Bali sejak lama dikenal sebagai pulau dengan pesona alam yang menawan, budaya yang kaya, serta daya tarik wisata yang mendunia. Namun, di balik keindahan yang terlihat, terdapat dinamika lingkungan yang terus berubah. Catatan resmi dari Badan Pusat Statistik dan berbagai lembaga menunjukkan bahwa proses pembangunan, pertumbuhan penduduk, serta aktivitas ekonomi memberi tekanan terhadap daya dukung alam. Gambaran ini penting untuk direnungkan bersama karena masa depan Bali akan banyak ditentukan oleh keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan.
Pada tahun 2019, luas kawasan hutan dan konservasi perairan di Kabupaten Buleleng tercatat lebih dari 32.467 hektar. Angka itu merupakan salah satu yang terbesar di Bali. Hutan sejatinya bukan sekadar ruang hijau, melainkan benteng alami yang menyimpan air dan menahan erosi. Dalam dokumen Renstra P3E Bali Nusra, luas hutan di Bali pada tahun 2020 tercatat sekitar 132.528 hektar atau hanya 22,93 persen dari keseluruhan wilayah provinsi. Kondisi ini menunjukkan bahwa ruang hijau di Bali semakin terbatas, padahal keberadaan hutan memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Sementara itu, sawah yang selama berabad-abad menjadi wajah pertanian Bali juga menghadapi tekanan. BPS mencatat pada tahun 2017 luas sawah mencapai 78.626 hektar. Beberapa tahun kemudian, luas ini terus menurun akibat alih fungsi lahan. Fenomena ini juga diberitakan oleh Balipost yang menyoroti berkurangnya lahan sawah di seluruh Bali dalam enam tahun terakhir. Denpasar, Badung, dan Gianyar menjadi wilayah dengan tingkat alih fungsi lahan paling tinggi. Sawah yang dahulu menjadi sumber beras sekaligus ruang terbuka hijau, kini banyak berubah menjadi perumahan, fasilitas pariwisata, hingga kawasan perdagangan. Hilangnya sawah berarti berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap air hujan dan meningkatnya risiko banjir pada musim hujan.
Topografi Bali yang didominasi pegunungan dan perbukitan juga memberi gambaran tersendiri. Dokumen Status Daya Dukung Pangan Pulau Bali 2021 mencatat bahwa daerah dengan kemiringan curam cukup mendominasi wilayah. Artinya, ada risiko bencana tanah longsor yang perlu diantisipasi, apalagi bila tutupan hutan berkurang. Lereng yang gundul lebih mudah tergerus air hujan dan membawa material ke pemukiman. Catatan dari BNPB tahun 2022 mengenai Kajian Risiko Bencana Nasional juga menempatkan longsor dan hidrometeorologi sebagai ancaman serius di Bali.
Kualitas udara merupakan aspek lain yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Bali termasuk dalam sepuluh provinsi dengan indeks kualitas udara di bawah 90. Angka ini menjadi bukti perlunya upaya serius untuk menjaga udara tetap sehat. Aktivitas kendaraan bermotor, pembakaran sampah, dan meningkatnya konsumsi energi di kawasan perkotaan menjadi faktor yang memengaruhi kualitas udara. Bagi sebuah pulau yang menjadi destinasi wisata dunia, udara bersih merupakan bagian dari citra dan kenyamanan.
Potret yang tersaji lewat data resmi dan laporan penelitian ini memberi cermin. Perubahan penggunaan lahan, menyusutnya sawah, berkurangnya hutan, hingga penurunan kualitas udara bukan sekadar catatan teknis. Semua itu berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari. Ketika sawah hilang, ketersediaan pangan bisa terganggu. Ketika hutan berkurang, sumber air semakin terbatas. Ketika udara kian kotor, kesehatan masyarakat terancam.
Namun, perjalanan ini tidak harus berakhir dengan pesimisme. Bali memiliki modal budaya dan sosial yang kuat. Konsep Tri Hita Karana yang mengajarkan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan dapat menjadi pegangan nyata. Nilai itu bisa dihidupkan kembali dalam kebijakan pembangunan maupun praktik sehari-hari. Partisipasi masyarakat juga menjadi kunci. Warga bisa berperan melalui hal sederhana seperti mengurangi sampah plastik, memilih transportasi yang lebih ramah lingkungan, serta mendukung produk lokal yang dihasilkan dengan cara yang lestari.
Pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk menjaga keseimbangan ruang hijau. Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di beberapa wilayah merupakan langkah yang patut diapresiasi. Kebijakan ini memastikan bahwa lahan sawah tertentu tidak bisa dialihfungsikan, sehingga keberlanjutan pangan tetap terjaga. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur dan pariwisata tetap bisa berjalan selama mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
Tantangan lingkungan Bali juga menjadi bagian dari tantangan global. Perubahan iklim, meningkatnya suhu, dan pola cuaca yang tidak menentu memberi dampak nyata pada sektor pertanian, pariwisata, dan kesehatan. Bali sebagai pulau kecil sangat rentan terhadap dampak tersebut. Oleh karena itu, setiap langkah pelestarian alam di tingkat lokal akan menjadi kontribusi nyata bagi ketahanan global.
Harmoni antara pembangunan dan pelestarian alam bukan sekadar jargon. Harmoni itu adalah kebutuhan nyata. Bali bisa terus tumbuh sebagai destinasi wisata dan pusat budaya dunia, sekaligus menjadi pulau yang hijau dan sehat untuk generasi mendatang. Semua bergantung pada kesadaran bersama. Data sudah menunjukkan arah perjalanan, kini tinggal bagaimana masyarakat dan pemerintah meresponsnya.
Mari menjaga Bali agar tetap lestari. Dukungan kecil bisa memberi arti besar, termasuk dengan ikut berpartisipasi dalam Sensus Ekonomi 2026 yang akan dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik. Partisipasi tersebut akan memastikan bahwa potret pembangunan Bali tercatat lengkap, mulai dari aktivitas ekonomi hingga dampaknya pada lingkungan. Semakin akurat data yang dihimpun, semakin tepat pula kebijakan yang lahir untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian alam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI