Di tengah gemerlap Teras Malioboro yang dirancang sebagai wajah baru kawasan wisata ikonik Yogyakarta, ada sebuah sudut yang seolah terlupakan. Jauh dari hiruk pikuk pintu masuk utama, di sebuah lorong belakang yang lebih sering dilalui angin daripada langkah kaki pengunjung, seorang pria paruh baya dengan sabar menanti pelanggan di depan lapak minumannya. Pria itu adalah Pak Sugeng, dan kisahnya adalah cerminan dari sebuah adaptasi paksa, sebuah potret perjuangan di mana pindah lapak berarti pindah nasib.
Tiga tahun lalu, pemandangan hidup Pak Sugeng sangatlah berbeda. Ia bukanlah penjual es teh atau kopi panas. Selama bertahun-tahun, lapaknya adalah sebuah etalase kepercayaan di depan Pasar Beringharjo, denyut nadi ekonomi Malioboro. Di sana, ia mencari nafkah dengan "terima emas". Kilau perhiasan, tatapan teliti, dan keahlian menaksir harga menjadi bagian dari kesehariannya. Pelanggan datang dan pergi silih berganti, terbawa oleh arus manusia yang tak pernah berhenti, memberinya penghidupan yang stabil.
Namun, sebuah kebijakan datang mengubah segalanya. Program relokasi menuntut para pedagang yang tadinya berjajar di sepanjang jalan utama untuk pindah ke bangunan baru bernama Teras Malioboro. Bagi Pak Sugeng, ini bukan sekadar pindah tempat, melainkan sebuah guncangan yang meruntuhkan fondasi bisnisnya, berganti dengan usaha baru yang paling memungkinkan, yaitu dengan menjual aneka minuman.
Perubahan itu datang dengan tantangan yang berat sejak hari pertama. Ia, bersama para pedagang lain yang berasal dari depan Pasar Beringharjo, ditempatkan di bagian belakang teras. Sebuah lokasi yang menurutnya adalah titik buta, jarang sekali tersentuh oleh lalu-lalang wisatawan yang cenderung berkerumun di bagian depan. "Setiap penjual sudah ada bagian tempatnya, tidak bisa memilih," jelasnya. "Yang dari Pasar Beringharjo ditempatkan di sini," lanjutnya, ucapannya merujuk pada bagian belakang dari Teras Malioboro sebagaimana yang ia tempati sekarang untuk berjualan.
Kini, setiap hari adalah pertaruhan melawan sepi. Faktor cuaca menjadi penentu nasib hari itu, jika hujan, minuman dingin tak laku, jika terlalu panas, orang lebih memilih berteduh di tempat lain. Kenangan akan masa lalu yang lebih mudah terus membayanginya. "Kalau penghasilan, pasti ya banyakan pas jualan di pinggir jalan sana. Soalnya kita diam saja pasti ada pengunjung yang nyamperin," kenangnya. Sebuah kontras tajam antara kondisi "didatangi" dengan kondisi "menanti" yang ia jalani sekarang.
Persaingan antar penjual minuman ia anggap sebagai hal biasa. "Tinggal kita pandai-pandai melihat situasi," katanya bijak. Namun, kerinduan akan masa lalu tak bisa ia sembunyikan. "Kalau sebelumnya memang banyak yang mau pindah, ingin seperti dulu saja jualan di sekitar jalan Malioboro," ujarnya, menyuarakan sentimen banyak rekan seperjuangannya.
Ironisnya, meski ditempatkan di lokasi yang kurang menguntungkan, ia masih harus berbagi ruang. Lapak yang ia tempati sebenarnya lapak milik penjual gudeg. Pak Sugeng, yang asli Magelang namun kini menetap di Jogja karena sang istri dan keluarga tercinta, harus "menumpang" untuk bisa berjualan. Ia datang pukul empat sore, setelah penjual gudeg selesai, dan berharap peruntungan hingga malam tiba. "Terus jam 9, jam 10, kalau tidak ada orang, ya saya pulang," lanjutnya, menggambarkan betapa tipis harapannya setiap malam.
Status sebagai 'penumpang' ini menambah lapisan kepahitan dalam adaptasinya yang sulit. Berbeda sekali dengan lapak lamanya yang menjadi 'rumahnya' selama bertahun-tahun. Kini ia harus melakukan ritual bongkar pasang tiap hari. Ia tidak hanya kehilangan pelanggan setia dan lokasi strategis, tetapi juga kehilangan rasa kepemilikan dan stabilitas yang pernah menjadi sandaran hidupnya.
Di tengah perjuangan itu, ada cerita-cerita unik yang menjadi bumbu kesehariannya. Dari pelanggan yang plin-plan, memesan es lalu tiba-tiba berganti panas setelah minuman dibuat, hingga pengalaman pahit yang hampir dirasakan semua pedagang kecil, yaitu pelanggan kabur tidak membayar pesanan. "Ada juga yang lari tidak bayar. Hampir semua penjual di sini pasti pernah mengalami seperti itu," ungkapnya, sebuah realita getir yang mereka hadapi bersama.