Kabar Duka: Kepergian Sang Teknokrat
Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya pada Rabu, 11 September 2019. Presiden ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie, meninggal dunia pada usia 83 tahun di Jakarta. Kabar duka segera menyebar luas, menggugah rasa kehilangan mendalam dari rakyat Indonesia hingga pemimpin dunia yang mengenalnya sebagai simbol kemajuan teknologi.
Keluarga, Cinta, dan Pendidikan
Bacharuddin Jusuf Habibie lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936. Ia adalah anak keempat dari delapan bersaudara, buah hati dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan Tuti Marini Puspowardojo. Sejak kecil, Habibie dikenal sebagai anak yang tekun dan gemar membaca. Ia tumbuh dalam keluarga yang menjunjung tinggi pendidikan, yang membentuk karakter intelektualnya.
Pada 12 Mei 1962 di Bandung, Habibie menikah dengan Hasri Ainun Besari. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai dua anak laki-laki, yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie. Kisah cintanya dengan Ainun menjadi legenda tersendiri di Indonesia karena kebersamaan mereka yang saling menopang dalam suka maupun duka.
Pendidikan tinggi Habibie dimulai di ITB, kemudian ia melanjutkan studinya ke Jerman di RWTH Aachen, jurusan teknik penerbangan. Ia berhasil meraih gelar doktor insinyur dengan predikat summa cum laude. Setelah lulus, Habibie membangun karir cemerlang di Jerman dengan bekerja di sebuah perusahaan dirgantara ternama. Di sinilah ia menciptakan teori keretakan termal (crack propagation theory) yang hingga kini digunakan dalam teknologi penerbangan modern.
Pengabdian untuk Tanah Air
Panggilan tanah air adalah sesuatu yang tak sanggup diabaikan oleh Habibie. Meski karier internasionalnya bersinar, ia memilih kembali ke Indonesia saat diminta langsung oleh Presiden Soeharto. Sejak saat itu, perjalanan kariernya di tanah air terus menanjak. Ia dipercaya memimpin berbagai institusi strategis, duduk di kursi Menteri Negara Riset dan Teknologi selama dua dekade, hingga menjadi Wakil Presiden Indonesia.
Habibie sendiri tidak pernah menyangka dirinya akan menjadi presiden. Namun, ketika krisis Soeharto mengundurkan diri, Habibie tidak bisa menolak amanah tersebut. Ia pun dilantik menjadi presiden ketiga Republik Indonesia pada tahun 1998. Dalam masa pemerintahannya yang singkat, Habibie telah membuka ruang demokrasi, membebaskan pers, menyelenggarakan pemilu bebas, dan memberi kesempatan rakyat Timor Timur untuk menentukan nasib sendiri melalui referendum. Keputusan yang membuat Indonesia kehilangan wilayah, tetapi memperoleh kembali martabatnya di mata dunia sebagai bangsa yang menjunjung hak asasi dan demokrasi.
Warisan dan Pengaruh Internasional