Setiap hari, tanpa disadari, banyak orang dengan mudahnya terhubung ke Wi-Fi publik, mengaktifkan Bluetooth di tempat umum, atau memasukkan data pribadi saat membeli tiket konser. Tindakan-tindakan sederhana ini tampak sepele, tetapi di baliknya tersimpan risiko besar. Peretas dapat melacak perangkat yang tersambung ke jaringan, mengetahui aktivitas pengguna, hingga mengakses informasi sensitif seperti akun perbankan.
Lebih dari sekadar ancaman individu, kebocoran data dalam skala besar telah menjadi senjata strategis dalam persaingan global. Kasus peretasan yang melibatkan jutaan data pengguna bukan lagi sekadar ancaman digital, tetapi juga ancaman geopolitik yang dapat melemahkan stabilitas suatu negara.
Ancaman siber tidak hanya datang dari individu atau kelompok kriminal, tetapi juga dapat menjadi bagian dari strategi militer dan intelijen negara lain. Hal ini dibahas dalam kuliah umum di UIN Sunan Kalijaga pada Senin, 3 Maret 2025, yang menghadirkan Laksamana Pertama Salim, SE, M.Phil, M.Tr. Opsla, seorang perwira tinggi TNI Angkatan Laut asal Surabaya. Dalam kuliah tersebut, beliau menekankan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan dengan posisi strategis di Indo-Pasifik sangat rentan terhadap ancaman siber, baik dari aktor negara maupun non-negara.
Sebagai pakar dalam bidang keamanan siber, Laksamana Salim juga menulis buku berjudul Basic Knowledge of Cyber Security, yang membahas berbagai tantangan keamanan digital, serangan siber, serta strategi perlindungan informasi di tingkat nasional dan internasional. Dalam bukunya, beliau menjelaskan bagaimana serangan siber dapat digunakan sebagai bentuk perang asimetris di mana negara yang lebih lemah secara militer dapat melumpuhkan sistem pertahanan dan ekonomi negara lain hanya dengan memanfaatkan celah keamanan digital.
"Serangan ransomware terhadap lembaga pemerintah, pencurian data intelijen, hingga sabotase infrastruktur digital dapat terjadi kapan saja jika kita lengah," ujarnya dalam kuliah umum tersebut.
Indonesia, sebagai negara yang berada di tengah persaingan antara kekuatan besar seperti Cina dan Australia, berpotensi menjadi target maupun arena pertempuran dalam perang siber global. Laksamana Salim menekankan bahwa selain pertahanan fisik, Indonesia juga harus memperkuat pertahanan digitalnya agar tidak mudah disusupi oleh pihak asing.
Ancaman-ancaman ini tidak datang tanpa peringatan. Sudah banyak kasus peretasan yang melumpuhkan perusahaan besar, mengacaukan institusi pemerintahan, bahkan memengaruhi hasil pemilu di beberapa negara. Serangan phishing, malware, dan penyusupan jaringan (Man-in-the-Middle Attack) semakin canggih dan sulit dideteksi.
Lantas, bagaimana cara melindungi diri di tengah situasi yang semakin kompleks ini?
Langkah-langkah perlindungan data dan keamanan siber harus menjadi prioritas, baik untuk individu maupun institusi: