yang memobilisasi keluhan seputar isu sosial atau politik tertentu dapat dilihat sebagai upaya untuk membentuk opini publik dan menekan perubahan. Namun, ruang publik Twitter juga rentan terhadap polarisasi, echo chamber, dan ujaran kebencian, yang dapat menghambat komunikasi yang sehat dan rasional. "Nyambat" dalam konteks ini dapat menjadi bentuk ekspresi yang otentik dari pengalaman subjektif, tetapi juga berpotensi memperkeruh ruang publik digital.

Modal Sosial dalam Jaringan Keluhan: Konsep Bourdieu

Konsep modal sosial Pierre Bourdieu, yang merujuk pada jaringan hubungan sosial yang memberikan keuntungan, dapat diterapkan untuk memahami dinamika "nyambat" di Twitter. Ketika seseorang berbagi keluhan dan mendapatkan respons positif berupa dukungan atau validasi, mereka sedang membangun atau memperkuat modal sosial daring mereka. Jaringan pengguna yang saling mendukung dan merespons keluhan dapat memberikan rasa memiliki dan sumber daya emosional.

Namun, modal sosial dalam konteks "nyambat" juga bisa bersifat eksklusif. Kelompok-kelompok daring yang terbentuk berdasarkan kesamaan keluhan dapat menciptakan batasan dengan pengguna lain yang tidak memiliki pengalaman atau pandangan yang sama. Selain itu, "nyambat" yang terlalu sering atau negatif juga berpotensi mengurangi modal sosial seseorang, karena dapat membuat pengguna lain menjauh atau memberikan reputasi negatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun